“Saya akan bekerja keras sebaik mungkin!!”
“Hehe, mohon bantuannya ya, Yuuki..” Setelah kemarin datang dan mengajukan diri untuk bekerja di sebuah toko buku, hari ini aku berangkat full dua shift. Toko buku ini bukan toko yang besar, tapi banyak hal yang berharga ada disini. Kalau bukan demi uang, aku beli buku-buku ini. Barusan saja, aku berkenalan dengan karyawan yang akan kugantikan selama libur. Aku diajari berbagai hal dari sebelum toko buka sampai solusi-solusi dalam menghadapi pelanggan yang ada. “Pekerjaan apapun itu bagian dari kehidupan. Tak akan lepas dari masalah. Jadi, siapkan mental dan percaya saja bahwa nantinya, semua masalah yang kamu hadapi akan berlalu.” Imbuhnya. Aku terus berkeringat karena gugup, tapi untunglah aku bisa mengaturnya dengan baik. Sekuat tenaga mengontrol suara dan kalimat bicaraku dengan pelanggan. Pintu toko terbuka, kuucapkan sapaan selamat datang namun terhenti. Karena orang itu adalah Michio, ia juga kaget saat melihatku. Biar begitu dia hanya diam mendekat dan ia letakkan tasnya di dekat tasku. Aku terus melihatnya karena bingung, ia berkata, “Aku juga karyawan sini.” Wah, enak sih ternyata aku kenal siapa teman kerjaku, tapi ini terlalu canggung karena bukan sekolah latarnya, hehe. “Jadi, kamu yang gantiin kak Midori ya?” “Iya, selama liburan aja sih.” “Oh gitu, baguslah. Daripada banyak bingung di rumah dan waktu terbuang gitu aja kan.” Aku setuju dengan apa yang dia ucapkan. Setelahnya dia mulai memberitahukan beberapa pelanggan yang aneh, pemarah, atau yang lainnya. Karena terbiasa di kelas, kerja sama kami cukup kompak di tempat kerja jadinya. Waktu terus berlalu, saatnya tutup toko. Usai menutup pintu, Michio menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang dan aku pun menyetujui hal itu. POV AUTHOR Tesss.. tess.. sisa es krim ditangan mungil seorang siswi menetes mengenai lengan tangannya. Pandangan matanya mengarah ke arah Yuuki dan Michio yang jalan bersama. Tak teralihkan, ia pergi setelah dua orang tadi tak terlihat lagi. “Maaf ya sayang, mama kelupaan.” “Gapapa ma.” Di sisi lain, Yuuki sudah sampai di depan kosnya. Dia langsung masuk begitu Michio pamit. Saat semua orang di kos belum pulang, Yuuki melanjutkan kegiatannya ditemani musik dari ponselnya. Karena musik ia putar secara acak, lagu sedih pun tak sengaja terputar. Yuuki diam meratapi lagu itu sambil menatap ke sebuah foto berpigura yang ia pajang di atas mejanya. Foto itu adalah foto dimana dia tersenyum ceria ditemani Kyohei dan neneknya. Mungkin ia rindu kehadiran dua orang itu dalam hidupnya, neneknya yang telah tiada semakin menyayat hatinya. Ia sedang diterkam kenyataan. “Ah, sudah sudah.. Bukan saatnya untuk bersedih kaya gini. Aku harus banyak menyibukkan diri.” Ungkapnya. Hari terus berlalu, keuangan Yuuki semakin membaik dan terus stabil. Libur musim panas pun telah selesai dan semua siswa kembali berangkat sekolah. POV AUTHOR END Hari ini, semua anak bersemangat membicarakan festival olahraga yang akan diadakan sebentar lagi. "Hufffhhtt~" "Kenapa menghela nafas gitu?" "Halah...." "Ehhhh, kok aku malah berasa dapet keluhan 'orang ini lagi, orang ini lagi' dari kamu yaa?” "Memang." "Heee?!? Kejam amat~" Aku mengabaikan keluhan Shima, kukatakan padanya kalau aku payah dalam olahraga. Dia malah terkekeh sambil berkata, “Gak masalah. Kamu pilih aja lomba yang gak begitu olahraga banget, hehe..” Bagaimana bisa ada lomba yang 'gak begitu olahraga banget' sedangkan namanya juga Festival Olahraga. Sekarang ini, aku jadi dekat dengan Shima. Yah lebih tepatnya dia yang selalu mendekat lebih dulu sih. Tadinya aku terganggu dengan tingkahnya itu. Ia berisik dan menyebalkan. Tapi karna setiap hari melihatnya bertingkah, aku malah jadi terbiasa. Di satu sisi, semenjak Kyohei pacaran dengan Minami, kami sama sekali tak pernah bersama lagi. Bak orang asing yang tak pernah kenal dan tak mau mengenal. Saat ini, seisi kelas sedang berunding membagi kelompok untuk masing-masing lomba. Karena ketua kelas begitu antusias untuk memenangkan banyak lomba, aku berterus terang kalau level olahragaku nol persen. Aku memilih untuk malu di awal daripada harus malu disaat semua sudah terjadi. Lagian, dengan begini mereka tak akan berharap banyak padaku. Setelah selesai, Takumi, selaku ketua kelas menyuruh anak yang piket untuk membawakan tumpukan buku tugas ke ruang guru dan kertas pembagian lomba ke ruang OSIS. Tugasku dan Michiolah kali ini karena kami piket. Begitu kami tiba di ruang OSIS tak ada satupun orang disana. Memutuskan untuk menunggu, akhirnya datang seorang anggota OSIS senior yang ternyata senior itu dan Michio saling kenal. "Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja." Bersambung.."Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja." "Gapapa, lagian ini bukan wilayah kami jadi tak sopan jika kami bertindak seenaknya seperti itu." Aku mengangguk menyapanya saat kami bertatapan, tapi dia alihkan pandangan matanya itu dengan cepat. Diam, aku mendengarkan saja dua orang ini mengobrol. Untungnya Michio memahami posisiku, ia menutup obrolan lebih dulu dan pamit untuk kembali ke kelas. "Kalian udah kenal dari lama ya?" "Ah, ya.. Kami tetanggaan, dan satu SMP juga sih." Aku hanya memberinya anggukkan karna kurasa tidak sopan jika bertanya lagi, tapi orang ini malah dengan sukarelanya memberitahu, "Emm sejak kapan ya, akhir sekolah dasar sepertinya, dia mulai menunjukkan rasa yang lebih dari teman. Tapi sampai sekarang, ia tak pernah mengatakannya. Aku sendiri juga gak berani untuk membuka pintu yang ia tutup rapat." "Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat menutupi. Tapi sebenarnya ia sudah dengan sekuat tenaga menahan perasaannya."
“Yuuki? Yuuki Yuukiii?? Kenapa kamarnya dikunci dah ni anak..” Aku tak menjawabnya karena takut. Bisa-bisanya aku tertidur begitu saja setelah lelah menangis. Sambil menutup rapat mulut dengan dua tangan, aku mendengar samar suara kak Usa yang berkata pada kak Aimi kalau kemungkinan aku sudah tidur dengan lelapnya. Setelahnya langkah kaki mereka terdengar mulai menjauh. Penuh hati-hati, aku melangkah ke lemari pakaian dimana cermin besar menempel di pintunya. Tentu saja mataku terlihat dengan jelas kalau bengkak, aku tertidur setelah menangis. Memilih untuk duduk di lantai dengan lutut yang kupeluk erat, aku menunggu beberapa waktu sebelum kembali tidur agar mata ini tak semakin membengkak. Dingin dan gelap, tapi aku seperti menikmati dengan perasaan tenggelam di dalamnya. Mungkin memang benar kalau aku tenggelam, tapi aku bisa bernafas disana. Jadi aku merasa nyaman tanpa perasaan ingin keluar dari kegelapan ini. Cukup lama aku hanya terdiam dengan posisi yang sama, bayang
“Jemput kamu.” “Hah?!” Langkah yang tenang itu terhenti, ia balikkan badannya, “je-m-put ka-mu.” “Ya ampun. Gila kamu, Hei? Aku juga denger kali. Maksudnya ngapain kamu kesini gitu aja, selain itu kamu punya pacar dan selama ini juga jaga jarak ke aku.” Ia terdiam mendengar pernyataanku. Namun dengan percaya dirinya, ia tarik lenganku dan berkata, “Buruan, kita udah telat berangkat, nanti sampe sana bisa-bisa udah pada mulai latihan.” Ahhh,, bodoh bodoh bodohh!!! Bisa-bisanya, aku cuma nurut gitu aja dan malah teringat masa-masa kami berteman dulu. Bayangan masa lalu itu buyar saat suara klakson mobil terdengar. Dengan cepat kulepaskan tanganku dari genggamannya. Sengaja aku beralasan ingin ke toilet saat kami sampai di sekolah. Tentu demi menghindari masuk kelas bersamanya. Entahlah sepertinya, ini akan jadi hari sial untukku. Jika tadi karena kedatangan Kyohei yang tiba-tiba, sekarang malah ketemu kak Imada di toilet. Aku terlalu canggung untuk menyapa
Lelahnya menahan malu dan rasa sakit, aku berjalan pulang dengan malas. Perlahan mulai overthingking akan hari yang belum terjadi. “Yuuki.” Lirih seseorang yang ternyata Michio. Kami mengobrol cukup lama sampai akhirnya aku baru ingat kalau rumahnya kan nggak searah dengan kosku. Aku mengatakan padanya siapa tahu dia juga lupa, tapi dia malah bilang memang mau mengantarku pulang. “Eh iya, kamu gak masuk angin karna tadi kan?” Aku menggelengkan kepala dan memberitahunya tentang apa yang terjadi di pagi hari tadi. Ia hanya merespon seadanya saja, tapi aku cukup puas sih dengan reaksi yang ia berikan, karna ia tak menghakimi ataupun bertanya banyak hal. Mulai tak ingin membahas Kyohei lebih lanjut, aku mengalihkan pembahasan sampai kami tiba di depan kos. “Udah sampe loh,” kataku sambil menunjuk kos. Michio tiba-tiba mengatakan kalau aku menginjak sesuatu, spontan aku menundukkan kepalaku. Tapi,.. “Kamu udah bertahan dengan baik ya..” Lirihnya sambil meletakkan tangannya
“Jadi? Kamu mau cari apa dan buat siapa?” Shima berdehem, “ah tau dah bodoamat! Untuk siapanya, aku belum bisa kasih tau. Tapi, yang jelas buat cewek. Kalo untuk cari apanya, aku belum tau mau beliin apa, makannya aku minta temenin kamu.” Dasar ini anak, terkenal di semua kalangan tapi urusan gituan aja kaya susah banget nentuinnya. Tapi yah mengeluh seperti apapun, nyatanya aku malah semakin terbiasa dengan semua kelakuan Shima. Biarpun begitu aku sangat bersyukur karena dia selalu berusaha ada untukku jadi aku tak merasa sendiri. Tapi aku jadi sering menerima tatapan-tatapan tajam dari banyak cewek. Baik di sekolah, maupun di luar saat bersamanya. Aku membantunya memilih beberapa barang atas kriteria orang yang akan diberinya, tapi Shima terlihat sangat serius dalam memilih, sampai aku sekilas berfikir betapa beruntungnya cewek yang sedang dipikirkan olehnya.. Beberapa menit ia terpaku pada barang yang sama, bahkan aku sempat meninggalkannya untuk melihat-lihat barangk
“I-ini bukan tentang aku sih tapi, aku cuma jadi bingung aja karena emm apa itu namanya, ahhh aku jadi perantara buat temenku aja..” Hiromi mengangguk mengerti, ekspresi wajahnya itu seakan dia sangat menantikan kelanjutan ceritaku ini. Aku bercerita padanya tentang paperbag Shima yang masih ada padaku. Kenyataannya pagi ini aku tak bisa meletakkan di mejanya begitu saja. Tentunya aku tak menyebutkan Shima ataupun namaku sendiri. “Bukannya itu karena si cowok emang mau ngasih si cewek dari awal? Kenapa bisa ka-ah maksudku temenmu itu malah salah sangka mengira itu hanya akting?” “Ya lagian kalo kata si temenku ini, dia itu gak berbuat sesuatu yang membuatnya diberi hadiah sama si cowok ini..” “Dari si cowok juga gak ada omongan apapun setelah itu?” Aku menganguk. Hiromi menunjuk jari telunjuknya di depanku, “nah itu, kalo itu emang akting harusnya dia bakalan tagih tuh barangnya. Kalo misal ka- ekhm maksudnya kalo misal emang temenmu itu penasaran harusnya dia tanya b
Setelah telur yang kubuat matang, mereka kusajikan di atas piring dan kutinggal mandi. Seusai mandi semua orang sudah bangun dan telur yang kurebus habis tak tersisa. Kak Aimi menghampiri kamarku, ia mengetuk pintu sambil cengengesan berterima kasih. “Eh iya, hari ini kami bawa mobil dari tempat kerja. Nanti berangkatnya bareng aja yaa?” “Eh gak usah lah kak, deket juga sekolahan.” “Udah gapapa sekalian.. Aku juga pengen liat sekolahanmu.” Normalnya seorang kak Aimi, ia terus memaksaku dengan berbagai macam alasan. Aku pun kalah untuk tetap pada pendirianku. “Ini parkir di depan boleh kan ya?” “Boleh kok kak.” “Apasih, Hikkun gitu aja tanya.” “Ya elah Mii, sinis amat lu, lagian bener dia tanya dulu. Masa mau seenak sendiri di jalan.” Sahut kak Usa yang membuat kak Aimi ngambek. Tak lama, aku turun dari mobil dan berterima kasih atas tumpangannya. Mobil itupun melaju pergi setelah kami saling menyemangati satu sama lain. Guru yang menggengam tongkat berukuran seda
“Lagi lihat apa?” Tanya kak Aimi mengagetkanku. Sambil cengengesan aku menjawabnya. Kak Aimi duduk mendekat sambil melirik ke ponselku. Aku terlalu fokus membuka media sosial yang kebetulan postingan milik Minami lewat disana, sampai lupa kalau aku tak sendiri disini. “Oh anak laki-laki itu udah punya pacar rupanya, pantesan aja sih..” “Pantes kenapa kak?” “Gini-gini aku juga cewek kan, aku waktu itu ngerasa aneh aja liat kamu, tapikan aku gak mau menyimpulkannya sendiri.” Drrrdd.. drrr.. ponselku bergetar kemudian, “Hei, aku di depan..” “Maksudnya?” “Buruan keluar aja, aku dah di depan kos.” Mendapat pesan mendadak dari Kyohei, aku buru-buru menghampirinya. Di setiap langkahku, aku berharap kalau itu hanya sebatas candaan. Tapi yang benar saja, dia benar-benar menunggu di depan kos sambil celingak-celinguk ke segala arah. Aku menarik lengannya agar kami tak mengobrol di pinggir jalan. “Kamu ngapain Hei kesini?!” “Nih.. buat kamu.” Ucapnya memberikan s