:-0
Sekarang hari Sabtu, kami bekerja hanya sampai pukul sebelas siang saja. Namun sebelum pulang, aku nekat menuju gudang dengan membawa dokumen rekapan. Padahal tidak ada kesalahan apapun dalam proses rekapan karyawan gudang. Namun, aku menuju gudang karena ingin bertemu Mas Hadza. Sampai menit terakhir menjelang pulang kerja pun dia tidak mengangkat telfonku atau membalas pesanku. Siapa yang tidak meradang jika lelaki yang dicintai bersikap salah paham. Padahal perjuanganku untuk hubungan kami berdua, tidaklah main-main besarnya. Aku menyerahkan jiwa dan ragaku pada Pak Akhtara dengan imbalan bisnis kuliner yang hari ini akan dilakukan grand opening. "Lho, Jihan, ada yang salah rekapannya? Kok kemari?" Itu suara Mbak Adis, rekan kerja Mas Hadza di bagian gudang. "Eh ... ada dikit, Mbak. Makanya mau kroscek sama Pak Hadza. Orangnya dimana ya?" "Tuh." Jawabnya dengan menunjuk ke arah utara. Benar saja, lelaki itu nampak sedang serius bekerja mengatur penempatan barang di gudang
Pillow talk adalah kesukaan Pak Akhtara. Berbicara bersama di atas kasur setelah membersihkan diri. Terbukti, setelah aku keluar dari kamar mandi usai membersihkan badan, beliau yang tengah duduk di tepi ranjang langsung menepuk sebelah kanannya. "Sini, sayang." Aku menurut lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa kok cemberut? Padahal hari ini seratus porsi terjual habis." Tanyanya dengan mengusap rambutku. "Kangen Mama Papa aja, Pak. Lama nggak pulang kampung." Bohongku. Padahal aku sedang memikirkan Mas Hadza dan sebaris kalimatnya yang meminta perpisahan. Mendadak bisnis yang sudah Pak Akhtara dirikan untukku menjadi tidak menarik sama sekali. "Kita bisa pulang kampung kalau kamu mau. Saya akan kosongkan jadwal di akhir pekan sama kita jalan-jalan. Gimana?" Kemudian beliau memberiku kecupan di rambut. Kita? Aku tertawa miris di dalam hati. Pasalnya bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan segalanya pada Mas Hadza kalau Pak Akhtara selalu protektif dan posesif seperti in
Mas Hadza tidak munghubungiku sama sekali setelah pertemuan kami di lorong kantor. Dia benar-benar kekeh pada kesalahpahamannya dan aku merasa tidak puas jika tidak segera memamerkan keberhasilan bisnisku padanya. "Pak, gimana kalau menunya ditambah? Biar makin variatif?" Tanyaku pada Pak Akhtara.Kami sedang di kamar. Aku baru saja membuka laman internet tentang menu-menu kekinian yang disukai para muda-mudi dengan harga terjangkau. Sedang beliau baru keluar dari kamar mandi. Beliau mengambil tempat di sebelahku sembari menaikkan selimut sebatas pahanya lalu meraih ponselku dan melihat-lihat ide yang kugagas. "Kita konsultasikan sama Qhiyas dulu, sayang. Khawatirnya ini menu yang kurang diminati.""Pasti banyak yang suka lah, Pak.""Qhiyas lebih akurat karena dia pakai riset. Dia punya orang yang tugasnya melakukan riset kuliner yang lagi digandrungi, Han."Aku menghela nafas panjang dengan memanyunkan bibir lalu Pak Akhtara meletakkan ponselku di nakas dan memeluk perutku."Bisni
Pak Akhtara semakin menjadi menantu kesayangan karena berhasil menyelamatkan muka Mama dari amukan para Ibu-Ibu kompleks. Dengan nominal sepuluh juta untuk membayar biaya makan siang besok di salah satu rumah makan yang tidak jauh dari sini.Jika suamiku bukan Pak Akhtara, entah akan seperti apa wajah kedua orang tuaku itu! Karena sepuluh juta bukan uang yang sedikit kalau hanya untuk sekedar mengembalikan harga diri!“Bisa-bisanya Mama ngumbar janji kayak gitu! Gimana kalau hari ini kami nggak pulang kampung?!” Kesalku ketika tiba di rumah.Pak Akhtara langsung meraih pundakku dan sedikit meremasnya lalu tersenyum ke arah kedua orang tuaku.“Ma, Pa, kami pamit ke kamar dulu. Saya capek banget. Soalnya nyupir sendirian,” ucap Pak Akhtara.Lalu beliau segera membawaku ke dalam kamarku yang sempit. Tidak seperti kamar kami di rumahnya yang luas. Bahkan bisa digunakan untuk meletakkan tiga lemari sekaligus. Belum lagi ranjang king size-nya.Setelah menutup pintunya Pak Akhtara memandangku
Menangis untuk kedua kalinya karena putus cinta.Jika dulu aku berpisah dengan lelaki masa lalu karena pria itu ternyata sudah memiliki istri dan anak, maka sekarang aku berpisah dengan Mas Hadza karena kesalahpahaman.“Han, lo kenapa?” Tanya Vita, teman satu kubikelku.Kepalaku hanya menggeleng sembari menunduk dengan kedua siku tangan sebagai tumpuan di atas meja.Laptop yang sedari tadi menyala dan menunjukkan notifikasi inputan dari gudang, kubiarkan saja tanpa mengolahnya.“Lo sedih karena apa sih?! Gue perhatiin dari tadi lo nggak semangat,” ucapnya dengan menyentuh pundakku.Kembali aku hanya menggeleng tanpa mau bersuara. Atau air mata ini akan jatuh membasahi pipi.“Sekarang udah jam sembilan, Han. Kalau lo tetap kayak gini ntar pelaporan data ke Pak Akhtara nggak selesai. Orangnya bisa marah.”Nah ini ….Pak Akhtara adalah atasanku. Beliau yang akan menerima laporan audit gudang yang kukerjakan. Maka dari itulah, aku sedikit tidak memperdulikan pekerjaan ini karena beranggapa
[Pesan dariku : Pak, jadi jemput saya jam berapa?][Pesan dari Pak Akhtara : Satu jam-an lagi, sayang. Kenapa?]Aku menimbang-nimbang balasan pesan dari Pak Akhtara lalu kembali membalasnya.[Pesan dariku : Pengen martabak yang enak.][Pesan dari Pak Akhtara : Saya belikan. Ada lagi?][Pesan dariku : Kabari kalau udah dekat stand ya, Pak? Biar saya langsung ke depan.][Pesan dari Pak Akhtara : Oke, sayang.]Usai mendapat balasan dari Pak Akhtara, jantungku bertalu-talu tidak karuan sambil menatap ke arah jalanan. Tidak sadar aku meremas ponsel dengan kaki berjalan ke utara lalu ke selatan, kembali lagi ke utara lalu ke selatan lagi. Sedang kedua mataku tidak lepas dari menatap satu demi satu kendaraan yang melewati jalanan depan stand. Hingga ..."Mbak Jihan?"Aku terkejut setengah mati lalu menatap ketiga karyawanku yang sudah bersiap pulang. "Astaga!" ucapku dengan menegusap dada."Maaf, Mbak, ngagetin. Kami mau izin pulang dulu. Stand udah bersih."Kepalaku mengangguk lalu berkata
Kriingg ....Aku buru-buru membasuh wajah ketika panggilan dari ponselku mengalun keras. Usai mengusap wajah yang basah itu dengan tisyu, aku segera mengangkat panggilan."Halo.""Sayang, saya udah di depan."“Tunggu bentar, Pak."Aku segera mematikan lampu dapur lalu meraih tas kerja dan ....Mataku menatap paper bag berlogo pastry ternama berisi kue red velvet yang dibelikan Mas Hadza. Haruskah aku membawanya pulang?Tapi ....Ah, ya sudahlah. Lebih baik kubawa pulang saja kue ini dari pada dimakan semut.Aku segera menyambar paper bag itu lalu bergegas keluar dari stand. Lalu memasukkan kunci ke dalam tas usai memastikan pintu terkunci rapat.Mobil sedan hitam Pak Akhtara sudah terparkir di seberang jalan lalu aku menuruni tiga anak tangga teras menuju bahu jalan. Kemudian pintu bagian kemudi mobil terbuka, menampilkan Pak Akhtara yang masih memakai dasi dan kemeja biru bergarisnya.Beliau memberiku kode dari seberang agar aku tidak menyeberang. Kemudian beliau menyeberangi jalanan
Ada yang berbeda dengan Pak Akhtara hari ini.Belum selesai aku mencetak laporan inputan gudang, Vita yang baru saja keluar dari ruangan beliau terlihat menundukkan wajah sambil berjalan ke arah kubikel. Dengan membawa laporan di tangan."Kenapa, Vit?" Tanyaku setelah dia mendudukkan pantatnya di kursi.Lalu jemarinya membuka laporan yang dikerjakan hingga terpampang banyak sekali coretan."Baru kali ini gue kerja lalu dapat coretan sebanyak ini, Han.""Kok bisa?" Tanyaku heran."Nah itulah. Padahal gue ngerjainnya kayak biasanya. Tapi kenapa bisa salah di depan Pak Akhtara? Padahal biasanya gue ngerjain model kayak gini juga nggak masalah. Aneh kan beliau?"Aku berpikir sejenak sembari mencerna ucapan Vita."Masak sih Pak Akhtara kayak gitu?" Tanyaku memastikan."Lha ini buktinya."Lalu Vita melihat mesin pencetak hasil laporanku yang hampir selesai."Coba aja lo masuk sama bawa laporan. Dan rasakan omelannya Pak Akhtara! Keriting kuping gue denger orangnya ngomel hari ini. Heran dah!