Share

Bab 5

"Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya.

"Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya.

Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah.

"I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh.

"Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi!

"Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Riris. Bukankah Bapak Azmi bukan ayah Riris?" aku terpaku, pertanyaan yang sulit kujawab. Ya Allahhh... Kuatkan hambamu ini dan tolong beri jalan untukku menjawab pertanyaan bocah 9 tahun ini.

"Bu-bukan Ibu tak mau menyebutkan siapa ayahmu, Ris. Namun jika saja aku sebutkan, kamu tak akan dapat bertemu dengannya!"

Riris diam, mungkin dia sedang berfikir tentang ucapanku baru saja.

"Ayah Riris sudah tak ada didunia ini sejak Riris masih dalam perut Ibu."

Ya Allah... Maafkan aku jika aku harus berbohong sejauh ini. Semoga kelak aku dapat ampunanmu.

"Benarkah, Bu? Itu artinya Riris anak yatim?" aku menganguk mengelus pucuk kepalanya dan mencium lembut.

"Ayo kita pulang!"

"I-ibu ngga akan memberikanku pada orang kan?" tanyanya ragu.

Aku tersenyum padanya, "Tidak, Ris. Mana mungkin Ibu tega memberikan kamu pada orang lain!"

"Janji ya, Bu?" dia mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji!"

Kami melangkah menuju rumah, senyum kecil mengembang kembali pada bibirnya. Aku sangat bersyukur. Setidaknya dia masih percaya akan kata-kataku.

"Bagaimana, Sah! Kamu setuju kan?" tanya Mas Azmi ketika aku selesai salat Isya dan masuk kekamar untuk sekedar beristirahat.

"Nggak, Mas. Aku masih sanggup menghidupi anakku itu!" jawabku sambil menarik slimut.

"Sombong kamu, Sah! Lihat saja, jangan harap aku mau menyayanginya bahkan membantu biaya sekolahnya. Itu keputusanku! Semua keperluan Riris tak boleh ada yang ngambil dari uangku! Mengerti!" Mas Azmi menyibakkan selimut dan berjalan keluar. Aku tak peduli. Aku akan tetap mempertahankan Riris walau tanpa dibantu oleh Mas Azmi. Toh selama ini juga uang yang diberikan Mas Azmi memang hanya mampu untuk kebutuhan sehari-hari keluarga ini. Untuk urusan Riris dan segala keperluannya aku yang membelinya dari uang jualan kueh.

~~~~

"Nama kamu siapa? Itu yang digendong anakmu?" kuingat saat itu tengah memungut sampah dikomplek perumahan tempat Mas Azmi bekerja.

"Aisyah, Mas. Iya ini anak saya, namanya Riris."

"Kenapa dibawa kerja, kemana suamimu?" Mas Azmi yang kala itu belum kuketahui namanya.

"Ngga ada yang jaga, Mas. Aku janda!" jawabku.

Sejak saat itu Mas Azmi selalu memberiku makanan atau kadang susu untuk Riris yang baru berusia satu tahun.

"Mau kah kamu jadi istriku?" ungkapan Mas Azmi membuat aku terpaku, setelah sekian purnama mengenalnya dan terlihat dia sayang denganku juga Riris. Kata lamaran untuk jadi istrinya tak sanggup kutolak.

"Tapi aku janda beranak satu, Mas. Apa Mas Azmi mau menerimaku juga anakku?"

"Tentu saja! Aku janji akan menyayangi kamu juga Riris seperti anakku sendiri!" ucapnya kala itu. Aku melihatnya sebagai lelaki yang tangung jawab bukan seperti sekarang.

Dulu tanpa ragu aku menerimanya menjadi suami, aku yang mempunyai masa lalu kelam saat aku harus kehilangan hal yang paling berharga bagi wanita ketika usiaku masih muda. Yah... Aku diperkosa oleh Om yang merawatku dan itu bukan sekali dua kali. Hingga aku tak tahan dan memilih untuk kabur dari rumah yang lebih patas disebut neraka. Aku diperlakukan seperti budak, pagi disuruh memulung dan bila malam harus memuaskan nafsu Omku yang mabuk. Orang tuaku meninggal saat kecelakaan bus. Hingga hanya dengan Omku lah aku harus bergantung hidup.

Kukira Mas Azmi akan tulus dan aku sangat beruntung memilikinya. Namun ternyata semua itu semu. Hanya bertahan beberapa saat saja. Sekarang sikapnya begitu menunjukan ketidak sukaannya pada Riris. Air mataku meleleh mengingat itu.

~~~~

"Masak apa kamu, Sah?" tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara laki-laki. Dia adalah Sodikin--Suami Mbak Ratih--entah sejak kapan dia pulang.

"Masak sayur lodeh, Mas," jawabku cuek tanpa menatapnya. Aku sedikit tak suka dengan perangainya. Kadang kulihat matanya jelalatan dari bawah sampai keatas. Membuat aku risih.

Beruntung dia tidak pernah dirumah lama-lama. Kerjaan dia diluar kota sebagai kuli bangunan dan akan pulang sekitar satu atau dua bulan.

"Buk... Ayo, kita kepasar!" Mbak Ratih berteriak pada Ibu. Aku yang tengah menyiapkan pesanan Bu RT hanya diam bergeming.

"Mas jaga rumah saja ya, aku mau beli baju juga perhiasan." celetuknya pada Mas Sodikin yang duduk sambil baca koran.

Aku tak melihat dia menjawab atau tidak. Segera saja aku pergi mengantar pesanan Bu RT yang lumayan banyak. Separuh tadi sudah aku kirim dan ini untuk kedua kalinya karena tak muat jika sekali bawa. Untung jarak rumah Bu RT hanya sepuluh rumah dari rumah kami.

Aku tersenyum, melihat uang yang kupegang. Uang bayaran dari Bu RT. Kurasa aku ingin membelikan Riris baju yang kemarin sempat ditawarkan Bu Ijah.

"Assalamualaikum... Riris!" panggilku.

"Pergi! Pergi dari sini pakde! Riris takut!" suara Riris begitu kencang dari kamarnya yang berada dipojok belakang.

Aku segera tersadar bahwa ada hal yang tak beres.

"Riris!"

===!!!===

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status