Share

Bab 6- Sebuah Game

"Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja."

"Gapapa, lagian ini bukan wilayah kami jadi tak sopan jika kami bertindak seenaknya seperti itu."

Aku mengangguk menyapanya saat kami bertatapan, tapi dia alihkan pandangan matanya itu dengan cepat. Diam, aku mendengarkan saja dua orang ini mengobrol. Untungnya Michio memahami posisiku, ia menutup obrolan lebih dulu dan pamit untuk kembali ke kelas.

"Kalian udah kenal dari lama ya?"

"Ah, ya.. Kami tetanggaan, dan satu SMP juga sih."

Aku hanya memberinya anggukkan karna kurasa tidak sopan jika bertanya lagi, tapi orang ini malah dengan sukarelanya memberitahu,

"Emm sejak kapan ya, akhir sekolah dasar sepertinya, dia mulai menunjukkan rasa yang lebih dari teman. Tapi sampai sekarang, ia tak pernah mengatakannya. Aku sendiri juga gak berani untuk membuka pintu yang ia tutup rapat."

"Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat menutupi. Tapi sebenarnya ia sudah dengan sekuat tenaga menahan perasaannya." Lanjutnya.

Aku jadi teringat tentangku dan Kyohei. Bedanya, aku tak seberani itu menunjukkan pada setiap cewek yang bersama Kyohei dengan tatapan seperti tadi. Tak bisa menahan diri, aku menanyakan satu pertanyaan dimana jawaban yang Michio berikan cukup perih untuk kudengar.

"Apa kamu otomatis menjaga jarak darinya karna tau dia menyukaimu?"

....

Kembalinya kami ke kelas, sempat di tahan oleh salah satu teman kelas. Tapi aku tetap masuk begitu saja karena merasa aneh.

Ahhhhhh, gila.

Aku ingin menangis di tempat ini sekarang juga..

Sayangnya aku tak secengeng itu di depan orang lain. Aku masih bisa berakting untuk biasa saja dan tetap bertahan di kelas. Saat semua mulai keluar kelas, aku membereskan barangku dan pergi dari kelas juga.

Aku mempercepat langkahku setelah kurasa aku sudah jauh dari kelas. Mencari tempat yang tak pernah dikunjungi oleh murid lain ataupun guru sekalipun.

Ya, itu atap.

Setelah pintu kututup, aku langsung jongkok menutupi wajahku dengan dua telapak tangan dan menangis sekencang-kencangnya.

Malunya, ternyata ada yang mengikutiku sampai sini. Aku tak tahu kapan pintu itu terbuka, kusadari kehadirannya saat ia memelukku yang masih menangis.

"Gapapa, gak ada orang lain yang tahu. Cuma ada aku disini." Ucapnya.

Aku terus terpikirkan selama ini, kenapa saat kita sedih dan mendengar kata 'gapapa' baik itu pertanyaan ataupun penegasan, malah semakin runtuh pertahanan kita.

Sesenggukkan aku menangis cukup lama. Aku lepaskan pelukan orang itu dan mulai menghapus sisa-sisa air mata yang menempel.

"Udah nangisnya?" Tanya orang itu yang mana dia adalah Michio. Aku mengangguk saat menerima sapu tangan darinya.

"M-makasih.. Kamu- kenapa kamu bisa disini?"

"Emm, kenapa ya? Aku juga gak tahu." Tersenyum ia menarik tanganku.

Michio melepas jaketnya, menyuruhku untuk duduk disana. Awalnya aku menolak, tapi ia terus memaksa. Tanpa bertanya apapun, seakan ia langsung tau alasanku menangis seperti ini.

"Aku terlihat bodoh bukan, menangisi hal seperti itu.."

"Itu bukan 'hal seperti itu' aja kok. Emangnya, aku terlihat seperti tipe orang yang suka menghakimi orang lain ya?"

Aku menggeleng tak setuju.

“Maaf ya karna seenaknya ngikutin kamu gitu aja, juga.." ia memalingkan sejenak matanya dariku seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Juga?"

"Emm, aku minta maaf soal jawabanku atas pertanyaanmu tadi."

"Ahhh, gak gak. Kamu bener kok, siapapun pasti risih kalau terlalu dekat dengan orang yang menyukaimu tapi kamu gak menyukainya. Kalau urusan mengikutiku kesini, gak masalah. Malah aku berterima kasih jadinya.."

"Ini bukan tentang risih atau enggak. Posisinya, kalau kami semakin dekat, takutnya malah menyakiti. Atau semakin diharapkan. Tapi kalo Kyohei, aku gak bisa kasih komentar apa-apa sih. Aku gak tahu isi hatinya, dan aku juga gak mau sok tahu."

Aku tersenyum mengerti akan apa yang ia ucapkan.

"Pasti menyakitkan ya melihatnya berci*man dengan orang lain. Ya walaupun mereka berdua sekarang udah pacaran ataupun karna katanya mereka kalah main game, tetep aja itu sangat menyakitimu bukan?"

Mengangguk aku tersenyum mengiyakan pertanyaannya. Dengan berbagai kalimat ia mencoba untuk menghiburku. Aku jadi bercerita tentangku dan Kyohei.

Banyak hal yang kuceritakan padanya, sampai tak sadar waktu semakin menarik matahari untuk tenggelam.

Tadinya, Michio ingin mengantarku pulang, tapi karna arah kami cukup berbeda, aku menolaknya. Untungnya, ia pun tak ragu untuk menerima penolakanku.

“Sampe jumpa lagi.” Ucapnya.

Sesampainya di kos, aku beruntung karena rumah masih kosong. Dan dengan percumanya, aku kembali menangis setelah masuk kamar sampai aku tertidur. Saat suara orang mengobrol terdengar, dengan cepat aku berlari meraih pintu kamar untuk menguncinya sebelum kudengar suara kak Aimi memanggil-manggilku. Waktu yang tepat.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status