Emily menatap jengah ke Selena dan Farrel. Dia benar-benar muak hingga malas melihat muka mereka.“Ayo pergi!” Emily ingin menghindari masalah meski sudah melontarkan kata pedas ke mantan kekasih dan rivalnya itu.“Oh … ini yang katanya sok suci, sok terzolimi, ternyata menikah dengan pria lain secara dadakan. Jangan-jangan sebelum kami berhubungan, kamu sudah berhubungan dengannya, lalu mencari alasan agar kami yang terkesan merasa bersalah, sedangkan kamu tidak.”Emily merasa kepalanya panas mendengar ucapan Selena yang jelas-jelas sedang mengejek dirinya. Dia ingin sekali membalas ucapan Selena, tapi Alaric menggenggam telapak tangannya seolah meminta Emily untuk tak meladeni.“Tidak perlu mendengarkan ucapan sekumpulan orang bodoh yang bisa menguras energimu. Mendengarkan satu orang bodoh saja sudah membuat pusing, apalagi dua.”Emily terkejut mendengar ucapan Alaric. Dia menatap pria itu dengan wajah terperangah tapi juga kagum.Emily melihat Selena dan Farrel yang terlihat terke
Emily melihat Alaric yang melirik ke jarinya, membuat wanita itu mau tak mau menjelaskan ke mana cincin yang seharusnya dia pakai. “Istri rekan bisnismu tadi menyukai cincin itu, jadi aku memberikannya,” ucap Emily menjelaskan. Emily memperhatikan Alaric yang berwajah dingin seperti biasanya, membuatnya memanyunkan bibir. “Memangnya harganya berapa? Kalau kamu tidak berkenan, aku akan menggantinya,” ucap Emily karena berpikir jika Alaric diam karena marah cincinnya diberika ke wanita tadi. “Lima puluh lima juta.” Emily melongo mendengar jawaban Alaric. Ternyata uang jajan yang diberikan Alaric dalam satu bulan langsung habis untuk ganti rugi, itu pun dia masih harus menambahi. “Ya sudah, potong dari uang jatahku.” Emily benar-benar tak menyangka cincin itu sangat mahal, padahal bayangannya tidak sampai di atas 10 juta. “Aku akan mendapatkan nilai proyek lebih besar dari cincin itu, aku tidak perlu uangmu,” ucap Alaric menanggapi perkataan Emily. “Cih, selalu saja sombong,” cibi
“Pakai ini.”Emily mengerutkan alis saat Alaric menyodorkan sebuah kotak persegi kepadanya.“Apa ini?” tanya Emily yang sebenarnya bisa menebak isi di dalamnya.“Jangan sampai kamu diremehkan di acara nanti. Pakai saja!”Alaric memberikan paksa kotak itu, lantas keluar dari kamar ganti.Emily benar-benar harus sabar menghadapi sikap Alaric yang suka mengatur dan memerintah. Dia menghela napas kasar, lantas mengembuskan perlahan.“Perhiasan lagi. Apa ini berlian asli?” Emily mencoba menerawang batu yang ada di cincin itu, tapi memilih mengedikkan bahu.Dia sudah memakai gaun yang simpel tapi cantik, lantas memakai set perhiasan pemberian Alaric yang ternyata senada dengan gaunnya.“Sepertinya dia menyiapkan ini bukan secara dadakan,” gumam Emily karena pakaian, sepatu, hingga perhiasan itu yang mempersiapkan sang suami.Emily keluar dari kamar ganti. Dia melihat Alaric yang sedang merapikan kemeja.“Gaun ini semakin cantik saat aku gunakan, kan?” Emily langsung menyombongkan diri karen
“Tapi dia menjadi bagian keluarga ini, seharusnya dia bisa melakukannya.”Emily melihat Gio yang menatapnya, hal itu membuatnya benar-benar tak nyaman.“Ada tapi bukan suatu keharusan. Jika istriku menolak, maka tak ada yang boleh memaksanya.”Alaric mulai bicara dengan nada penuh penekanan.Emily agak cemas saat melihat ketegangan di antara Alaric dan Gio, hingga mendengar suara sang kakek.“Siapa yang menyuruh kalian berdebat?” Suara sang kakek membuat keduanya menoleh.“Emi, duduklah di samping Kakek.”Bobby meminta cucu menantunya itu duduk bersamanya, yang lain pun terlihat terkejut dengan keputusan sang kakek.Bahkan Aster yang duduk di paling ujung sangat jauh dari Bobby pun terlihat iri karena Emily bisa di dekat pria itu.Emily mengangguk mendengar ucapan sang kakek. Dia pun berjalan menghampiri Bobby, lantas duduk di kursi yang ada di sisi kiri kakeknya itu.Alaric yang cucu kandung pun kini duduk di samping Emily, sangat di luar ekspektasi semua orang.Malam itu semua orang
“Kenapa malah membawaku pergi? Bagaimana kalau kakekmu semakin tak menyukaiku?”Aster langsung protes begitu berada di mobil bersama Gio.“Semua juga salahmu!” bentak Gio sambil menatap murka ke Aster. “Atau kamu ingin tetap di sana untuk melihat sepupuku itu, hah!”Aster terkejut mendengar bentakkan Gio, lantas mencoba membela diri.“Aku? Aku yang salah? Bagaimana denganmu? Kalau bukan karena rencana bodohmu, aku pasti sudah menikah dengan Alaric dan menjadi nona besar di rumah itu!” Aster balik mengamuk karena geram terkena bentak.“Kalau kamu tidak terlalu mengikuti nafsumu, mungkin kita bisa menghindari kecurigaan Alaric,” ucap Aster lagi.Gio mengapit kedua pipi Aster dengan satu tangan. Tatapan matanya terlihat sangat menakutkan.“Jangan lupa, aku yang membawamu kepadanya. Jika bukan karenaku, kamu juga bukan siapa-siapa! Kamu menyalahkan nafsuku, bagaimana dengan suara desahan dan ampunmu, hah? Sebaiknya kamu sadar diri atau aku pun akan membuangmu!”Gio melepas kasar cengkrama
“Jangan macam-macam!” Emily menyembunyikan punggung dengan merapat ke pintu setelah Alaric menarik selimutnya. “Berbalik!” perintah pria itu. “Tidak mau.” Emily masih mempertahankan posisinya. Alaric menarik napas panjang lalu menghela pelahan. “Kamu mau meminta Mama yang buka, apa ingin membuatnya curiga karena tak meminta bantuanku, tapi malah meminta bantuan Mama?” Alaric bicara dengan nada penekanan. Emily terkejut mendengar ucapan Alaric, meskipun itu benar tapi dia tetap tak mau begitu saja mengiakan. “Kamu ini pria, aku wanita. Kita sepakat tidak melakukan kontak fisik apa pun, kalau kamu membantu menurunkan risletingku, aku yakin otak mesummu akan bekerja,” ujar Emily mencoba bersikap waspada. “Perut, paha, bahkan air liurmu saja aku lihat. Sebenarnya yang mesum bukan otakku, tapi otakmu.” Emily terperangah mendengar ucapan Alaric, belum juga dia membalas ucapan Alaric, pria itu tiba-tiba menarik tangannya membuat Emily terkejut. Emily berdiri menghadap ke dada pria
Alaric keluar dari kamar mandi saat mendengar teriakan Emily. Dia memegang sikat gigi karena sedang menggosok gigi saat mendengar teriakan Emily.“Kamu yang melakukan ini, kan?” Emily memasang wajah kesal saat melihat Alaric.Bagaimana tidak kesal, dia dibungkus menggunakan selimut bak dadar gulung siap makan.Alaric menatap datar ke Emily seperti biasa, bahkan bisa-bisanya dia menggosok gigi di hadapan istrinya itu.“Ingat-ingat semalam kamu melakukan apa, baru silakan jika ingin marah.”Setelah mengatakan itu, Alaric kembali masuk ke kamar mandi.Emily melongo mendengar ucapan Alaric, apalagi pria itu malah mengabaikannya.Dia berusaha keluar dari selimut yang membungkusnya, hingga tanpa disangka Emily malah jatuh ke lantai saat berusaha berguling.“Akh! Sakit!” teriak Emily histeris sendiri.Di kamar mandi. Alaric ternyata tersenyum mendengar teriakan Emily. Sepertinya dia sudah terbiasa mendengar suara Emily yang membuat ramai kamarnya.Alaric keluar dari kamar mandi menggunakan b
Emily sangat terkejut Alaric menghubungi dan berkata jika sedang dalam perjalanan ke perusahaan.“Dia ini, apa tidak bisa membuat janji dulu? Asal menghubungi dadakan bikin orang panik!” gerutu Emily.Ingin rasanya membantah, tapi Emily tahu itu percuma. Dia pun hanya bisa menghela napas kasar.“Pasrah saja, gitu-gitu juga pria pilihanmu, Emi.”Emily mendadak baru sadar kalau pria dingin yang menyebalkan itu pilihannya bukan hasil perjodohan.Emily meraih tasnya, lantas keluar dari ruang kerjanya.“Anda mau keluar, Bu?” tanya sekretaris Emily.“Iya, aku ada urusan sebentar sekalian makan siang,” jawab Emily.Emily pun berjalan menuju lift. Sesekali dia menengok ke ponselnya, takut jika tiba-tiba Alaric mengamuk karena dirinya belum di lobi.Emily keluar dari lift yang terbuka di lobi. Dia berjalan lantas berdiri di depan lobi menunggu Alaric datang.“Emi, aku mau bicara denganmu.”Emily sangat terkejut saat tiba-tiba ada yang mencengkram lengannya saat dirinya menunggu Alaric.“Apa-ap