“Yuuki? Yuuki Yuukiii?? Kenapa kamarnya dikunci dah ni anak..”
Aku tak menjawabnya karena takut. Bisa-bisanya aku tertidur begitu saja setelah lelah menangis. Sambil menutup rapat mulut dengan dua tangan, aku mendengar samar suara kak Usa yang berkata pada kak Aimi kalau kemungkinan aku sudah tidur dengan lelapnya. Setelahnya langkah kaki mereka terdengar mulai menjauh. Penuh hati-hati, aku melangkah ke lemari pakaian dimana cermin besar menempel di pintunya. Tentu saja mataku terlihat dengan jelas kalau bengkak, aku tertidur setelah menangis. Memilih untuk duduk di lantai dengan lutut yang kupeluk erat, aku menunggu beberapa waktu sebelum kembali tidur agar mata ini tak semakin membengkak. Dingin dan gelap, tapi aku seperti menikmati dengan perasaan tenggelam di dalamnya. Mungkin memang benar kalau aku tenggelam, tapi aku bisa bernafas disana. Jadi aku merasa nyaman tanpa perasaan ingin keluar dari kegelapan ini. Cukup lama aku hanya terdiam dengan posisi yang sama, bayangan Kyohei dan Minami tadi siang teringat dengan jelas di pikiranku. Aku, aku sadar ini menyakitkan. Tapi tak ada perasaan untuk melawan sakit ini. Aku malah ingin terus terjerumus dalam gelapnya rasa ini. Bodoh bukan? "Aku ingin kita kembali." Hari baru kembali hadir, aroma suasana pagi yang segar terhirup sampai dalam rumah. Setelah selesai bersiap, aku memanggang roti dan melahapnya dengan santai. Kak Usa baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengambil gelas dan bertanya beberapa hal. Kak Usa selalu terlihat seperti sosok paling dewasa di rumah ini- ah iya, ia juga bercerita tentang kak Aimi yang mengkhawatirkanku semalam. Terlebih aku memang jarang mengunci kamar saat tidur. Selain karna hanya ada aku dan kak Aimi saja di atas, banyak hal yang kukhawatirkan juga, seperti gempa yang tiba-tiba terjadi dan lainnya. Aku sadar, mungkin pemikiran ini cukup berlebihan tapi memang itu sulit untuk diubah. “Hmm, gitu ..Ya gapapa, nanti bilang aja ke orangnya langsung, kalo dia udah bangun juga sih sebelum kamu pergi.” Aku tertawa tipis mendengar candaan kak Usa. “Fighting!!” Ucap kak Usa diiringi senyum hangatnya sembari menepuk pelan salah satu bahuku. Penuh rasa curiga, aku buru-buru kembali ke kamar untuk memeriksa apakah mataku masih terlihat sembab, sampai kak Usa menyemangatiku seperti itu tanpa berkata atau bertanya apapun. Satu kata kuucapkan, aneh. Bagaimana tidak, karena saat bercermin, sama sekali tak terlihat sisa sembab dimataku, tapi ya sudahlah.. Hari ini adalah hari libur, tapi kami tetap berangkat untuk persiapan untuk festival olahraga. “Aku berangkat.” “Hati-hati!!” Teriak kak Aimi dari dalam. Rasa semangat yang terpaksa aku kumpulkan terbuang dengan sia-sia begitu saja saat mataku melihat Kyohei berdiri di depan pintu. Tangan masih kugenggamkan di gagang cukup kuat. Langkahku yang reflek berhenti membuatku sangat ingin menutup pintu ini dan kabur. Tapi aku harus pergi ke sekolah, kuacak-acak pikiranku seakan berbicara beribu solusi. “Ada apa, kok belum berangkat?” Kak Aimii muncul dengan rambutnya yang masih berantakan dan kebetulan ada kak Hikaru menepuk lembut kepala kak Aimi sambil memarahinya karna penampilan kak Aimi saat ini seperti tak enak untuk dilihat, katanya. “Apaan sih ih, gini doang juga.., brisik banget Hikkun, dih rewel mulu!!!” Aduh, kakak-kakak ini malah berantem saat aku kesusahan. Apa lagi itu, ‘Hikkun??’ panggilan sayang mungkin, gatau lagi deh.. “Ah jadi lupa, Yuuki, kamu kenapa??” sambung kak Aimi. Aku tergagap canggung sembari tertawa. “Kamu ngapain berdiri doang disitu?” “Ah enggakk.. Ini mau berangkat kok, h-hehe..” Aku bergegas keluar agar mereka tak melihat Kyohei. Kak Aimi berkata hati-hati lagi padaku, tapi kalimatnya terpotong akan suara Kyohei. Aku kaget karena suaranya begitu lantang didengar. Dia sudah berdiri di belakangku sambil menahan pintu yang tadinya mau kututup. “Selamat pagi!” Sapanya sambil menunduk pada kak Aimi dan kak Hikaru. Kyohei mengenalkan dirinya sendiri dan ia disuruh masuk lebih dulu oleh kak Aimi yang didukung kak Hikaru juga sih. Tapi karna keburu siang, ia menolaknya dengan sangat sopan dan mengajakku untuk segera berangkat. Aku pun berpamitan lagi, ‘canggungnya…’ pikirku saat itu juga. Setelah jauh dari rumah, aku mengurangi kecepatan berjalanku agar tak bersebelahan dengan Kyohei. Ia tetap diam dan berjalan dengan tenang. Geregetan, akhirnya aku bersuara lebih dulu. “Ngapain kamu tiba-tiba kesini?” “Jemput kamu.” “Hah?!” Bersambung..“Jemput kamu.” “Hah?!” Langkah yang tenang itu terhenti, ia balikkan badannya, “je-m-put ka-mu.” “Ya ampun. Gila kamu, Hei? Aku juga denger kali. Maksudnya ngapain kamu kesini gitu aja, selain itu kamu punya pacar dan selama ini juga jaga jarak ke aku.” Ia terdiam mendengar pernyataanku. Namun dengan percaya dirinya, ia tarik lenganku dan berkata, “Buruan, kita udah telat berangkat, nanti sampe sana bisa-bisa udah pada mulai latihan.” Ahhh,, bodoh bodoh bodohh!!! Bisa-bisanya, aku cuma nurut gitu aja dan malah teringat masa-masa kami berteman dulu. Bayangan masa lalu itu buyar saat suara klakson mobil terdengar. Dengan cepat kulepaskan tanganku dari genggamannya. Sengaja aku beralasan ingin ke toilet saat kami sampai di sekolah. Tentu demi menghindari masuk kelas bersamanya. Entahlah sepertinya, ini akan jadi hari sial untukku. Jika tadi karena kedatangan Kyohei yang tiba-tiba, sekarang malah ketemu kak Imada di toilet. Aku terlalu canggung untuk menyapa
Lelahnya menahan malu dan rasa sakit, aku berjalan pulang dengan malas. Perlahan mulai overthingking akan hari yang belum terjadi. “Yuuki.” Lirih seseorang yang ternyata Michio. Kami mengobrol cukup lama sampai akhirnya aku baru ingat kalau rumahnya kan nggak searah dengan kosku. Aku mengatakan padanya siapa tahu dia juga lupa, tapi dia malah bilang memang mau mengantarku pulang. “Eh iya, kamu gak masuk angin karna tadi kan?” Aku menggelengkan kepala dan memberitahunya tentang apa yang terjadi di pagi hari tadi. Ia hanya merespon seadanya saja, tapi aku cukup puas sih dengan reaksi yang ia berikan, karna ia tak menghakimi ataupun bertanya banyak hal. Mulai tak ingin membahas Kyohei lebih lanjut, aku mengalihkan pembahasan sampai kami tiba di depan kos. “Udah sampe loh,” kataku sambil menunjuk kos. Michio tiba-tiba mengatakan kalau aku menginjak sesuatu, spontan aku menundukkan kepalaku. Tapi,.. “Kamu udah bertahan dengan baik ya..” Lirihnya sambil meletakkan tangannya
“Jadi? Kamu mau cari apa dan buat siapa?” Shima berdehem, “ah tau dah bodoamat! Untuk siapanya, aku belum bisa kasih tau. Tapi, yang jelas buat cewek. Kalo untuk cari apanya, aku belum tau mau beliin apa, makannya aku minta temenin kamu.” Dasar ini anak, terkenal di semua kalangan tapi urusan gituan aja kaya susah banget nentuinnya. Tapi yah mengeluh seperti apapun, nyatanya aku malah semakin terbiasa dengan semua kelakuan Shima. Biarpun begitu aku sangat bersyukur karena dia selalu berusaha ada untukku jadi aku tak merasa sendiri. Tapi aku jadi sering menerima tatapan-tatapan tajam dari banyak cewek. Baik di sekolah, maupun di luar saat bersamanya. Aku membantunya memilih beberapa barang atas kriteria orang yang akan diberinya, tapi Shima terlihat sangat serius dalam memilih, sampai aku sekilas berfikir betapa beruntungnya cewek yang sedang dipikirkan olehnya.. Beberapa menit ia terpaku pada barang yang sama, bahkan aku sempat meninggalkannya untuk melihat-lihat barangk
“I-ini bukan tentang aku sih tapi, aku cuma jadi bingung aja karena emm apa itu namanya, ahhh aku jadi perantara buat temenku aja..” Hiromi mengangguk mengerti, ekspresi wajahnya itu seakan dia sangat menantikan kelanjutan ceritaku ini. Aku bercerita padanya tentang paperbag Shima yang masih ada padaku. Kenyataannya pagi ini aku tak bisa meletakkan di mejanya begitu saja. Tentunya aku tak menyebutkan Shima ataupun namaku sendiri. “Bukannya itu karena si cowok emang mau ngasih si cewek dari awal? Kenapa bisa ka-ah maksudku temenmu itu malah salah sangka mengira itu hanya akting?” “Ya lagian kalo kata si temenku ini, dia itu gak berbuat sesuatu yang membuatnya diberi hadiah sama si cowok ini..” “Dari si cowok juga gak ada omongan apapun setelah itu?” Aku menganguk. Hiromi menunjuk jari telunjuknya di depanku, “nah itu, kalo itu emang akting harusnya dia bakalan tagih tuh barangnya. Kalo misal ka- ekhm maksudnya kalo misal emang temenmu itu penasaran harusnya dia tanya b
Setelah telur yang kubuat matang, mereka kusajikan di atas piring dan kutinggal mandi. Seusai mandi semua orang sudah bangun dan telur yang kurebus habis tak tersisa. Kak Aimi menghampiri kamarku, ia mengetuk pintu sambil cengengesan berterima kasih. “Eh iya, hari ini kami bawa mobil dari tempat kerja. Nanti berangkatnya bareng aja yaa?” “Eh gak usah lah kak, deket juga sekolahan.” “Udah gapapa sekalian.. Aku juga pengen liat sekolahanmu.” Normalnya seorang kak Aimi, ia terus memaksaku dengan berbagai macam alasan. Aku pun kalah untuk tetap pada pendirianku. “Ini parkir di depan boleh kan ya?” “Boleh kok kak.” “Apasih, Hikkun gitu aja tanya.” “Ya elah Mii, sinis amat lu, lagian bener dia tanya dulu. Masa mau seenak sendiri di jalan.” Sahut kak Usa yang membuat kak Aimi ngambek. Tak lama, aku turun dari mobil dan berterima kasih atas tumpangannya. Mobil itupun melaju pergi setelah kami saling menyemangati satu sama lain. Guru yang menggengam tongkat berukuran seda
“Lagi lihat apa?” Tanya kak Aimi mengagetkanku. Sambil cengengesan aku menjawabnya. Kak Aimi duduk mendekat sambil melirik ke ponselku. Aku terlalu fokus membuka media sosial yang kebetulan postingan milik Minami lewat disana, sampai lupa kalau aku tak sendiri disini. “Oh anak laki-laki itu udah punya pacar rupanya, pantesan aja sih..” “Pantes kenapa kak?” “Gini-gini aku juga cewek kan, aku waktu itu ngerasa aneh aja liat kamu, tapikan aku gak mau menyimpulkannya sendiri.” Drrrdd.. drrr.. ponselku bergetar kemudian, “Hei, aku di depan..” “Maksudnya?” “Buruan keluar aja, aku dah di depan kos.” Mendapat pesan mendadak dari Kyohei, aku buru-buru menghampirinya. Di setiap langkahku, aku berharap kalau itu hanya sebatas candaan. Tapi yang benar saja, dia benar-benar menunggu di depan kos sambil celingak-celinguk ke segala arah. Aku menarik lengannya agar kami tak mengobrol di pinggir jalan. “Kamu ngapain Hei kesini?!” “Nih.. buat kamu.” Ucapnya memberikan s
"Gimana, susah ya..” Kak Hikaru muncul, akhirnya ia masuk dan membantuku membangunkan kak Aimi. Dalam beberapa panggilan dari kak Hikaru, kak Aimi terbangun dengan cepatnya. Ia buru-buru berjalan ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Sesuatu yang aku usahakan sampai hitungan menit dengan mudahnya dilakukan kak Hikaru. Jelas aku kalah telak ini namanya. Aku kembali sambil terheran sampai akhirnya kami kumpul bersama di meja makan. “Tadi si Yuuki bangunin kamu tahu, kesian lama banget dia manggil-manggil, kamunya gak bangun sama sekali.” Terang kak Usa. Kak Shin yang selalu saja adu mulut dengan kak Aimi menyalahkannya karena membuatku repot. “Maaf maaf Yuuki, aku emang susah bangun ehehehe..” “Gapapa kok kak,” jawabku tersenyum kembali heran tentang kak Hikaru yang dengan cepat membangunkan kak Aimi. Tapi tak seorang pun dari mereka yang membahas lebih lanjut, aku sendiri pun tak berani untuk bertanya. Aku rasa, itu tak sopan. “Loh, mau kemana? Bukannya libur??” Tanya ka
Hari-hari penuh kesibukan membuat pentas seni sedikit lebih dekat. Semua anak menuruti kesibukannya masing-masing. Walau begitu, kami tak melupakan pembelajaran sih.. “Yuuki..” Panggil kak Imada. Kakak cantik itu berjalan menghampiriku dengan anggunnya. Aku menunggu kedatangannya sambil menyuruh Hiromi untuk kembali ke kelas lebih dulu. “Ada apa kak?” “Formulir pentas seni yang masih kurang udah dibawa ke ruang OSIS?” “Oh iya aku lupa belum ngomong, udah kak. Tadi pagi aku berangkat langsung kubawa ke ruang OSIS setelah terkumpul.” “Gitu? Oh ya oke deh. Makasih ya.” “Sama-sama kak.” Dia buru-buru pergi dengan map tipis di tangannya. Mungkin menuju ruang OSIS. Di persiapan pentas kali ini, OSIS kekurangan orang. Dan karena aku ingin cari kegiatan tambahan, aku ikut mendaftarnya. Awalnya aku takut kalau sampai bermusuhan lebih lanjut dengan kak Imada. Tapi ternyata lagi-lagi keadaan berjalan tak seperti yang kubayangkan. Kak Imada malah seperti orang yang berbeda p