Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo
Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be
Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt
"Hey, Riris! Ngapain kamu ikut ambil makanan itu!" Suara melengking Ibu Mertua terdengar sampai kebelakang. "Kan Abi juga boleh ngambil, Nek. Riris pikir, Riris juga boleh. Kan sama-sama cucu Nenek." Terdengar lagi jawaban dari Riris. Aku segera menuju kedepan. Bakal ada drama kalau dibiarkan. "Haii... Riris! Berapa kali aku bilang, kalau kamu bukan cucuku. Kenapa sih ini anak nggak ngerti-ngerti.""Tapi, Nek. Aku juga anak Ibu dan Ba... ""Dengar baik-baik, Ris! Kamu itu bukan anak dari Azmi... Kamu itu hanya.... ""Cukup, Bu!" kupotong ucapan Ibu Mertua, agar dia tak menyebutkan bahwa Riris anak haram. Jangan sampai Riris berkecil hati tentang ini. Segera aku meraih Riris untuk pergi dari sana. Aku tak sanggup melihat Riris terus disakiti oleh orang-orang itu. Ibu Mertua dan juga kakak iparku--Mbak Ratih--dia selalu saja menganggap Riris hanya anak haram karena selama ini aku tak pernah mau menyebutkan siapa ayahnya. Bahkan Mas Azmi saja yang dulu berjanji akan menyayangi Riris
Sesuai janjiku kemarin pada Riris yang akan membawanya bertemu dengan seseorang. Sengaja hari ini aku meriasnya. Memakai baju yang kuanggap paling layak, mengikat rambutnya yang sedikit bergelombang. "Cantik!" gumamku melihat dia dari pantulan kaca. Memang Riris begitu berbeda, memiliki mata coklat dan kulit putih layaknya blasteran. Itulah yang kadang membuat orang Kepo, tentang siapa ayah dari Riris. Sedangkan aku sendiri berambut lurus dan kulit kuning langsat. "Kita mau kemana, Bu?" tanyanya masih polos seperti biasa. "Sekedar jalan-jalan, Nak. Kamu siap kan?" dia menganguk dan tersenyum. Aku beralasan pada Mas Azmi pergi kerumah teman lama yang sudah tak pernah berjumpa. Tentunya dengan berbohong bahwa dia akan memberiku pinjaman uang. Kalau masalah uang, Mas Azmi tak akan melarangku. Keluarga ini benar-benar aneh, suka sekali kalau berurusan dengan hutang piutang walau akhirnya harus ribut dengan masalah pembayarannya yang tak kunjung menentu. Aneh! Tapi, aku mencoba saja unt
Aku langsung berlari menyusul Riris yang masih meminta ampun karena Mas Azmi belum saja melepaskan tangannya dari telinga Riris. "Cukup, Mas!" kutampik tangan Mas Azmi agar segera melepaskan tangannya. Seketika Riris memelukku dengan tangis dan tangan memegangi telinga. Bahkan kulihat sudah sangat merah telinga Riris. "Jaga dan didik anak itu baik-baik! Makanya jangan dimanja jadi ngelunjak saja!" geram Mas Azmi. Memang apa yang telah dilakukan Riris. Aku segera membawa Riris masuk, kulewati Ibu Mertua dan Mbak Ratih yang terlihat memiringkan bibirnya. Mungkin tengah mengejek pada Riris. Berbeda dengan Bu Ijah yang terlihat iba. "Riris bantu ibu saja ya!" ucapku sambil mengelus kepalanya ketika dia sudah mulai agak tenang. Dia menganguk pelan. Kupapah dia menuju meja, dimana tepung dan semua keperluan kueh sedang kusediakan. "Nanti Riris bantu ngadon donat ya, Bu?" aku menganguk setuju. Dia kembali ceria dengan senyum mengembang. Sedikit kuselingi dengan candaan. Menempelkan te
"Biar Ibu saja, Ris!" pintaku pada Riris yang kulihat tengah menggosok baju Mas Azmi. Sedangkan Ibu Mertua masih berkacak pinggang didepannya. Kalau mencuci dimesin cuci, aku masih memaklumi dan membiarkan Riris melakukannya tapi ini...? Dengan bersusah payah dia menuruti intruksi yang dia kira adalah neneknya. Orang yang harus di hormati! Itu yang aku ajarkan pada Riris sejak dulu. Untuk menghormati orang yang lebih tua. "Kamu kenapa si, selalu saja memanjakan anak itu! Bikin ngelunjak dia. Mau kamu nanti hidupnya susah dan dia ngandalin kamu untuk melakukan semuanya! Mau kamu? Hah!"Aku menghembuskan nafas kasar! Emosiku sudah meluap sampai ubun-ubun. "Sekarang Aisyah tanya sama Ibu? Apa dulu ibu memperlakukan anak-anak Ibu seperti aku! Hingga sekarang Mbak Ratih lebih ngandelin orang lain dan lebih suka rebahan? Itu pengalaman ibu?" kali ini mulut Ibu mertua bungkam, tak dapat menjawab pertanyaanku. Memang Mbak Ratih sejak dulu, sejak aku menikah tak pernah melihat dia mengerja
"Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya. "Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Rir