Share

Bab 4

"Biar Ibu saja, Ris!" pintaku pada Riris yang kulihat tengah menggosok baju Mas Azmi. Sedangkan Ibu Mertua masih berkacak pinggang didepannya.

Kalau mencuci dimesin cuci, aku masih memaklumi dan membiarkan Riris melakukannya tapi ini...?

Dengan bersusah payah dia menuruti intruksi yang dia kira adalah neneknya. Orang yang harus di hormati! Itu yang aku ajarkan pada Riris sejak dulu. Untuk menghormati orang yang lebih tua.

"Kamu kenapa si, selalu saja memanjakan anak itu! Bikin ngelunjak dia. Mau kamu nanti hidupnya susah dan dia ngandalin kamu untuk melakukan semuanya! Mau kamu? Hah!"

Aku menghembuskan nafas kasar! Emosiku sudah meluap sampai ubun-ubun.

"Sekarang Aisyah tanya sama Ibu? Apa dulu ibu memperlakukan anak-anak Ibu seperti aku! Hingga sekarang Mbak Ratih lebih ngandelin orang lain dan lebih suka rebahan? Itu pengalaman ibu?" kali ini mulut Ibu mertua bungkam, tak dapat menjawab pertanyaanku. Memang Mbak Ratih sejak dulu, sejak aku menikah tak pernah melihat dia mengerjakan pekerjaan rumah. Dia lebih suka rebahan, apalagi dengan badannya yang seperti gajah bengkak. Mungkin membuatnya enggan untuk melakukan hal-hal berat.

"Ada apa si? Pagi-pagi ribut mulu!" pekik Mas Azmi yang baru bangun tidur.

Aku segera mengantikan Riris mencuci baju, Ibu hanya mencibirkan bibir sambil berlalu meninggalkan kamar mandi.

"Pasti gara-gara dia!" tiba-tiba Mas Azmi menonyol kepala Riris.

"Mas!" pekikku kaget.

Mas Azmi tak mengindahkan ucapanku, dia justru pergi meninggalkan kami tanpa rasa berdosa.

'Sabar ya, Nak!' aku bergumam dalam hati sambil mengelus rambutnya. Kulihat dia tersenyum, seolah senyumnya justru menguatkanku.

"Riris bantu ibu buat bilas saja ya! Biar ibu yang ngucek." dia mengangguk cepat dan segera melakukannya tanpa protes sedikitpun.

Beruntung sekali aku memilikinya, dia adalah anugerah terindah yang telah tuhan kirim untukku. Aku siap jika suatu saat orang tuanya mengambil dariku. Aku ikhlas telah merawat dan mendidiknya dan sadar tak selamanya ia milikku.

"Nah! Selesai juga. Sudah dijemur semua cucian, sekarang tinggal mandi dan habis itu kita makan bersama. Ibu punya jajanan dari mamanya Amanda. Kamu mau?"

Dia mengangguk cepat dan langsung bergegas lari kekamar mandi, mungkin perutnya sudah keroncongan minta diisi.

~~~~

"Aisyah... Aku mau bicara!" Mas Azmi yang baru pulang tanpa mengucap salam langsung saja berkata demikian. Ada apa ini? Aku yakin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh Mas Azmi.

"Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku yang langsung mengekor dibelakang Mas Azmi.

Mas Azmi duduk pinggir ranjang. Aku duduk berjarak 30 cm darinya. Dia duduk dengan gelisah, seolah hal yang akan dia sampaikan itu sesuatu yang sangat mengganggu fikirannya.

"Aisyah... Tadi aku di jalan ketemu dengan Pak Husen dan Bu Shinta." aku mengkerutkan kening mencoba mengingat-ingat nama itu.

"Itu loh, yang rumahnya dipojok gang, rumah berlantai dua dengan warna biru."

"Ohh... Iya, Mas. Yang orang berada itu, yang suka ikut arisan sosialita di perumahan Mas Bekerja. Terus ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.

"Gini, Sah. Dia itukan tidak punya anak dan dia kemarin lihat Riris saat sedang bersepeda dengan Amanda." hatiku mulai gelisah, pasti ada hal yang tak beres.

"Dia... Dia... Dia mau mengadopsi Riris, dia bilang kalau kamu mau, mereka mau memberi kita satu rumah dan mobil! Kamu setuju kan?!"

Benar dugaanku, pasti seperti itu. Bukan sekali dua kali Mas Azmi mengungkapkan bahwa Riris ada yang ingin mengadopsi. Sudah lelah aku menolak.

"Nggak, Mas! Pokoknya aku nggak akan serahkan Riris sama siapapun. Dia anakku anak yang kurawat sejak bayi dan aku masih sanggup untuk memenuhi kebutuhannya!"

Mas Azmi langsung berdiri, sorot matanya tajam padaku. Aku sudah yakin dia akan naik pitam.

"Ini semua demi kebaikan Riris sendiri, Sah! Coba pikirkan! Kalau dia dirawat mereka. Riris akan hidup nyaman dan tentunya akan disekolahkan sampai sarjana. Beda kalau hidup dengan kita! Aku nyerah untuk menyekolahkannya bahkan hanya untuk kesekolah menengah!" ternyata Mas Azmi masih berkata dengan nada sedikit lembut. Aku yakin dia menahan gejolak didada.

Aku diam tak tahu harus menjawab apa. Mungkin ada benarnya jika Riris hidup dengan mereka. Namun apa aku siap kehilangannya? Sepertinya aku lebih rela kalau Riris diambil orang tuanya.

"Betul apa ucapan Azmi, Sah! Kalau kamu mau menyerahkan Riris pada Pak Husen kita jadi bisa punya rumah bagus dan mobil! Ah... Ibu pasti sangat beruntung dan setidaknya sekarang Ibu tahu kalau anak itu tak membawa sial!" seongok ucapan Ibu itu bagiku sebuah pisau mengores hati. Dia setuju karena iming-iming rumah dan mobil yang mereka janjikan tanpa memikirkan perasaan orang lain!

"Tapi... Itu artinya aku menjual anakku!" kali ini mataku sudah berkaca-kaca.

"Siapa bilang! Kan mereka yang meminta. Ayolah, Sah! Disini dia juga pemalas. Aku muak lihatnya." Ibu Mertua masih berusaha membujukku.

"Ngapain kamu disini! Nguping ya?" tiba-tiba Mbak Ratih dari pintu berkata. Aku yakin pasti dia berkata pada Riris, seraut wajah gadis kecil itu menampakan pada pintu. Matanya berkaca-kaca. Mungkinkah dia mendengar semua yang sedang kami bicarakan dan sakit hati dengan ucapan mereka.

"Riris?" seketika aku akan mendekat dia justru berjalan mundur dan kemudian berlari kencang keluar. Pasti dia marah padaku! Ya Allahhh... Maafkan hambamu ini.

===!!!===

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status