Jika selama membaca cerita ini, kalian merasakan kesedihan Kinarsih,karena sesungguhnya Kinarsih itu nyata.
"Arsih! Beli daging lima kilo!" teriak Wak Er. "Maaf Wak, Arsih malu," ucapku setelah membuka masker di wajahku. Aku harus menggunakan masker selama di dapur untuk mengurangi aroma perbumbuan yang menyengat sampai ke otak. "Kamu beli, bukan minta!" serunya lagi melotot. "Bukan begitu, Wak. Arsih malu karena ...." Aku memegangi perutku yang terasa mulai sering berkedut. Kebetulan memang ada tempat jagal sapi dua ratus meter dari rumah Wak Yanto. Itu artinya aku akan melewati banyak orang yang akan menatapku sinis. Aku benar-benar masih belum siap. "Jangan banyak alasan kamu. Orang hamil harus sering jalan biar gampang pas lahiran. Pemalas! Sudah, antarkan kopi Wak-mu lalu beli daging. Ini uangnya. Besok sore ada arisan di sini!" Jantungku makin berderab kencang. Akan banyak orang yang datang ke rumah ini dan tentu saja, aku yang hamil di luar nikah adalah topik terhangat dan terseru untuk digibahkan. Ya Allah, hatiku makin nelangsa. Ingin rasanya aku menghilang, pergi sejauh mun
Sejak siang itu sampai malamnya, aku tidak keluar. Kuhabiskan waktuku untuk tidur. Tak peduli beberapa kali Wak Er menggedor pintu kamarku, aku pura-pura tidak mendengarnya. Sampai jelas kudengar lemparan batu di pintu kamarku, malah wanita gila itu melempar kerikil melalui pentilasi kamarku. Dia memang sinting dan aku tidak peduli. Aku ingin istirahat. Jam satu dini hari, aku keluar karena perutku lapar sekali. Rupanya masih ada beberapa biji bakso bersama kuahnya. Segera kuambil sisa kerak nasi di rice cooker. Aku makan lahap sekali sampai bersih nasi yang lengket di dasar panci. Air mataku tiba-tiba menetes bercampur dengan kuah bakso dalam panci yang sedang kumakan. Begini rasanya menumpang. Entah sampai kapan, aku pasrah. Cucian piring dan mangkok jelas menumpuk. Haram tangan Nyonya rumah dan Sang Putri mencucinya. Otakku ingin meninggalkan cucian itu tapi entah kenapa hatiku memutuskan untuk mencucinya. Setidaknya agar esok, kerjaanku lebih ringan. Aku berkutat di dapur samp
"Baiklah. Pergilah. Marni. Jaga Kinarsih dengan baik. Aku akan mencari kalian nanti." Wak Yanto tetap menahan istrinya. "Terimakasih banyak, Wak," ucapku mengusap air mata. Aku lalu berlari ke kamar. Tak ada yang bisa kubawa dalam situasi genting seperti ini. Kuisi baju-bajuku seadanya bahkan baju bagus dari Badai sama sekali tak kusentuh lagi. Biarlah menjadi abu bersama masa lalu yang ditinggalkannya untukku. Kotak hitam kecil itu, berisi cincin nikah itu, aku berlalu meninggalkannya. Namun ketika kakiku selangkah di luar pintu, aku berbalik arah mengambilnya. Entahlah. "Ehh ... berhenti kamu, Kinarsih?! Mau kemana kamu ha?!" tanya Wak Erni dengan wajah garangnya. "Sudah jelas kan, Wak. Arsih mau ikut Bi Mar pulang. Maaf, Arsih sudah banyak salah." Terlihat wajah Wak Erni pias. Mungkin dia mengira tadi bibiku hanya menggertak dan aku tak serius. Pastilah dia takut kehilangan pembantu gratisannya. Dibayar pun, takkan ada yang sanggup kerja padanya. Buruk sikap dan mulutnya. S
Setelah perutku terasa lebih baik, aku melangkah perlahan, keluar menuju halaman rumahku. Rasa mual tentu saja masih tapi suasana di desaku benar-benar asri. Udara segar terasa mampu menyegarkan rongga hidung dan kerongkonganku. Bi Marni ternyata semalaman membersihkan dan merapikan beberapa benda usang. Aku ingin segera beraktivitas menata gubuk kayu ini, tapi dadaku masih bergemuruh bersama jantungku berdebar-debar. "Ya Allah, kalung itu peninggalan ibu dan cincin itu pemberian Bi Marni. Kalau sudah diambil Wak Er, sudah habislah aku," gumamku sendirian. Kuedarkan pandanganku. Masih sama saat kakiku meninggalkan rumah ini. "Kinarsih?" sapa salah seorang wanita paruh baya yang lewat jalan kecil depan rumah. Biasanya jalan pintas menuju sawah, jadi agak ramai lalu lalang para petani. "Nggih, Bi Wat. Gimana kabar?" sambutku bangkit dari balai-balai, ranjang dari bambu yang sudah dicuci bersih Bi Marni semalam. "Sehat. Kamu kapan pulang? Kamu sakit?" tanya Bi Wati yang mendor
Kandunganku sudah menginjak tujuh bulan. Aku tidak pernah ikut posyandu walau ada beberapa petugas yang datang mendataku. Jangankan keluar ke tempat ramai, bahkan ingin rasanya aku memindahkan kamar mandi dari halaman samping ke dalam rumahku. Aku merasa selalu terhujam ke dasar bumi dengan tatapan sinis tetangga-tetangga walau dari kejauhan. Setiap kali mereka lewat ke sawah, wajib mereka melihat ke arah gubukku lalu terdengarlah desas-desis mulut mereka bicara. Aku pernah terpaksa keluar ke toko Aji Sopian. Benar saja, semua mata yang kulewati melemparkan tatapan jijik pada perutku yang membesar. Seolah mereka melihat bangkai yang sedang berjalan. Mereka berbisik-bisik bahkan ada beberapa yang terang-terangan menyindirku. "Begitulah kalau jadi perempuan tidak bisa jaga diri, jadi kotoran masyarakat." "Amit-amit semoga tak ada keturunanku yang seperti dia." "Ibu bapaknya orang baik-baik, anaknya malah bawa nakjis." Banyak lagi kalimat-kalimat yang menyayat hati yang kuterima. Ak
"Tumben Mbak datang posyandu?" senyum petugas kesehatan itu padaku. "Iya, Bu. Tolong saya dibantu," jawabku sekenanya. Sejak kejadian itu, aku menantang diriku sendiri menghadapi dunia yang kejam ini. Kupasang telinga batu dan kutanamkan hati besi. Setiap hinaan dan cercaan orang padaku kutelan mentah-mentah. Batu bisa terkikis dan besi bisa berkarat hingga membuatnya rapuh. Begitupun juga denganku. Aku menangis sepuasnya lalu mengusap kembali air mataku. Aku dan anakku harus tetap hidup agar bisa menyaksikan kehancuran ayahnya sendiri. "Gak ada malunya ya, bawa perut besarnya ke tempat ramai gini," ucap salah satu ibu di sana. "Kalau urat malu sudah putus, ya begitu sih, Bu," sambut temannya. Aku hanya diam menunggu namaku dipanggil. Lalu ketika aku harus beranjak pergi, aku mendekati dua wanita tadi. Mereka kikuk. "Hati-hati. Jangan sampai nanti bayi dalam perut kalian bernasib sama denganku," ucapku lalu berlalu. Wajah mereka pias tak menjawabku satu katapun. Entah apa selan
POV 3 ''Kenapa baru sekarang ibu hamilnya dibawa?" ketus bidan sambil menyiapkan peralatan medisnya. "I-iya, Bu. Maaf. Di rumah hanya ada saya dan dia," jawab Marni gelagapan. Wanita itu pucat pasi melihat kondisi keponakannya yang sangat lemah, bagai mayat hidup. "Mana suaminya?! Ini sudah habis air ketubannya," suara bidan itu lagi di tengah-tengah jeritan kesakitan Kinarsih . "Merantau," jawab Marni. Ingin rasanya Arsih menimpali 'sudah mati' namun rasa sakitnya menahannya untuk berbicara. "Jika induksi ini tidak berhasil, dia harus dioperasi, demi keselamatan ibu dan bayi," papar bidan dengan wajah yang serius. Kinarsih dipasangkan infus. "Ya Allah, Kinarsih ...." Marni lemas mendengar kata 'operasi', baginya tindakan itu merupakan momok yang menakutkan. Mungkin jika masyarakat di kampungnya lebih punya rasa iba, hal ini tidak akan terjadi. Ia menangis di samping keponakannya yang sedang berjuang. Tiba-tiba ingatan Marni berputar. Ia memapah keponakannya menuju jalan raya
Wanita yang masih muda dengan wajah yang bulat, mata lebar dan bibir tipis itu menjadi sosok yang sangat tegar. Wajah cantiknya terkikis oleh lelah fisiknya untuk tetap hidup bersama anaknya. Tidak pernah lagi ia menangis meratapi nasib. Ia yakin, selama ia berusaha pasti ada jalan untuknya. Sedari selesai sholat subuh, Kinarsih disibukkan dengan cucian yang menumpuk. Untung saja, Ilham masih tidur dan jarang rewel. Mungkin bayi itu paham, ibunya butuh dia tetap tenang. Kinarsih bersyukur, saat ini banyak yang sudah percaya padanya walau itu butuh waktu yang cukup lama dan tidak mudah. Bahkan sekedar menjadi buruh cuci sekalipun, ia harus ditolak terus menerus. "Saya tidak sudi baju saya disentuh oleh perempuan yang kotor sepertimu." "Maaf, saya bisa mencuci pakaian saya sendiri, tidak butuh tenaga wanita murahan sepertimu," ucap wanita lain. "Tak perlu, cari di tempat yang lain saja." "Saya tidak mau nasib sialmu menempel di baju saya." Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat pahi