Aku segera berlari menuju kekamar Riris, pintu di tutup tapi langsung saja kudorong. Mas Sodikin terperanjat. Riris berada dipojokan kamar sedangkan Mas Sodikin ditepi ranjang dengan telanjang dada.
"Mas! Apa yang kamu lakukan pada Riris!" tanyaku dengan mata nyalang menatap padanya benci. Dengan santai tanpa dosa Mas Sodikin justru tersenyum kecil. "Oh... Hanya mau minta kerokan aja, Sah! Tapi kayanya Riris ngga bisa. Bagaimana kalau kamu saja? Badanku meriang!" dia mendekat kearahku. Aku makin mundur. Riris yang ketakutan berlari menuju kearahku. "Ibu Riris takut!" pekiknya memeluk pinggangku. "Takut kenapa, Ris!" Mas Sodikin seolah ingin membela diri. "Takut, Bu! Riris takut sama Pakde. Dia... Dia.... " Riris sepertinya sangat takut untuk menyebutkan sesuatu. "Takut apa, Ris? Katakan ada Ibu disini!" "Pakde... Pakde... Memaksa menciumi Riris, Bu. Ririskan geli!" dengan gemetar Riris mengatakannya. "Kamu, Mas!" hardikku menatap tajam pada laki-laki yang tengah masih berdiri gagah tak jauh dariku. "Jangan coba-coba kamu sentuh anakku, Mas. Otak mesummu itu aku tau dan sangat tahu. Janganlah jadi pedofil kalau tak mau aku masukan kepenjara!" "Hahha... " Mas Sodikin tertawa lepas,"lebay kamu, Sah! Baik kalau dengan Riris aku dibilang pedofil bagaimana kalau dengan kamu saja!" langkah kaki Mas Sodikin mulai dekat. Aku makin memeluk erat Riris yang memejamkan mata ketakutan. "Sudah lama aku begitu mendambakan bisa tidur denganmu, Sah. Sepertinya kamu wanita yang luar biasa kalau diatas ranjang."Mas Sodikin memegang daguku. Kutepis dengan kasar. "Jangan coba-coba sentuh aku ataupun Riris, Mas! Kalau tak mau aku adukan pada Mbak Ratih!" aku mencoba mengancamnya. "Kamu pikir aku takut!" kali ini Mas Sodikin makin berani bahkan menatapku nyalang. Riris makin ketakutan hingga bersembunyi dibelakangku. Dengan sekali tarik, Mas Sodikin berhasil memisahkan aku dan Riris. "Diam kamu disitu!" bentaknya pada Riris. Riris ketakutan dan memilih berada dipojok dekat pintu sedangkan tubuhku terhempas pada dipan kecil milik Riris. Segera aku beranjak namun ternyata Mas Sodikin lebih cepat untuk menerkamku lebih dulu. Aku tak menyerah sekuat tenaga aku memberontak hingga aku punya kesempatan untuk menendang sel@ngkangannya. Dia mengaduh, kesempatanku untuk kabur. Aku meraih tangan Riris yang masih ketakutan dan membuka pintu secepat kilat. Namun ternyata didepan pintu Mbak Ratih berdiri. "Apa yang kalian lakukan! Kamu...! Mas Sodikin!" Mbak Ratih terlihat kalap. Dia melongok kekamar melihat keberadaan suaminya. "Jelasin, Sah! Jelasin Mas! Apa ini?" Mbak Ratih menatapku nyalang. Aku hanya bergeming, memeluk Riris dalam tangis. Aku berharap Mbak Ratih terima kenyataan bahwa suaminya itu tukang mesum bahkan mau menjadi pedofil keponakannya sendiri. "Dia, Mah! Dia yang mengodaku. Dia bilang kurang enak badan dan minta dipijitin. Katanya Azmi nggak perhatian padahal dia kecapaian membuat pesanan yang lumayan banyak. Papah hanya membantunya memijit tapi lama-lama dia.... " Mas Sodikin mengarang cerita sedemikian rupa. Seolah dia korban dari semua ini. Aku sendiri terperanjat kaget. Bagaimana bisa dia membalikan fakta? Aku menggeleng kepala cepat, "Tidak! Tidak seperti itu, Mbak. Semua bohong, dia memutar balikan fakta!" aku menudingnya. "Diam kamu, Sah! Aku ngga nyangka ya. Kamu tega menggoda laki-laki iparmu sendiri. Atau memang... " dia manatapku tajam, "kelakuanmu dari dulu seperti itu. Suka menggoda laki-laki dan tak puas dengan satu laki-laki." "Tidak, Mbak. Semua tidak seperti itu. Aku dan Riris disini korban. Tolong percayalah sama aku!" "Cukup! Aku tak percaya sama kamu. Setelah kamu punya anak saja ayahnya ngga tahu. Mana mungkin aku percaya wanita sepertimu! Cukup, aku lebih percaya dengan suamiku. Lihatlah, akan aku adukan semua perbuatanmu pada Azmi. Biar dia menceraikanmu! Wanita jalanan yang gatal!" Mbak Ratih berkata sambil berapi-api. Kemudian menarik tangan suaminya untuk pergi dari sana. Kulihat Mas Sodikin tertawa senang, Karena telah merasa menang. ~~~ "Aisyah!" panggil Mas Azmi saat aku tengah berada dikamar Riris setelah peristiwa tadi. Riris merasa ketakutan hingga dia ingin ditemani sampai tertidur. Aku segera beranjak, menuju dimana Mas Azmi berada. Ternyata mereka tengah berada diruang tamu lengkap dengan Ibu Mertua, Mbak Ratih juga Mas Sodikin. Raut Mas Azmi tak bersahabat. Aku yakin dia telah mengadu tentang apa yang baru saja terjadi. "Apa Benar yang dikatakan Mbak Ratih, Sah!" tanya Mas Azmi penuh selidik. Aku mengeleng cepat, "Tidak, Mas. Semua yang dikatakan Mas Sodikin itu memutar balikan fakta. Dia akan memperkosa Riris dan aku memergokinya!" "Halah... Jangan ngarang kamu! Mana ada seperti itu! Kamu yang mulai mengodaku, dengan menyuruh Riris memanggilku untuk pergi kekamar Riris." Mas Sodikin berkelit. "Iya, Az! Pasti istri kamu yang kegatelan dan menyuruh anak haramnya untuk ikut menjalankan aksinya. Lihatlah dia, bisa-bisanya punya anak tanpa Ayah. Kalau perempuan baik-baik mana mungkin?!" Kali ini Mbak Ratih yang bersuara. "Siapa bilang Riris anak haram!" kali ini aku geram dengan ucapan mereka, yang selalu menyebut Riris anak haram. "Kalau bukan anak haram, sekarang bilang siapa ayah dari Riris. Biar kami tahu dan bisa bertanya apakah kalian menikah atau hanya kumpul kebo!" Mbak Ratih meluap-luap. "Riris... Riris adalah... Riris adalah.... " aku terbata untuk mengungkapkannya. "Riris bukan anak kandungku!" akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Seketika raut wajah mereka kaget. ===???==="Maksud kamu apa?" Mas Azmi bertanya keheranan. Berbeda dengan Mbak Ratih, Mas Sodikin dan Ibu Mertua. Mereka justru mencibir. "Alah... Palingan itu alasan saja! Biar kita tak terus mendesak siapa ayah dari Riris. Yang pastinya dia bingung siapa ayahnya karena mungkin dia tak cukup dengan satu orang!" kali ini Mas Sodikin berkata menghakimi. "Tidak, Mas. Lihatlah, Riris begitu berbeda denganku. Dia sangat jauh denganku tak ada kemiripan sama sekali. Itu karena... ""Cukup, Sah! Bisa saja ketidak miripannya karena ayahnya. Ya... Mungkin kamu bermain dengan orang luar negri! Miris sekali ternyata istriku dulu. Pasti dia sering jadi pelampiasan orang luar yang kere!" kali ini Mas Azmi seolah telah termakan hasutan mereka. Aku mengeleng cepat, "Percayalah, Mas. Riris itu!""Cukup! Tak perlu kamu bahas lagi tentang anak itu. Disini yang kita bahas akan kelakuanmu yang mengoda kakak iparnya sendiri!" kali ini Mbak Ratih menjeda. Aku tertunduk, entah kenapa seolah aku disini terdakwa. Mir
PoV AzmiBeberapa bulan kemudian."Azmi, kamu tak lihat anak tirimu kemarin masuk TV?" tanya Jojo teman sesama satpam. Aku mengkerutkan kening, siapa yang dimaksud jojo? Riris? Sudah beberapa bulan ini sejak pengusiran Aisyah dan Riris aku menutup mata. Tak ada niat sedikitpun untuk mencari tahu keberadaannya. "Anak tiri? Siapa yang kamu maksud?" tanyaku menyempitkan mata. "Ituloh anaknya Aisyah, yang mirip blasteran itu! Ternyata dia memang benar kalau orang tuanya itu blasteran belanda dan... ""Tunggu... Tunggu... Aku masih ngga mudeng dengan apa yang kamu katakan?" cegatku mendengar penuturan Jojo. Apa maksudnya blasteran? Jelas-jelas Aisyah kan asli orang indonesia. Bahkan wajahnya saja seperti orang kampung. Apa mungkin ayahnya? "Makanya dengerin aku selesai ngomong! Emang Aisyah tak pernah cerita kalau sebenarnya Riris itu bukan anaknya?" kali ini Jojo justru menatapku tajam, "Jadi sebenarnya itu si Riris anak yang hilang beberapa tahun lalu akibat tragedi pembunuhan!"Seke
"Ya Allah, bangun, Nak!" kutepuk-tepuk pipi Riris. Badan Riris dingin sekali, aku celingukan, mencoba cari solusi untuk melihat sekitar.'Ada mini market yang masih buka!' Gumamku. Aku segera beranjak dan pergi kesana, kutinggalkan Riris untuk sementara waktu. Membeli minyak angin agar badan Riris hangat dan sadarkan diri. "Ibu.... " panggil Riris pelan. Alhamdulillah, akhirnya dia sadar juga. Segera kupeluk ia dan membawanya pergi ketempat yang lebih hangat. Beruntung hujan sudah reda. Setengah bulan berlalu, aku dan Riris memilih hidup dibawah kolong jembatan. Uang yang kupegang sangat minim, hingga lebih baik aku gunakan untuk makan dari pada mengontrak. Tadinya aku ingin cari pekerjaan walau sebagai buruh cuci. Namun aku tak tega meninggalkan Riris dalam waktu lama. Akhirnya aku menyambung hidup dengan mulung sedangkan Riris. Aku tak pernah menduga bahwa diusainya yang menginjal 9 tahun dia sudah sangat pandai. Bahkan melukis wajah orang sekalipun. Pagi hari yang cerah, aku li
"Ah! Mungkin pengrasaku saja." kutatap sekeliling rumah, bangunan yang masih bernuansa kuno melekat pada rumah ini. Kakek Antareja mengambil kacamatanya yang tergeletak tak jauh dari sana. Melihat dengan segsama secarik kertas yang kuberikan. "Benar, ini berita yang kupasang 9 tahun yang lalu. Kenapa kamu masih menyimpan?" tanya Kakek Antareja dengan mata tuanya menatap. "Sebenarnya saat saya datang kesini setengah bulan lalu, berniat untuk mencari kebenaran tentang itu dan menyampaikannya."Kali ini mata Kakek terlihat menyempit, "Apa maksud kamu, Nduk?" "Jadi begini, Kek. Sebenarnya Riris itu... "Krumpyanggg! Aku terkaget dan menghentikan ucapannya. Suara itu terdengar begitu jelas dari arah dalam."Ada apa itu, Kek?""Pak, tolong, Pak!" dari dalam bapak penjaga rumah berlari kecil. "Ada apa, Mad?" tanya Pak Antareja terlihat panik. "Istri saja, Pak! Tiba-tiba pingsan." "Yanti pingsan? Ayo... " segera saja Pak Antareja masuk kedalam, diikuti aku dan juga kugandeng Riris. B
'Aku kesurupan? Bagaimana bisa, dan kenapa. Siapa yang telah masuk keragaku.' aku benar-benar pusing, mengingat semua ini. "Bu, apa yang sempat tadi saya lakukan ke-ketika kesurupan?" tanyaku pelan pada Bu Yanti. "Sa-saya sendiri juga tak tahu banyak, Non. Karena tadi saya juga baru sadar dari pingsan. Saya lihat, Non, saat disembuhkan oleh Pak Kyai tadi." Buk Yanti menjelaskan. Benar juga, sebelum aku kesurupan memang Buk Yanti sedang pingsan. "Kalau boleh tahu, kenapa tadi Buk Yanti pingsan?" tanyaku penasaran. Terlihat wajah bingung padanya, mungkin dia sedang berfikir apa harus dia bercerita. "Ta-di saya lihat Non Linda dan Den Bagas dengan tiba-tiba." Aku mengangga. Bukankah mereka itu Ayah dan Ibunya Riris yang sudah meninggal? "Maksud, Ibu... Anak Kakek Antareja yang.... ""Iya, Non. Memang sebenarnya mereka masih sering nampak dirumah. Kadang hanya sepintas bayangan dia berjalan tapi tadi dia benar-benar berdiri di belakangku."Aku mengangguk mengerti, kemudian tak lama
Riris terus meraung kesakitan, aku bingung karena tak tahu dimana keluarga ini meletakkan P3K. "Non... Ada apa? Maaf, Ibuk di kebun belakang." dengan tergoboh Buk Yanti akhirnya datang. "Ini Riris kenapa pecahan kaca, Buk. Tolong ambilkan P3K. Lukanya seperti bukan cuma satu dan aku takut pecahan kaca kecilnya masih menancap."Tanpa menjawab lagi, Buk Yanti berjalan menuju keruang tengah. Kemudian kembali dengan membawa alat P3K dan air hanyat. "Sini, Buk." Kuambil saja semua yang ada ditangannya. Kuusap pelan-pelan dengan air hangat setiap darah yang menetes pada kaki Riris. Dia sudah tak menangis tapi masih sesenggukan. Kakek Antareja kembali kesana dengan nafas tersenggal-senggal. "Bagaimana kondisi kamu, Nak!" dia memegang pipi kanan dan kiri Riris. Seolah mencari luka di sana. "Alhamdulillah, Kek. Cuma kakinya saja yang terluka." Aku menjawab sambil membalut luka pada kaki Riris. Sejenak Kakek berfikir, kemudian mengangguk. Entah apa yang dia anggukan. Setelah selesai Riri
"Riris!" pekikku dengan berusaha mengapainya. Mencoba merebut Riris dari tangan seseorang. Bukk! Perutku ditendang hingga tersungkur, rumah yang hanya terdiri dari papan ini hampir roboh. Ada sakit di ulu hati. Sekian deti kemudian ketika orang itu sudah hampir melewati pintu. Aku seolah memiliki tenaga yang super kuat. Kubangkit berdiri dan langsung mencekal pundak orang itu dengan kasar. 'Ini bukan diriku!' pekikku dalam hati. "Lepaskan dia!" suara yang keluar dari mulutku bukan suaraku. Batinku bisa berkata tapi seolah raga ini dikendalikan oleh orang lain. "Jangan harap kamu dapat memusnahkan keturunan Antareja dengan mudah! Aku sendiri yang akan menghabisimu!"Terlihat raut kaget di mata orang itu, walau dia mengenakan penutup kepala tapi dapat kulihat kekagetannya lewat matanya yang melebar. "Kalau dulu kamu dapat membunuh aku, tidak dengan anakku! Apapun akan aku lakukan untuk menghalangimu!" Aku benar-benar bingung dengan apa yang baru saja aku katakan. Itu semua bukan
"I-ini rumah kakek juga?" tanyaku penasaran. "Iya, ini sebenarnya rumah hadiah untuk Belinda, di anniversary-nya yang pertama. Dia paling suka ke sini. Ke puncak Dieng dan telaga warna. Sebab itulah Kakek membelikan rumah yang tak jauh dari tempat itu. Dia juga sangat suka berkebun. Baik bunga ataupun sayuran." mata Kakek berkabut. Aku sampai tak tega melihatnya. Aku hanya mengangguk, sedangkan Riris masih sibuk kesana kemari. "Ayo kakek antar kedalam! Di sana ada yang jaga, tapi... Maaf sebelumnya nanti saya bilang kalau kalian pemilik baru rumah ini dan tak ada keterikatan keluarga dengan saya. Semua demi kebaikan kalian!" ujar Kakek. Aku hanya menganguk mengerti. Memang mungkin harus seperti itu ketika berurusan dengan orang kaya. Musuhnya pun tak kalah berat. Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan tentang apa sebenarnya tujuan para penjahat terhadap Riris. Namun semua urung kulakukan. Kakek seperti tergesa untuk segera pulang. "Kakek ngga bisa lama-lama di sini! Kakek haru