Alaric keluar dari kamar mandi saat mendengar teriakan Emily. Dia memegang sikat gigi karena sedang menggosok gigi saat mendengar teriakan Emily.“Kamu yang melakukan ini, kan?” Emily memasang wajah kesal saat melihat Alaric.Bagaimana tidak kesal, dia dibungkus menggunakan selimut bak dadar gulung siap makan.Alaric menatap datar ke Emily seperti biasa, bahkan bisa-bisanya dia menggosok gigi di hadapan istrinya itu.“Ingat-ingat semalam kamu melakukan apa, baru silakan jika ingin marah.”Setelah mengatakan itu, Alaric kembali masuk ke kamar mandi.Emily melongo mendengar ucapan Alaric, apalagi pria itu malah mengabaikannya.Dia berusaha keluar dari selimut yang membungkusnya, hingga tanpa disangka Emily malah jatuh ke lantai saat berusaha berguling.“Akh! Sakit!” teriak Emily histeris sendiri.Di kamar mandi. Alaric ternyata tersenyum mendengar teriakan Emily. Sepertinya dia sudah terbiasa mendengar suara Emily yang membuat ramai kamarnya.Alaric keluar dari kamar mandi menggunakan b
Emily sangat terkejut Alaric menghubungi dan berkata jika sedang dalam perjalanan ke perusahaan.“Dia ini, apa tidak bisa membuat janji dulu? Asal menghubungi dadakan bikin orang panik!” gerutu Emily.Ingin rasanya membantah, tapi Emily tahu itu percuma. Dia pun hanya bisa menghela napas kasar.“Pasrah saja, gitu-gitu juga pria pilihanmu, Emi.”Emily mendadak baru sadar kalau pria dingin yang menyebalkan itu pilihannya bukan hasil perjodohan.Emily meraih tasnya, lantas keluar dari ruang kerjanya.“Anda mau keluar, Bu?” tanya sekretaris Emily.“Iya, aku ada urusan sebentar sekalian makan siang,” jawab Emily.Emily pun berjalan menuju lift. Sesekali dia menengok ke ponselnya, takut jika tiba-tiba Alaric mengamuk karena dirinya belum di lobi.Emily keluar dari lift yang terbuka di lobi. Dia berjalan lantas berdiri di depan lobi menunggu Alaric datang.“Emi, aku mau bicara denganmu.”Emily sangat terkejut saat tiba-tiba ada yang mencengkram lengannya saat dirinya menunggu Alaric.“Apa-ap
Emily mencoba menggapai botol minum yang agak jauh darinya. Kakinya masih sakit, membuatnya sedikit kesusahan untuk mengambil.Hingga Alaric yang duduk di sampingnya mengambil botol itu, lantas membuka tutup baru kemudian memberikan ke Emily.Emily terlihat terkejut, tapi berusaha bersikap biasa.“Terima kasih,” ucap Emily lirih lantas menenggak isi dari botol.Dikarenakan kaki Emily yang sakit, akhirnya Alaric mengajak makan istrinya di ruang kerja sang istri. Alaric memesan makanan dari luar yang langsung diantar ke ruangan itu.“Kenapa kamu mendadak datang ke sini?” tanya Emily setelah selesai minum.“Kalau aku tidak datang, apa kamu mau reunian dengan mantanmu?” Alaric menjawab dengan nada dingin. Pria itu bahkan tak menoleh ke Emily sama sekali.Emily memanyunkan bibir mendengar ucapan Alaric, hingga kemudian membalas, “Siapa juga yang mau reunian. Kalau kamu tidak memintaku menunggu di lobi, aku juga tak mungkin bertemu dengannya.”Setelah mengatakan itu, Emily melihat Alaric me
“Kenapa tidak beli sendiri? Kenapa harus menyuruhku? Sejak kapan aku jadi kurir minuman?”Alaric menatap Billy yang mengantar minuman pesanannya sambil marah-marah.“Yang penting bayaranmu lancar,” balas Alaric santai sambil mengambil es coklat yang diinginkan Emily dari tangan Billy.“Ck … untuk saja gajiku tinggi, coba kalau tidak. Aku menolak cosplay jadi kurir,” gerutu Billy.Alaric tak bicara banyak dengan Billy. Dia meminta temannya itu untuk segera pergi setelah dia mendapatkan apa yang diinginkan.Alaric membawa dua cup es coklat itu masuk, hingga bertemu dengan Mia.“Kamu bawa apa, Al?” tanya Mia.Alaric menoleh ke kantong plastik yang dibawa, lantas menjawab, “Es coklat, tadi Emi yang minta dibelikan.”Alaric melihat sang mama langsung tersenyum begitu mendengar jawabannya, bisa ditebak jika sang mama pasti berpikiran aneh-aneh dengan yang dilakukannya.“Aku ke kamar dulu,” ucap Alaric lantas pergi meninggalkan sang mama.Saat sampai di kamar, Alaric tak melihat Emily di ka
“Mau ke mana kamu?”Gio menghentikan langkah saat mendengar pertanyaan dari ibunya.“Ada urusan di luar,” jawab pria itu sambil merapikan kancing di ujung lengannya.“Kamu tidak merenungkan kesalahanmu, tapi malah bersikap seenaknya. Apa kamu tidak mau mendapatkan warisan dari kakekmu? Bahkan berani-beraninya kamu meninggalkannya saat makan malam, lalu baru pulang sore tadi sekarang sudah mau pergi lagi.”Sang mama langsung mengomel karena tingkah putranya yang sulit diatur.“Meski aku bersikap baik dan penurut, bukankah itu percuma karena kita semua tahu, siapa pewaris utama keluarga ini!” Gio bicara dengan nada suara tinggi.“Kalau kamu sejak dulu bisa mengambil hati kakekmu, seharusnya kamu bisa merebutnya!” bantah sang mama dengan suara tinggi juga.Gio tersenyum mencibir mendengar ucapan sang mama. Dia terlalu malas berdebat dengan wanita itu.“Sejak kecil, hanya Alaric yang terus diperhatikan Kakek. Bahkan saat nilaiku lebih tinggi darinya, malah Alaric yang mendapatkan pujian m
Emily berada di ruang kerjanya seperti biasa di hari berikutnya meski kakinya masih agak sakit.“Bu, ada kiriman.”Emily menatap ke pintu saat sekretarisnya mengatakan itu.“Kiriman? Apa dari siapa?” tanya Emily keheranan karena tak ada yang mengabarinya hendak mengirim sesuatu.“Makanan,” jawab sekretaris Emily.Emily mengerutkan alis, hingga kurir masuk membawa kantong plastik berukuran sedang lantas menghampirinya.“Dari siapa?” tanya Emily.“Saya kurang tahu, tapi diminta kirim kemari. Pemesanan lewat transaksi online.”Emily mengerutkan alis mendengar ucapan kurir, tapi tetap menerima makanan itu.“Terima kasih,” ucap Emily ke kurir sebelum pergi.Emily mengecek isi makanan yang dikirim oleh kurir tadi.“Ini tidak beracun, kan?”Emily mendadak horor, takut-takut itu dikirim oleh mantannya atau rivalnya yang hendak meracuninya.“Kalau dicoba sedikit bagaimana?”Emily malah bingung sendiri. Ingin dibuang, tapi tampilan makanan itu sangat menggoda. Dia lantas menoleh ke bungkus satu
“Terima kasih makan siangnya tadi, sangat enak.”Emily langsung berterima kasih saat baru saja masuk mobil ketika Alaric menjemput, seperti biasa pria itu tak banyak bicara seolah tak peduli.Emily tersenyum meski Alaric tak membalas ucapannya, sepertinya dia mulai terbiasa dengan sikap pria itu.Alaric mengemudikan mobil meninggalkan perusahaan Emily. Keduanya tak bicara seperti biasa, tapi Emily bersikap berbeda dari biasanya.Alaric beberapa kali menoleh ke Emily, tapi seperti biasa tak bersuara sama sekali seolah pria itu memang tak punya banyak kosakata untuk diucapkan.Emily tampak menegakkan badan saat akan sampai di kafe langganannya, tapi karena tahu jika Alaric tak mungkin mau mampir, dia pun kembali duduk dengan benar.Namun, siapa sangka Alaric melihat gerak-gerik Emily. Tanpa disadari dia tiba-tiba saja menepikan mobil lantas memasuki halaman parkir kafe.“Kenapa kamu ke sini?” tanya Emily sambil menoleh Alaric.“Aku tidak mau jika harus membelikanmu minum lagi, jadi beli
“Kita mau ke mana? Ada apa sebenarnya? Kenapa setelah lihat ponsel, kamu jadi panik?”Emily menatap Alaric yang menyetir dengan kecepatan tinggi. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat pria itu bersikap demikian.Belum lagi Emily sedikit trauma dengan mobil yang melaju cepat karena pernah kecelakaan, sampai membuatnya berpegangan erat.Emily melihat Alaric yang masih menyetir mengabaikan pertanyaannya, hingga akhirnya pria itu menurunkan kecepatan saat sampai di area sebuah apartemen.Mobil itu masuk ke area apartemen, membuat Emily bingung kenapa Alaric malah mengajaknya ke sana.“Al, kenapa ke sini?” tanya Emily cemas.“Turunlah!” Alaric memberi perintah sambil melepas seatbelt.“Tidak, aku tidak akan turun sebelum kamu mengatakan apa yang terjadi!” Tolak Emily karena merasa aneh tiba-tiba diajak ke sana.Emily juga harus waspada, jangan sampai Alaric melakukan hal-hal yang tak diinginkan.Alaric menoleh Emily yang terlihat cemas. Dia bisa saja meninggalkan Emily,