Share

DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN
DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN
Penulis: Pipit Aisyafa

Bab 1

"Hey, Riris! Ngapain kamu ikut ambil makanan itu!" Suara melengking Ibu Mertua terdengar sampai kebelakang.

"Kan Abi juga boleh ngambil, Nek. Riris pikir, Riris juga boleh. Kan sama-sama cucu Nenek." Terdengar lagi jawaban dari Riris. Aku segera menuju kedepan. Bakal ada drama kalau dibiarkan.

"Haii... Riris! Berapa kali aku bilang, kalau kamu bukan cucuku. Kenapa sih ini anak nggak ngerti-ngerti."

"Tapi, Nek. Aku juga anak Ibu dan Ba... "

"Dengar baik-baik, Ris! Kamu itu bukan anak dari Azmi... Kamu itu hanya.... "

"Cukup, Bu!" kupotong ucapan Ibu Mertua, agar dia tak menyebutkan bahwa Riris anak haram. Jangan sampai Riris berkecil hati tentang ini.

Segera aku meraih Riris untuk pergi dari sana. Aku tak sanggup melihat Riris terus disakiti oleh orang-orang itu. Ibu Mertua dan juga kakak iparku--Mbak Ratih--dia selalu saja menganggap Riris hanya anak haram karena selama ini aku tak pernah mau menyebutkan siapa ayahnya.

Bahkan Mas Azmi saja yang dulu berjanji akan menyayangi Riris seperti anaknya sendiri sekarang sedikit berubah. Semua itu karena hasutan dari mereka berdua.

"Bu... " panggilnya ketika sudah ada dikamar. Anak polos yang berusia sembilan tahun itu menatapku sendu.

"Iya, Sayang. Jangan sedih ya!" kuusap rambut nya yang bergelombang. Menambah anggun wajahnya yang terlihat oval.

Dia mengangguk, kemudian langsung memeluku erat.

"Kenapa Nenek dan Bude selalu merasa tak suka dengan Riris, Bu. Apa salah Riris?" dia kembali berucap sambil tersedu. Aku sendiri tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Hanya air mata yang mengalir deras mengambarkan bahwa aku juga begitu merasakan sakit walau sebenarnya aku bukan ibu kandungnya.

~~~

"Aisyah... Ini belanjaan, seperti biasa tempatkan pada tempatnya masing-masing!" Ibu Mertua meletakan satu plastik besar yang berisi sayur mayur dan lauk pauk.

"Iya, Bu."

"Hey... Riris! Bantu tuh ibumu, jangan cuma main saja kamu bisanya," cetus Ibu Mertua ketika melihat Riris yang sedang mengerjakan tugas daringnya.

Aku mulai mengeluarkan belanjaan itu satu persatu dari plastik. Memisahkan antara lauk dan sayur serta bumbu rempah-rempah.

"Bu... Riris bantuin ya?" tanyanya.

"Tak usah, Ris. Biar saja Ibu yang kerjakan. Kamu selesaikan saja tugas sekolahmu," ucapku sambil tersenyum padanya.

Kumasukan cabe pada tempat plastik, kututup lalu kumasukan semuanya pada kulkas. Saat hendak akan membuang sampah, mataku fokus pada sebuah koran yang memang tak terlalu lebar karena sudah disobek. Itu tadi bungkus cabai.

Kuraih dan kuamati gambar disana. Dimana seorang bayi.

Berita hilang, telah hilang bayi perempuan kami bernama Aura Latifah Antareja dengan ciri-ciri...

Aku tercengang, kulihat tanggal dimana koran itu dicetak. Benarkah...? Aku kembali menatap Riris yang tengah masih serius dengan buku-bukunya. Apa mungkin dia yang dicari... Tanggal yang tertera dikoran itu beda satu hari saat aku menemukan Riris.

"Ada apa, Aisyah! Kok bengong begitu!" ucapan Mas Azmi membuatku tersadar. Segera aku melipat koran itu dan memasukan kekantong. Biar aku cari tahu. Selama ini tak ada yang tahu bahwa Riris bukanlah anak kandungku. Termasuk Mas Azmi sekalipun.

mungkin sudah saatnya aku memberitahu pada Mas Azmi, tentang siapa sebenarnya Riris. Dulu, aku katakan padanya dan mengakui Riris sebagai anaknya agar dia mau menerimanya layaknya aku menerima Riris.

Kehidupanku dulu yang jauh dari kata layak, tak membuatku surut untuk mengasuh bayi mungil yang kutemukan pada samping tempat sambah yang hanya beralaskan selimut. Bayi itu bersih, aku tak tahu usianya berapa tapi aku yakin bayi itu belum genap satu minggu. Terlihat dari tali pusatnya yang belum kering.

Sejak aku membawa pulang bayi itu kemana aku tinggal, dibawah kolong jembatan bersama puluhan orang lainnya yang senasib sebagai petugas pembersih sampah disebuah kawasan perumahan elit. Mereka mengusirku karena mengira anak itu anakku, yang lahir hasil hubungan perselingkuhan dengan Om yang dulu merawatku sebelum aku memutuskan kabur dan menemukan pekerjaan itu.

"Mas...," ucapku lembut padanya sambil memijit punggung.

"Apa!" jawabnya jutek tanpa beranjak dari layar ponselnya.

"Ada yang mau aku bicarakan!"

"Tentang?"

"Riris, Mas."

"Riris lagi! Riris lagi! Kenapa dia? Minta apa lagi! Bosan aku mendengarnya!"

"Dengarkan aku dulu, Mas!"

"Cukup, Aisyah... Anakmu itu hanya membuat kepalaku pusing! Belum punya anak sendiri saja sudah serepot ini, rasanya muak aku!"

Aku beringsut mundur, kalau sudah seperti ink Mas Azmi pasti tak akan mau lagi membahasnya. Kasian Riris, kalau sampai dengar pasti hatinya terluka. Dirumah ini hanya aku yang menyayanginya setulus hati, yang lain hanya menganggapnya sampah dan beban.

Tadinya aku pikir jika Mas Azmi mau diajak berdiskusi. Aku ingin mengatakan tentang siapa Riris dan menunjukan koran yang kutemukan tadi pagi itu. Aku akan merasa berdosa jika tak mempertemukan Riris denga orang tua kandungnya, walau nantinya aku sendiri mungkin tak sanggup untuk jauh dari anak yang kurawat selama ini.

"Mungkin lebih baik besok aku coba cari sendiri," gumamku. Dengan modal alamat rumah yang tertera pada koran yang sudah sedikit lusuh.

"Riris...!!" teriak Mbak Ratih memecahkan gendang telinga. Ada apa si? Kenapa memanggil Riris harus sekencang itu.

Kulihat Riris segera bergegas menuju dimana Mbak Ratih berada, aku mengikutinya dari belakang.

"A-ada apa, Bude?" dengan hati-hati dia bertanya.

"Pijitin kaki Bude. Pegel nih!" suruhnya.

"Biar aku saja, Mbak?" tawarku.

"Nggak, biar Riris saja! Kamu itu terlalu memanjakan anak itu, makanya jadi malas. Lebih baik kamu bikinin aku mie rebus saja sana! Jangan lupa pake telor kasih cabe rawit tiga, ingat yah! Tiga! Jangan lebih jangan kurang, sayurnya yang banyak!"

"Iya, Mbak." aku menghela nafas berat, rasanya tak tega melihat Riris harus memijit kaki gajah milik mbak Ratih. Ups! Aku menutup mulut, memang benar kakinya besar seperti kaki gajah.

Dua puluh menit kemudian aku kembali ke kamar, membawakan apa yang telah dipesan Mbak Ratih, kulirik Riris masih memijit. Ada raut lelah padanya bahkan sudah berkeringat di keningnya.

"Sini, Ris! Jangan di situ mulu, kamu malas banget jadi anak." Mbak Ratih masih saja kurang terima.

"Biar aku saja, Mbak. Aku kan sudah selesai. Riris sepertinya sudah capek!" kali ini Mbak Ratih tak menolak, kusuruh saja Riris segera keluar.

"Besok ikut Ibu ya!" kuusap ujung rambut Riris yang tengah mengambar.

"Kemana, Bu?" Dia seketika menghentikan aktifitasnya.

"Ikut saja! Ibu mau membawa kamu bertemu seseorang." Dia mengangguk dan kemudian tersenyum kecil, kembali melanjutkan mengambarnya. Dia memang seolah memiliki bakat melukis, setiap gambarnya selalu tampak bagus dan nyata. Semoga bakatmu itu dapat tersalurkan dengan baik. Besok aku akan pertemukan kamu dengan orang tuamu, percayalah bahwa orang tuamu akan lebih menyayangimu dari pada keluarga disini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status