Share

Bab 7. Susu Untuk Tuan Bryan

"Wih, ini dapur apa gimana?" tanya Bunga pada dirinya sendiri yang dibuat takjub dengan dapur di rumah Bryan. "Luas banget dapurnya."

Bunga terlihat takjub sekaligus kebingungan dengan isi dapur rumah Bryan yang begitu luas. Bahkan, luasnya hampir sama dengan luas rumahnya yang ada di kampungnya. Bahkan, peralatannya juga sangat lengkap dan bersih.

"Di mana ya aku cari susu coklat?" tanya Bunga tiba-tiba yang teringat dengan tujuan awalnya. Sebab, dia sendiri belum pernah masuk ke dapur itu. Bahkan, rumah yang ia datangi awal-awal bekerja bukanlah rumah yang ia tempati sekarang. Sebab, rumah sebelumnya lebih kecil dan tak memiliki dapur seluas itu.

Bunga pun berjalan ke arah kulkas dua pintu yang begitu besar. "Ini apa ya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia pun segera menarik pintu kulkas itu. Sejenak, Bunga dibuat takjub dengan kulkas yang begitu besar dan isinya sangat lengkap. "Waaah, ternyata ini kulkas. Masyaallah, ada banyak bahan makanan di sini!" Kedua pipinya langsung mengembang karena banyak bahan makanan yang ditata rapi di dalam kulkas itu. Rasanya, jiwanya untuk memasak mulai menggebu-gebu.

Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang menepuk bahu Bunga. Sontak, bulu kuduknya merinding. Wajahnya pun sampai menegang. Suasana dapur yang begitu sepi membuat dirinya semakin merinding. Secara refleks, dia meraih sutil yang ada di samping kulkas itu dan segera menutupnya dengan rapat.

"Nyonya sedang apa?" Terdengarlah suara seorang perempuan di belakang Bunga. Lantas, Bunga segera membalikkan tubuhnya.

Berdirilah seorang perempuan paruh baya di hadapan Bunga. Bunga pun langsung melihat kaki perempuan itu yang masih menapak di atas tanah. Lalu, dia menghembuskan nafas panjang karena ternyata perempuan di hadapannya adalah manusia. "Alhamdullillah, ternyata manusia, saya kira hantu," ucapnya sambil mengusapi dadanya. Ia hampir dibuat jantungan karena perempuan itu.

"Maafkan saya Nyonya," ucap perempuan itu yang merasa tak enak dengan Bunga. "Saya tak ada niatan menakut-nakuti Anda."

"Gak apa-apa kok, kalau boleh tahu, nama Ibu siapa?" tanya Bunga yang begitu ramah dengan perempuan itu.

"Saya Darsih, panggil saya Bibi Darsih, Nyonya," ucap Darsih yang begitu terpesona dengan sikap Bunga. Sebab, istri tuannya itu begitu humble dan rendah hati. "Saya sudah bekerja di sini sejak Tuan Bryan berumur 1 tahun."

"Woaaah! Berarti lama dong, Bu?" tanya Bunga yang begitu takjub dengan loyalitas Darsih.

"Jangan panggil saya Ibu, Nyonya. Panggil saya Bibi."

"Emang kenapa, Bu?"

Darsih pun menjawab, "Sebab sudah sesuai SOP-nya, Nyonya."

Dahi Bunga langsung mengernyit dibuatnya. Di kepalanya sudah dipenuhi tanda tanya. 'Apa lagi itu SOP?' batinnya.

"Nyonya?" ucap Darsih membuyarkan lamunan Bunga.

"Iya?"

"Kenapa Nyonya diam saja?"

Bunga pun garuk-garuk kepala, sebab dia tak mengerti maksud SOP. "Um ... SOP itu apa ya, Bu?" ucapnya yang tak segan-segan bertanya.

Darsih langsung menatap lekat kedua mata Bunga. 'Kok bisa-bisanya anak orang kaya gak tahu apa itu SOP?' batin Darsih. Sebab, berita yang tersebar mengatakan kalau orang tua Bunga punya usaha toko bunga. Yang berarti Bunga pasti tahu SOP itu apa.

"Bu? Kenapa malah Ibu yang gantian diam?"

Darsih segera tersadar. "Oh ...." Ia kemudian melirik ke arah Bunga yang dipenuhi tanda tanya. "Jadii, SOP itu singkatan dari Standar Operasional Prosedur, jadi kayak pedoman atau acuan ketika kita bekerja, yaaa kayak peraturan gitu, Nyonya," jawabnya. "Jadi, kita kalau di tempat kerja kan harus begini dan begini, yang mana kita mengerjakan sesuatu harus sesuai aturan pemberi kerja."

Bunga pun manggut-manggut tanda mengerti. "Oh, begitu."

Darsih kemudian melirik ke kanan dan kiri. Lalu, dia mendekat ke arah Bunga dan mulai berbisik-bisik. "Terus ... salah satu aturan di sini, setiap anggota keluarga Tuan Bryan wajib memanggil bibi kepada setiap pelayan perempuan di sini. Lalu, kalau untuk tukang kebun, supir, dan pengawal tak masalah panggil pak. Jadi, khusus untuk pelayan perempuan tak boleh dipanggil ibu. Kalau sampai ada yang memanggil kami dengan sebutan selain bibi, bisa-bisa gaji kami dipotong 50%, jadi saya mohon Nyonya jangan panggil kami ibu."

Dahi Bunga langsung mengernyit karena ia menemukan peraturan yang cukup aneh. "Sejak kapan ada peraturan seperti itu?" tanyanya kepada Darsih.

Darsih pun langsung celingak-celinguk sambil memperhatikan sekitar, sebab dia sangat takut ada yang mendengarnya. Kemudian, setelah dirasa aman, Darsih semakin mendekat dan berbisik pelan. 'Sejak Tuan Bryan mulai menguasai rumah ini dan Tuan Baskoro jarang di rumah karena harus bolak-balik berobat ke Singapore.'

"Ih, jahat banget dia!" seru Bunga.

"Sssh! Jangan keras-keras, Nyonya," ucap Darsih yang terlihat begitu ketakutan.

"M-maaf."

"Jadi, saya mohon, tolong bantu kami," ucap Darsih yang terus memohon-mohon kepada Bunga.

"Baiklah, Bi," ucap Bunga.

Raut wajah Darsih berubah seketika. Berubah lebih bahagia dibandingkan sebelumnya. "Terima kasih, Nyonya. Oh, iya, tadi Nyonya mau ngapain?" tanya Darsih.

Bunga langsung menepuk dahinya karena ia baru teringat kalau dia hendak membuatkan Bryan susu coklat hangat. "Saya ... mau bikin susu coklat hangat, Bi."

"Oh, Nyonya mau minum susu coklat hangat? Sini biar saya saja yang bikinin."

"Gak usah, Bi!" cegah Bunga. "Biar saya saja. Soalnya ini permintaan Tuan Bryan."

Darsih seketika terdiam sejenak. "Apa? Tuan Bryan?" tanyanya.

"Um ... a-anu, itu maksudnya Mas ... iya, Mas Bryan. Soalnya dia tadi ... itu mau minta bikinin susu coklat hangat, katanya dia bisa tidur kalau dia minum susu coklat hangat ...," ucapnya yang mendadak gelagapan.

Darsih dibuat semakin kebingungan. Sebab, setahunya, sang tuan tak pernah meminum susu coklat hangat jika tak bisa tidur. "Tuan Bryan minta susu coklat hangat agar bisa tidur?" tanyanya. "Ini aneh Nyonya ...."

Belum sempat Bunga menjawab pertanyaan Darsih, tiba-tiba ...

Kriet!

Pintu dapur terbuka lebar. Berdirilah Bryan di sana tanpa atasan sambil berkacak pinggang. "Apa urusan Anda bertanya seperti itu kepada istri saya, Bi Darsih?" tanyanya yang penuh keangkuhan. Dagunya bahkan sampai terangkat ke atas. "Apakah pantas bagi seorang babu seperti Anda bertanya perihal privasi mengenai tuannya?"

Darsih langsung tertunduk. "Ma-maaf, Tuan," ucap Darsih dengan segera. "Tolong maafkan saya."

"Maaf Anda tak akan saya terima sebelum Anda mencium kaki saya."

Bunga langsung tersentak mendengar ucapan Bryan. "Mas, kenapa malah Mas Bryan menyuruh Bi Darsih mencium kaki Mas Bryan? Ini kan cuma masalah sepele."

Kedua mata Bryan langsung menyorot tajam kedua mata Bunga. "Sayang, mungkin bagimu ini adalah masalah sepele, tapi bagiku tidak. Babu seperti dia harus diberi pelajaran agar tidak suka ikut campur urusan orang lain, termasuk urusan tuan dan nyonya-nya."

"Astaghfirllah, Mas, tapi Bi Darsih kan lebih tua dari kita seharusnya kita menghormatinya ...."

"Sssh! Diamlah! Aku tak suka kalau ada orang yang mencegahku!"

Tiba-tiba tanpa berkata sepatah kata, Darsih segera bersimpuh dan mencium kaki Bryan.

"Tolong maafkan saya, Tuan! Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status