BAGIAN 104
POV NAMI
“Ma, Mama yakin menampung orang itu di rumah ini?” Nalen yang memang kuajak untuk bicara empat mata di ruang makan tepat pukul 01.00 dini hari itu terlihat meragu. Anak lelaki yang baru saja pulang dari toko kain milik papa sambungnya tersebut sudah tampak sangat capek. Aku mungkin sudah salah sebab mengajaknya bicara serius selarut ini. Namun, tidak mungkin Nalen tak kuberi tahu. Takutnya, saat pagi tiba dan sarapan berlangsung di meja makan ini, anakku akan bertanya-tanya tentang sosok Ina yang tiba-tiba nangkring di kursi makan bersama kami.
“Mama yakin, Nalen. Dia sudah berubah. Yakinlah, Len. Kita kasih dia kesempatan.” Kuraih tangan anakku yang duduk di kursi sebelah. Anak lelaki yang telah beranjak dewasa itu tampak masih kurang setuju. Posturnya yang tingg
BAGIAN 105POV NAMI “Lho, Papa,” ucap Nalen sambil berdiri dari kursi. Aku pun tergopoh ikut bangkit. Memandang suamiku yang lengkap dengan piyama satin berwarna cokelat tua tersebut dengan agak canggung. “Len, baru pulang?” tanya Mas Anwar dengan mata yang menyipit dan langkah kaki yang agak diseret. Suamiku lalu menyodorkan tangannya ke arah Nalen. Anak ganteng itu pun langsung menyambarnya lembut dan mencium tangan papa sambungnya dnegan sangat sopan. “Iya, Pa.” Nalen menjawab singkat. “Rame toko tadi, Len?” Mas Anwar bertanya lagi. Dia langsung menuju ke arah kursi. Kugeser kaki kursi ag
BAGIAN 106POV Ina Mbak Rusmina dan Mas Suwito pun akhirnya pulang dengan menumpangi travel yang disewa oleh Mas Anwar. Pagi-pagi sekali mereka berangkat. Selepas sarapan tepatnya. Aku yang masih belum terlalu fit, meskipun sudah lepas infus ini pun harus menerima kenyataan bahwa tak ada lagi keluarga di sisiku. Aku kini sebatang kara. Persis seperti puluhan tahun yang lalu ketika diriku pertama kali datang ke kota ini untuk mengadu nasib. Sudah kupesankan pada Mbak Rusmina agar dia selalu mengirim pesan kepadaku nantinya. Aku akan minta dibelikan ponsel dan kartu perdana baru oleh Mas Anwar. Sementara nomor kakak kandung dan iparku sudah kucatat di secarik kertas. Aku juga mengingatkan mereka berkali-kali tentang hubungan dengan Mbah Legi yang tidak boleh sampai terputus. Mbak Rusmina menyanggupi. Syukurla
107POV Ina “Kenapa bisa ribut-ribut begini? Ina, kenapa kakimu?” Nami langsung terlihat panik ketika melihatku terus mengusap kaki yang memang langsung berubah tampak kemerahan. Dia pun duduk di sebelahku sambil ikut memegangi kaki ini. “S-sakit ….” Aku berucap lirih. Air mata pun sudah membanjiri di kedua pipi. Wajah Nami langsung jatuh iba bercampur geram. Dengan serta merta, Nami berteriak nyaring ke arah Rahima yang kini berdiri di depan kulkas sambil tertunduk-tunduk malu, “Rah, kamu apakan Ina?” “S-saya … tidak sengaja, Nyah,” sahutnya hampir tak terdengar.
108 POV INA Aku diantar oleh Nami ke kamar. Tangisanku belum mau kuhentikan begitu saja. Tanggung. Biar dulu kunikmati peran ini dengan seindah-indahnya. Supaya kalut hati si Nami. Setelah ini, maka nasib Rahima akan terpelanting jatuh seperti Dijah yang dulu pernah kudepak dari rumah Mas Anwar. Telaten sekali Nami membujukku. Dia menggamit lenganku di sepanjang jalan dari dapur menuju kamar. Tak hentinya dia membujuk supaya aku lekas meredam tangis. Mana aku mau. Sayang dong, kalau air mata ini kuhapus sia-sia. Toh, aku kan, memang tengah ingin banjir air mata. Ini namanya air mata berkah. Air mata pengundang keberuntungan. Sampai di kamar, Nami membawaku ke ranjang. Dia mendudukkanku di tepi dan dia pun langsung ikut
109 POV INA Makan siang akhirnya tiba. Yang menyiapkan? Tentu aku dan Nami. Sedangkan si sialan Rahima, disuruh Nami menyingkir ke kamar untuk introspeksi diri sebelum dia memutuskan akan memberikan hukuman apalagi kepada pembantu kurang ajar tersebut. Masakan hasil kolaborasi aku dan Nami sudah siap tertata di atas meja makan. Nami yang semula bilang kurang enak badan, seketika jadi sembuh. Apalagi setelah kupuji-puji bahwa dia adalah nyonya besar rendah hati yang memiliki banyak keunggulan. Pintar masak, punya ilmu keperawatan yang cukup tinggi, dan sangat pandai berpakaian. Semua kalimat-kalimat omong kosong itu dengan serta merta membua Nami seperti melayang ke awang-awang. Tak hentinya dia senyum-senyum sendirian sepanjang masak bersamaku di dapur kotor. Selamat Nami. Kamu benar-benar sudah masuk ke dalam perangkap besarku. Sup iga sapi, sambal goreng hati sapi, dan acar ketimun-nanas sudah tersusun rapi di atas meja. Nasi panas pun su
110POV INA Aku terkesiap memandangi kamar Nami dan Mas Anwar yang notabene pernah aku tempati. Hatiku benar-benar sakit sekali rasanya. Kamar itu kini banyak berubah. Tempat tidurnya telah diganti dengan tempat tidur yang lebih luas dengan kepala sandaran berbahan beludru warna keemasan. Yang membuat ranjang itu semakin indah adalah ukir-ukiran bercat cokelat keemasan pada bagian kepala dan ujungnya. Dua buah nakas berbahan kayu dengan ukiran yang senada juga diletakan di kedua sisi ranjang. Ada lampu tidur yang masing-masing diletakan di atas nakas kayu mewah tersebut. Tembok kamar juga turut dipasangi wallpaper mewah berwarna putih gading dengan aksen gold di pinggiran motif bunganya. Cahaya indah dari lampu kristal di tengah-tengah ruangan kamar pun semakin membuat semarak. Napasku kian tercekat tatkala kupandangi meja rias yang letaknya di pojok sebelah kanan kamar dipenuhi dengan peralatan make up maupun parfum-parfum mahal berkelas. Ya Tuhan, aku tid
111 POV INA “Ini mahal, Nyonya. Sangat mahal,” ucapku agak tersinggung. “Oh, tentu tidak, Ina. Ini ada yang harganya tiga juta lima ratus. Limited edition. Hanya keluar di musim gugur bulan lalu. Kamu mau? Cuma, aku sudah pakai sekitar lima kali.” Nami lalu menyambar satu lipstik dengan wadah yang terbuat dari plastik berwarna hitam mengkilap dengan bagian tengah yang diberi warna silver plus inisial huruf brand mahal tersebut. Oke, tingkahmu semakin sengak, Nami. Kamu sekarang bahkan memamerkan lipstik seharga ponsel pintar kelas standar. Semoga, sebentar lagi dirimu merasakan keterpurukan seperti yang aku rasakan sekarang. “Jangan, Nyonya. Terlalu mahal untukku. Aku ambil yang murah ini saja,” ucapku pura-pura malu. Padahal, ingin sekali kuempaskan seluruh peralatan make up milik Nami ke lantai. “Ah, tidak apa-apa, Ina. Santai saja. Bukankah, dulu kamu juga pengguna merek-merek ini? Sekarang, kamu juga bisa
112POV INA “Baiklah kalau begitu, In. Aku akan mencoba sering-sering berpenampilan natural. Biar lebih bervariasi,” ucap Nami sambil sedikit membungkuk sehingga kepala kami sejajar. Kusenyumi dia dengan singkat. Aku lalu mengedarkan pandangan ke atas meja. Menyapu dengan lirikan ke arah setiap inci barang-barang yang tertata apik dan sangat rapi. Lihatlah, semua lengkap di atas sini. Ada lipstik yang jumlahnya lebih dari satu lusin. Kuteks beragam warna, bedak, foundation, maskara, pensil alis dengan merek yang sangat terkenal, sampai bulu mata palsu yang masih tersimpan rapi di dalam kotak-kotaknya. Sontak aku merasa minder dan rendah diri. Aku ingat dengan kata-kata milik almarhumah Lia saat dia masih hidup dulu. Kalau melihat orang yang lebih darinya, dia sering curhat kalau seketika dia mendadak insecure. Ya, seperti itulah penggambaran diriku sekarang. Insecure dengan kemegahan hidup yang dicicipi oleh Nami saat ini.