PoV ArsyaAku tidak menyangka tentang kebenaran yang diungkap Papa Farhan. Papa sambungku itu rupanya tidak sejahat yang kupikirkan. Sejak dulu, memang hanya dendam yang kupelihara untuknya. Namun, baru hari ini aku mengetahui semuanya. Dan untuk Fahira, entah kenapa kami dulu hanya dibutakan cinta. Aku yang notabene sudah tinggal di tempat kos sejak SMA, tidak pernah mau tahu tentang siapa Papa Farhan. Bisa dibilang kalau aku yang sangat bodoh sampai tidak mengenali nama ayah kandung dari Fahira karena memang ibunya mengatakan jika sang ayah sudah meninggal sedari dia kecil. Foto sang ayah pun, Fahira tidak pernah menjunjukkan kepadaku karena dia memang tidak punya. Hingga semua terjadi dan aku menikah diam-diam dengan perempuan lulusan Kedokteran itu. Sekarang, salah pahamku terhadap Papa Farhan berangsur-angsur hilang. Apalagi, keyakinan dari Manda sudah mengubah cara berpikirku. Tatapan ibu dari calon anakku itu tampak sayu. Aku tahu jika dia kecewa karena aku kembali menyembuny
PoV ArsyaSetelah terlelap sekitar dua jam siang ini, tubuhku pun sudah cukup bugar. Kemudian, melihat Manda dan Afkar tidur dengan nyenyak, seluruh lelahku pun menguap. Dua kesayanganku itu sudah melengkapi hidup yang sebelumnya penuh drama. Meskipun tidak dipungkiri kalau masih ada masalah yang belum terselesaikan, paling tidak aku punya tambahan penyemangat. Masih ada Ibu yang duduk sambil memandangi cucu pertamanya. Beliau pasti tidak kalah bahagianya seperti aku. Entah yang lain ke mana. Setahuku, tadi Papa Farhan dan Mama pamit pulang. Sementara keberadaan Danu, Kaniya, dan Ayah Husni, aku tidak tahu-menahu. "Nak Arsya sudah bangun. Makan siang dulu, Nak," ucap Ibu. "Manda sudah makan, Bu?" Aku balik bertanya. "Sudah, makanya dia bisa tidur sekarang." Ibu memberikan satu kotak makanan untukku. "Terima kasih, Bu." Kuterima pemberian Ibu, lalu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan tangan. Saat baru membuka kotak makanan, ponselku berbunyi. Ada telepon dari Edo. Mung
Seperti layaknya seorang istri, aku juga merasa khawatir dengan masalah yang sedang menimpa perusahaan Mas Arsya. Bukan takut kehilangan harta, hanya saja banyak orang yang bergantung pada perusahaan itu. Ribuan karyawan yang sedang mencari nafkah juga akan menjadi korban. Mendengar cerita dari Ibu jika Mas Arsya harus pergi mengurus masalah itu, aku tentu tidak bisa tenang. Apalagi, di saat tubuh pasti masih lelah, perjalanan yang ditempuh cukup jauh karena pertemuan bertempat di kantor Jakarta. Namun, saat tahu jika Mas Danu ikut dan menggantikan Mas Arsya menyetir, aku sedikit lebih tenang. Meskipun ada rasa takut jika Mas Danu berbuat nekat seperti dulu, aku mencoba berpikir positif. Aku ingin menghubungi Mas Arsya, tapi tidak mau jika hal itu malah membuat konsentrasinya terganggu. Aku menahan gelisah dengan menyibukkan diri bersama Afkar. Lagi pula, ada Ibu, Mama Astri, Kaniya, dan Ayah. Mereka menemaniku sepanjang waktu. Sore hari, seorang perawat datang untuk mengecek kondi
Aku akhirnya diizinkan pulang sore hari setelah menginap satu malam lagi bersama Afkar. Dari semua pemeriksaan, aku maupun bayi mungil itu dalam keadaan baik. ASI-ku pun sudah keluar cukup banyak. Hanya Mas Arsya dan Ibu yang menemaniku sejak semalam. Ditambah Mama Astri yang datang pagi harinya. Entah ke mana yang lain? Saat aku bertanya, mereka menjawab kompak tidak tahu. Mas Arsya memapahku berjalan, sedangkan Afkar bersama Mama Astri dan Ibu membawakan tas dan barang-barang lain. Aku punya dua ibu sekarang dan itu sangat luar biasa rasanya. Sikap Mama Astri berubah banyak kepadaku dan aku bersyukur karenanya. Kesabaran memang tidak ada tandingan. Bahkan, jika dibilang kesabaran ada batasnya, itu mungkin kurang tepat. Emosilah yang ada batasnya sehingga kesabaran terkadang kalah dan terpaksa ditinggalkan dalam sesaat. Aku sangat sering mengalami itu karena emosi yang naik-turun seperti rollercoaster. Sampai di rumah, keadaan sangat sepi. Hanya ada Bi Narti yang membukakan pintu
Sejak aku pindah ke kamar bawah, Ayah dan Ibu yang tidur di kamarku bersama Mas Arsya yang di lantai atas. Satu kamar lagi digunakan oleh Kaniya. Lantas, Mas Danu tidur di sofa ruang tengah depan televisi.Malam ini, setelah memastikan Mas Arsya dan Afkar tidur, aku keluar dari kamar, sengaja untuk bicara dengan Mas Danu. Aku tidak ingin Kaniya mundur karena sikap Mas Danu yang tak acuh. Kulihat, laki-laki berkulit putih itu sedang rebahan di sofa sambil terus memencet-pencet tombol remote televisi. Channel acara televisi pun terus berpindah tanpa diindahkan oleh yang ada di hadapan. "Bisa pusing remote-nya dipencet-pencet terus kayak gitu, Mas," ucapku seraya duduk di sofa yang hanya cukup satu orang di sampingnya. Mas Danu bingkas dan langsung memosisikan duduk. Dia menghela napas, lalu menyadarkan punggung. "Kirain siapa?" ucapnya kemudian. "Aku perlu ngomong sama Mas Danu." Kutatap tajam laki-laki yang melihat lurus ke arah televisi. Dia seperti sengaja menghindar dari pandang
PoV Danu"Sudah tiga bulan kamu lamar Kaniya, Dan. Cepat diresmikan. Ayah sama Ibu sudah dua kali tentukan tanggal, tapi kamu masih nolak. Kasihan Kaniya dan keluarganya. Mereka nunggu kepastian." Ayah mulai mendesak lagi. "Nggak tahu, Yah. Aku belum mau terikat," jawabku tak terlalu peduli. "Besok, Ayah sama Ibu mau ke Bekasi. Kayaknya, Manda sudah mau lahiran. Ibu mau nemenin adikmu di sana. Ibu harap, setelah Manda melahirkan, kamu memberi kepastian agar Ayah dan Ibu punya alasan untuk mampir ke rumah orang tua Kaniya." Sekarang, Ibu yang menimpali. Sudah tiga bulan saja aku tidak bertemu Manda. Dia pasti tambah gendut. Aku tertawa sendiri membayangkan wajah adik paling bandel itu. Meskipun tahu jika tidak mungkin lagi mengharapkannya, aku tetap tidak bisa melupakan rasa untuknya. Sementara Kaniya, aku masih belum bisa memberikan haknya. Hati ini masih tertuju untuk Manda. Namun, memang keberadaan Kaniya sedikit banyak sudah mengubah cara berpikirku, tapi untuk cinta, itu masih
Aku berharap yang terbaik untuk Mas Danu dan Kaniya. Hari ini, mereka pergi ke rumah orang tua Kaniya untuk membicarakan lebih lanjut mengenai tanggal pernikahan Keduanya. Bersama Ayah, Ibu, dan Mas Arsya, mereka berangkat sekitar pukul tujuh tadi pagi. Aku tidak ikut karena Afkar yang masih terlalu kecil. Di rumah, aku ditemani Mama Astri dan Papa Farhan yang datang beberapa menit sebelum mereka semua pergi. Mertuaku sangat perhatian kepada Apalagi saat dengan Afkar, mereka bisa tertawa lepas. Aku bersyukur masalah keluarga Mas Arsya selesai dan menjadi lebih baik. Mengingat bagaimana dulu Mama Astri memperlakukanku, itu benar-benar sangat berbeda dengan Mama Astri yang sekarang. Untuk Kaniya dan Mas Danu, aku tidak tahu apa yang membuat mereka berubah pikiran. Namun, ada yang mengganjal perasaan saat tahu keduanya akan menentukan tanggal pernikahan. Apakah hubungan mereka akan baik tanpa dilandasi cinta? Aku tahu kalau Kaniya mencintai Mas Danu, tapi belum sebaliknya. Kakakku it
PoV ArsyaAku sangat takut saat begitu banyak darah merembes di pakaian Manda. Keringat dingin pun makin terasa saat aku menyentuh kulitnya. Wajahnya pun tampak sangat pucat dengan tubuhnya bergetar. Masalah demi masalah yang ada bahkan belum mau pergi sejak dari awal kehamilannya hingga Afkar lahir. Aku pun sama sekali belum bisa membuatnya bahagia. Hari sebelumya saat aku pulang dari rumah orang tua Kaniya, Manda sudah terlihat kurang sehat. Namun, aku hanya berpikir jika dia kelelahan dan terlalu memikirkan Danu. Malam harinya pun, Manda masih bersikap biasa saja saat Pak Zaidan dan keluarganya datang. Rupanya, aku yang tidak peka. Manda mungkin sengaja diam saja soal apa yang dirasakannya. Sampai di rumah sakit terdekat, Manda langsung ditangani oleh dokter. Sementara aku hanya bisa melihat dari jarak sedikit jauh di ruang UGD ini untuk memberi ruang gerak kepada dokter dan perawat yang sedang melakukan tindakan. Satu perawat yang baru saja keluar setelah mengambil darah Manda,