š¹š¹š¹Semangat ... Bantu GEM dong kakš
POV 3 ''Kenapa baru sekarang ibu hamilnya dibawa?" ketus bidan sambil menyiapkan peralatan medisnya. "I-iya, Bu. Maaf. Di rumah hanya ada saya dan dia," jawab Marni gelagapan. Wanita itu pucat pasi melihat kondisi keponakannya yang sangat lemah, bagai mayat hidup. "Mana suaminya?! Ini sudah habis air ketubannya," suara bidan itu lagi di tengah-tengah jeritan kesakitan Kinarsih . "Merantau," jawab Marni. Ingin rasanya Arsih menimpali 'sudah mati' namun rasa sakitnya menahannya untuk berbicara. "Jika induksi ini tidak berhasil, dia harus dioperasi, demi keselamatan ibu dan bayi," papar bidan dengan wajah yang serius. Kinarsih dipasangkan infus. "Ya Allah, Kinarsih ...." Marni lemas mendengar kata 'operasi', baginya tindakan itu merupakan momok yang menakutkan. Mungkin jika masyarakat di kampungnya lebih punya rasa iba, hal ini tidak akan terjadi. Ia menangis di samping keponakannya yang sedang berjuang. Tiba-tiba ingatan Marni berputar. Ia memapah keponakannya menuju jalan raya
Wanita yang masih muda dengan wajah yang bulat, mata lebar dan bibir tipis itu menjadi sosok yang sangat tegar. Wajah cantiknya terkikis oleh lelah fisiknya untuk tetap hidup bersama anaknya. Tidak pernah lagi ia menangis meratapi nasib. Ia yakin, selama ia berusaha pasti ada jalan untuknya. Sedari selesai sholat subuh, Kinarsih disibukkan dengan cucian yang menumpuk. Untung saja, Ilham masih tidur dan jarang rewel. Mungkin bayi itu paham, ibunya butuh dia tetap tenang. Kinarsih bersyukur, saat ini banyak yang sudah percaya padanya walau itu butuh waktu yang cukup lama dan tidak mudah. Bahkan sekedar menjadi buruh cuci sekalipun, ia harus ditolak terus menerus. "Saya tidak sudi baju saya disentuh oleh perempuan yang kotor sepertimu." "Maaf, saya bisa mencuci pakaian saya sendiri, tidak butuh tenaga wanita murahan sepertimu," ucap wanita lain. "Tak perlu, cari di tempat yang lain saja." "Saya tidak mau nasib sialmu menempel di baju saya." Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat pahi
Suara gemeletuk dan erangan lembut di tengah dinginnya malam membangunkan Arsih dari tidur. Tubuhnya yang lelah seharian bekerja membuat ia mudah mendapatkan tidur yang sangat nyenyak. Sejurus matanya memandang, ternyata suara itu berasal dari putra semata wayangnya yang sedang mengigil dengan mata tertutup. "Ilham?" panik Arsih memegangi kepala anaknya. Ilham demam. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Arsih terkesiap. Ia menelan paksa salivanya yang terasa mengering. Panik. 'Ya Allah aku harus bagaimana ini' batinnya meronta. Kinarsih mengambil air hangat dan mengompres anaknya. Sejak malam itu, ia terus terjaga. Kondisi kesehatan Ilham makin memburuk. Sudah tiga hari panasnya naik turun. Obat warung tidak ada yang benar-benar membuat bocah itu sembuh. Pagi-pagi, dengan bergegas, Kinarsih memapah anaknya yang sudah lemah menuju jalan raya besar. Kalau-kalau ada cidomo atau tumpangan yang bisa menolongnya menuju puskesmas di pusat desa. Syukur saja, kenalan ayahnya dulu memberinya tumpang
Badai menghampiri Adelia dengan sangat cepat sehingga Arsih tidak punya pilihan lain selain berdiri tegak dengan tampilannya yang tidak terawat. Melihat sosok wanita cantik yang ia kenal berubah menjadi wanita yang lusuh, kurus dan tak terawat. Badai tercengang heran. Hampir saja ia tidak mengenalinya. Mana Kinarsih yang dulu yang membuatnya jatuh cinta? "Arsih? Kamu kah itu?" sapa Badai. Kinarsih masih mematung. Ia tidak memiliki perbendaharaan kata saat bertemu dengan laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Tak peduli seburuk apa dia wujudnya sekarang, hati wanita itu telah menjadi batu. "Eemmm ... aku ketemu Arsih di sini. Dia lagi ...." Belum selesai Adelia menjelaskan, terdengar suara bocah memekik dari lorong itu. "Mamak!!!! Cepetan!!!!" teriaknya. Semua mata tertuju pada suara itu. Badai melihat bocah itu melambai dari kejauhan. Matanya menjadi buram. Nafasnya tertahan. Ia tahu, bahkan hanya sekali melihatnya. Itulah anak yang dia telantarkan bersama ibunya. Itulah
Adelia meletakkan cangkir bertatakan warna emas di samping suaminya. Sudah satu minggu sejak kejadian itu, Badai tak banyak bicara dan lebih banyak duduk merenung. "Tehnya, Mas," ucap Adelia masam. "Ya, terimakasih, Dek." Setelah mengucapkan itu, Badai kembali diam. "Kamu jangan terlalu mikirin ucapan dokter. Keajaiban Tuhan itu ada. Kamu jangan kayak orang mau mati besok aja. Sudah macam ayam makan racun kamu," omel Adelia tak sungkan-sungkan. Sebelumnya Adelia selalu santun, sekarang wanita itu banyak mengoceh. "Kamu kenapa sih, Dek? Dari kemarin marah terus, uring-uringan," tegur Badai menoleh sebentar pada istrinya. "Gimana gak pusing, Mas. Kamu bulan ini gak kasih aku uang belanja seperti biasa. Baru setengahnya. Sepuluh juta sebulan, mana cukup, Mas! Tahu gini, aku terima aja tawaran temanku yang seorang dokter, kerja di kliniknya." Badai menghela napasnya kuat-kuat. Tahun ini, dia tidak mendapatkan perpanjangan kontrak kerja di proyek pertambangan emas di daerah Sumba
"Aku hanya mampir. Sekalian mau minta maaf, soal kejadian kemarin. Aku ... tak seharusnya seperti kemarin. Maafkan ya," ucap Badai berusaha lemah lembut. Kinarsih langsung mundur. Tatapannya tajam menyorot tak berkedip. "Pergi dari sini, Badai. Pergi!" "Ayo lah. Redamlah kemarahanmu padaku. Aku ingin berubah, bertaubat, memohon maafmu, Kinarsih. Allah saja pasti menerima taubat hambanya, kita sebagai hamba, jangan melebihi batasan sebagai makhluk." Badai mencoba membujuk Kinarsih dengan mendekati wanita itu. Begitu terdengar indah dan bijak kalimat itu. Namun Kinarsih mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Jangan bawa nama Allah, Badai. Saat kau mencampakkanku, memberikanku bangkai yang busuk, dan aku menanggung segala keperihannya, kau sama sekali tidak melibatkan Allah. Jika sedikit saja kau ingat Allah, maka kau tidak akan sekejam itu padaku. Tiga tahun telah terlalui Badai, dan aku masih ingat setiap butir ucapanmu padaku." "Arsih ... ma
Matahari sudah sepenggal naik. Di tengah sawah cabai yang begitu luas, seorang bocah laki-laki mondar mandir, melompat kadang juga ia berlari menelusuri pematang sawah. "Ilham!! Mainnya jangan jauh-jauh!!" teriak ibunya. "Nggih, Mamak!" Begitulah kehidupan janda satu anak itu. Ia sekarang lebih banyak bekerja di sawah orang lain. Kebetulan, musim cabai yang sekali setahun sedang berlangsung. Menjadi buruh harian pemetik cabai lebih banyak upahnya dalam sehari. Bisa sampai 60.000 dalam satu hari penuh. Ia juga sedikit trauma berada di rumah. Takut-takut, mantan suaminya datang lagi. Ia lebih baik membawa anaknya bekerja di sawah, dari pagi sampai menjelang maghrib. "Kinarsih, kenapa kamu tak menikah lagi?" Minah mengawali percakapan. Ada lima wanita muda di sana yang sudah berlangganan memetik cabe. "Jodohku belum ketemu, Nah," jawab Kinarsih datar. "Jodohnya langsung kabur pas sah," ejek Diana. Atun dan Hijjah cekikikan. Sedari dulu memang Diana selalu bersinggungan dengan Arsi
"Mak! Main," pinta Ilham mendengar beberapa temannya sedang saling kejar. "Boleh, ini pakai belanja. Traktir teman-teman juga, ya!" seru Rian menyodorkan uang lima puluh ribu. "Rian, itu terlalu banyak!" seru Kinarsih. Kedipan mata dari Rian membuat Kinarsih langsung terdiam. Rian tersenyum kecil mengiringi langkah kaki Ilham berjinjit-jinjit senang. "Nah, hp ini sudah siap. Gunakan sebaik mungkin." Kinarsih fokus melihat ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Senang, tentu saja. Namun dia sangat malu mendapatkan perlakuan baik seorang pemuda tampan dan berkarir sukses. "Ini hadiah dari seorang kawan, jangan kamu anggap hutang," lanjut Rian. "Ini terlalu banyak," lirih Kinarsih dalam. "Tidak sama sekali. Hanya seharga makan siang di restoran," kekeh Rian yang disambut bibir monyong Kinarsih karena merasa Rian begitu gaya. "Aku ingin kamu sukses, Kinarsih. Banyak hal di luar sana yang belum kita ketahui. Carilah sesuatu yang cocok untukmu." Kinarsih mengangguk dengan tan