Share

3. Aku Bukan Budakmu

“Sshhh ….”

Liceo terhenyak ketika dia mendengar suara desisan dari arah Lareina. Dia menatap wajah pucat sang gadis, yang kini sedang memegang kepala sambil berusaha duduk. Mata Lareina menatap ke sekelilingnya. Hingga tatapannya terhenti saat matanya bersirobok dengan mata elang milik Liceo. Matanya yang teduh itu seketika berkaca-kaca.

Lareina menggeleng-gelengkan kepala seraya beringsut mundur. “Tidak, tolong lepaskan aku. Aku tidak mau melayanimu. Aku bukan budakmu!”

Setelah mengatakan itu, dia pun bangkit dan berniat untuk melarikan diri. Namun, karena tubuhnya terasa sakit dan remuk redam, serta di bagian intinya terasa nyeri, akhirnya dia kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke belakang.

Liceo dengan sigap menahan tubuhnya. “Nona, kau kenapa?”

Lareina tersentak, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Liceo. “Lepaskan aku! Aku mau pulang!”

Akan tetapi, Liceo tidak melepaskannya. Dia justru semakin mempererat dekapannya di tubuh Lareina. Kini, buliran bening itu kembali membanjiri pelupuk mata sang gadis.

Lareina sudah pasrah dengan hidupnya. Tubuhnya yang sakit dan lemas, akhirnya semakin tak berdaya. Dia hanya bisa menangis tergugu. Bibirnya bergetar, matanya pun sudah nampak membengkak.

“Bos, kau —”

Damian yang baru sampai menghentikan ucapannya. Matanya terbelalak melihat keadaan sang bos dan sang gadis yang telah diculiknya.

“Bos, apa yang terjadi? Aku sudah berhasil membawa mobil ke sini. Ayo, kita pulang. Dan gadis ini —”

Damian kembali menghentikan ucapannya. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan bersalah kini menghinggapi hatinya. Dia merasa tak tega melihat keadaan Lareina.

Sementara Liceo hanya diam mematung. Seketika pikirannya kosong. Dia tengah dilema antara tindakan dan keinginannya mengenai Lareina. Dia menatap sang gadis yang tengah menangis.

Awalnya dia sangat menggebu-gebu ingin memiliki Lareina. Dia ingin membawa gadis tersebut pergi dari hutan itu, dan ingin dibawa ke villa miliknya agar Lareina bisa dijadikan pemuas hasratnya. Namun, setelah dia mendengar perbincangan dua perempuan tadi, perasaannya menjadi dilema dan ragu.

“Nona, di mana rumahmu? Aku akan mengantarkanmu pulang.” Akhirnya Liceo membuka suara seraya menatap lekat wajah cantik Lareina.

Lareina mendongakkan wajah. Dia menatap Liceo, kemudian beralih menatap Damian. Dengan susah payah dia mencoba bangkit meskipun tubuhnya terhuyung-huyung. Liceo pun ikut berdiri.

“Aku akan selalu mengingat wajah kalian berdua. Kalian manusia yang tidak memiliki hati! Kalian kejam! Hanya demi membuktikan kenormalanmu sebagai lelaki, kau tega menodaiku, menghancurkan kehormatanku, menghancurkan masa depanku!” Lareina menunjuk wajah Liceo.

“Dan kau! Jika bukan karena kau yang menculikku, semua ini tidak akan terjadi pada diriku. Kau juga berperan dalam kejahatan ini. Kalian berdua sudah merencanakan semua ini. Kalian berdua jahat!” Lareina pun menunjuk wajah Damian.

“Kalian tidak pernah berpikir, bahwa kalian lahir dari rahim seorang wanita, yaitu ibu kalian! Dan jika kalian memiliki saudara perempuan, bagaimana jika hal ini terjadi pada mereka? Bagaimana perasaan kalian?”

Liceo dan Damian terdiam mendengarnya. Mereka merasa tertampar mendengar ucapan Lareina. Mereka berdua saling berpandangan dengan pikiran masing-masing.

“Aku sangat membenci kalian berdua. Aku sangat membenci kalian!” Lareina berteriak dan berlari.

Liceo dan Damian terkejut. Mereka pun berlari mengejar Lareina. Terlihat Lareina berlari dengan tertatih-tatih karena tubuhnya masih terasa sakit. Namun, dia berusaha untuk tetap berlari dan meninggalkan kedua lelaki tampan itu.

“Bos, bagaimana ini? Aku khawatir jika gadis itu akan melaporkan kita pada warga desa.” Damian terlihat panik.

Liceo yang sedang fokus berlari, seketika berhenti. Dia menatap sang asisten dengan wajah nyalang. Lalu, dia menarik kerah baju Damian.

“Ini semua gara-gara kau, Dam! Kau yang memberi usul untuk menculik gadis itu dan untuk aku jadikan bahan percobaan! Aku waktu itu memerintahkanmu agar mencari wanita penghibur, tapi kau justru menyarankanku untuk menggagahi Lareina!” Liceo berteriak di depan wajah Damian.

Dia berusaha untuk menenangkan sang bos. “Bos, tolong maafkan aku, tapi aku melakukan ini semua demi kebaikanmu, dan demi masa depanmu. Karena aku tidak ingin jika kau melepas keperjakaanmu dengan wanita yang sudah tidak virgin lagi.”

“Aakkhhh! Kau menghancurkan semuanya, Damian! Sekarang apa yang harus kita lakukan? Hah!” Liceo kembali berteriak.

“Bos, sekarang lebih baik kita mengejar gadis itu. A-aku tidak tega melihatnya yang berjalan dengan tertatih-tatih begitu. Aku kasihan padanya. Maafkan aku karena telah berbuat salah.”

“Meminta maaflah padanya, bukan padaku! Karena memang ini semua berawal dari kesalahanmu! Aahh, sudahlah, sekarang bukan waktunya untuk berdebat.” Setelah mengatakan itu, Liceo pun bergegas mengejar Lareina.

Matanya terbelalak ketika melihat sosok Lareina yang terduduk di bawah pohon besar. Gadis itu sedang memejamkan mata dan menyandarkan punggung dan kepala di pohon.

Napasnya terlihat naik turun, antara menahan isak tangis dan amarah yang bercampur aduk. Perasaan Liceo semakin tak menentu melihatnya. Perlahan dia mendekati Lareina.

Suara ranting kayu yang diinjak oleh Liceo, mengagetkan Lareina. Dia menatap ke arah sumber suara. Matanya yang sudah bengkak kini beradu tatap dengan mata elang Liceo.

Suasana alam yang sudah mulai gelap, tetap memudahkan penglihatan Lareina terhadap sosok tinggi besar yang tengah berdiri di hadapannya. Dia pun membuang muka dengan isak tangis yang tertahan.

Liceo menghela napas dengan berat. Dia berjongkok dan menatap Lareina dengan tatapan sayu. “Hari sudah gelap. Ayo, aku antarkan kau pulang. Ibumu pasti sedang menantikanmu.”

Deg!

Lareina menatap Liceo dengan tajam. Bibirnya bergetar. “Dari mana kau tahu tentang ibuku?”

Kini, Liceo yang terhenyak. Dia menjadi salah tingkah. “A-aku teringat ucapanmu tadi.”

Liceo terpaksa berbohong. Sebenarnya dia teringat perbincangan kedua perempuan tadi, tapi dia tidak berani berkata jujur karena takut Lareina akan semakin tersulut emosi.

“Oh, jadi kau mendengar perkataanku tadi? Kau mendengar permohonanku? Lalu, mengapa kau tidak melepaskanku?!” Lareina berteriak.

Liceo menundukkan wajah. Dia tak berani membalas tatapan Lareina yang sedang dirundung emosi. Dia benar-benar merasa sangat menyesal atas perbuatannya terhadap gadis tersebut.

Tiba-tiba Lareina bangkit, lalu dia kembali melanjutkan langkahnya. Dia tidak mempedulikan panggilan Liceo yang memintanya berhenti dan ingin mengantarkannya pulang.

Dengan cepat Liceo berhasil menyusul Lareina. Dia berjalan di sampingnya. Matanya terus menatap sang gadis yang hanya diam sambil terus mempercepat langkah kakinya.

“Bos, ayo, naik mobil saja. Kita akan memaksa melewati jalan setapak ini.” Damian tiba-tiba sudah berada di belakang mereka dengan mengendarai mobil.

Damian menghentikan laju kendaraannya dan turun. Dia membuka pintu belakang dan mempersilakan sang bos dan sang gadis. “Silakan, Bos. Silakan, Nona.”

“Nona, ayo, naiklah. Kami akan mengantarkanmu pulang agar kau cepat sampai rumah.” Liceo membuka lebar pintu mobil.

“Aku tidak sudi diantarkan oleh penjahat kelamin seperti kalian!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status