Share

4. Kematiannya

BAB 4

Nimrat duduk melamun menunggu anaknya yang 'tak kunjung datang, 'tak ada rasa kantuk diwajahnya.

Waktu telah menunjukan pukul tiga dini hari. Felisia yang menemaninya, sudah 'tak mampu menahan berat kelopak matanya.

Ia masih saja mencoba menghubungi nomor adiknya yang tak kunjung terangkat.

Sampai 'tak sadar ia telah menuju Alam Mimpi dengan masih terus berharap panggilan itu akan terangkat.

"Nak, kamu dimana? Kenapa perasaan mama nggak tenang saat mikirin kamu," batin Nimrat dengan mata sayupnya.

'Tak terasa waktu berputar dengan cepat, mentari sudah mulai menampakkan sinarnya dengan malu malu. Felisia terkejut mengetahui dirinya tertidur di sandaran sofa tempatnya menunggu Anesia, sedang Ibunya masih saja melamun dengan raut wajah lelah, sedih, dan khawatir.

Hal itu kembali membuat Felisia menarik napas panjang. Dia ingin marah saat melihat kondisi ibunya. Anesia benar benar keterlaluan, batinnya.

"Mah? Mama nggak tidur semalam? Kok Mama nyiksa diri Mama sih, paling Anesia lagi bermalam di rumah temannya, 'ntar juga pasti datang," ucap Felisia mencoba meyakinkan.

"Tungguin yah, aku coba hubungin lagi handponenya."

"Tuttt... tuuuuttt... tuuutt...."

"Nomornya aktif, tapi kok dari semalam nggak diangkat sihh. An kamu kemana sih?" batin Felisia.

*******

Kediaman Edward Family.

David sedang bersiap untuk segera berangkat ke kantornya, mengenakan setelan jas rancangan desainer terkenal dan sepatu hitam yang sangat pas saat digunakannya, mwnamabh kharisma ketampanannya. Hari ini senyumnya tak pudar, Ia bahagia karena telah menyingkirkan kerikil yang telah mengganggu jalannya. Yah, dia sangat bahagia. Setiap dia telah menyingkirkan sebuah nyawa, dia akan tersenyum puas. Karena sang pengusik hidupnya telah tiada.

Didepan pintu telah berdiri seorang lelaki berumur 29 tahun. Setahun lebih tua dari David, dengan mata birunya yang terus menatap lurus ke depan dan rahang kokoh yang tercipta di wajahnya serta kekejaman yang terpancar saat orang lain melihatnya. Dia adalah Alex, asisten David Edward.

David mengabaikannya. Ia menuju Jaguar kesayangannya. Mobil yang dirusak oleh Anesia.

"Alex, apakah semalam kau sudah membersihkan Jaguarku?" ucapnya dengan terus melangkah tanpa menatap seorang lawan bicaranya yang mengekor di belakangnya.

"Ia Tuan."

"Baguslah, karena aku ingin mengendarainya."

David memasuki mobilnya dengan santai. Namun, seketika tatapannya teralihkan pada sebuah tas berwarna coklat ke emasan yang tergepetak tak berguna di jok mobilnya.

Ia tahu itu milik siapa, dia lalu tertawa sinis sembari mengalihkan tatapannya. Itu adalah tas dari wanita yang di lenyapkannya semalam.

'Wanita itu benar benar yah, walau sudah mati dia masih saja menyusahkanku dan membuat sampah di mobilku, dan kenapa David tidak langsung membuangnya,' batin David.

Ia lalu memeriksa isi dari tas itu, berharap dia akan menemukan sesuatu yang mungkin tidak disangkanya.

Dia membalikkan tas itu, hingga semua yang di dalam memuntahkannya ke luar.

Banyak perbak pernik kecil dan tak berguna di dalamnya yang kembali membuat kotor jok mobil David

dan kemudian, dia menemukan sebuah handphone yang didalamnya terdapat seratus panggilan tak terjawab dari "naugty sister".

"Ohh, kasihan. Pasti ini dari kakaknya. Aku harus mengabari secepatnya," ucap David dengan senyum tipis. Ide gila baru saja mampir ke otaknya yang diyakini akan membuat sang arwah semakin membencinya.

Setelah mengirimkan pesan. Ia mematahkan kartu tersebut dan membuang tas yang sempat mengotori mobil kesayangannya itu, tanpa berpikir tas itu merupakan tas keluaran terbaru dari brand terkenal.

****

" ting ding"

HP Felisia berbunyi dan dengan tergesa ia langsung memeriksa apakah itu dari Anesia atau bukan, dia hanya berharap itu adalah notif dari adiknya.

Dan benar, itu berasal dari adiknya Anesia.

Felisia seketika membaca pesan itu dengan segera.

~Pesan masuk~

[Ya Tuhan. Apa yang kau lakukan? kenapa kau terus menghubungiku. Apa kau tak punya kerjaan lain? Apa kau tahu, aku sangat membencimu lebih dari apapun.]

[Jangan menghubungiku lagi! Aku sudah muak dengan kalian dan aku tidak akan kembali lagi, karena aku sudah menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari. Yang pastinya bukan bersama kalian!]

[Sebenarnya, aku sangat malas terus berpura-pura baik di hadapan kalian. Itu kebenarannya. Pacarku sangat mencintaiku. jadi, aku sudah tidak membutuhkan kalian lagi.]

[Kumohon jangan terus menghubungiku! Itu membuatku semakin muak. Karena aku tidak akan terkesan dan aku tidak perduli, mau kalian mati atau hidup. Kita sudah tidak punya hubungan lagi. Aku dan Kalian, I dont care.]

Setelah kiriman pesan beruntun, lalu kembali diikuti kiriman sebuah gambar.

Terlihat sebuah gambar yang menampilkan deretan minuman ber alkohol dan sebagiannya terbuka, juga pose seorang lelaki menunduk hingga wajahnya tidak terlihat dengan menggenggam sebuah botol minuman itu

Felisia yang melihat gambar dan pesan itu, darahnya langsung mendesir. Ia marah, sangat marah, wajahnya turut memerah. Adik yang disayanginya mengatakan sesuatu yang 'tak pernah ia bayangkan sebelumnya dan itu sungguh sangat membuatnya sangat sangat marah dan kecewa disaat bersamaan.

Ia langsung mencoba menghubungi nomor Anesia, nomor yang baru saja mengiriminya pesan yang sangat menyakiti jiwa.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif...." terdengar suara operator menjawab panggilan itu yang membuat Fellisia semakin geram.

"Shiiitt, bahkan sekarang dia mematikan handphonenya." Di hempaskannya ponsel itu ke sofa.

Nimrat datang setelah selesai melakukan ritual mandinya yang dimana hal itu dia lakukan karena paksaan dari Felisia.

"Mah, ini susunya diminum dulu, keburu dingin!" ucap Felisia menyodorkan susu itu pada ibunya.

"Nggak Fel, mama lagi nggak pengen minum susu, mama khawatir sama Anesia. Kamu minum aja yah!"

"Ahh, Mama nggak boleh 'gitu, pokoknya Mama harus minum susunya. Kalau nggak aku ngambek nih."

"Hmmm, baiklah." Nimrat langsung meneguk susu hangatnya.

"Fel, apakah adikmu sudah memberi kabar padamu?"

"Tak perlu menanyakan jal*ng itu lagi Mah!! Dia sudah tidak peduli pada kita dan aku juga tidak akan perduli lagi padanya."

"Apa yang kau katakan. Apa maksudmu Fel?" Bingung Nimrat dan melepaskan gelas kosong yang telah tandas isinya itu.

"Lihatl ini! Apa yang dia katakan, sungguh aku sangat membencinya saat ini." Felisia langsung menyodorkan handphone kepada ibunya sembari memijat kepalanya yang berdenyut.

Ibunya terdiam seketika, setelah membaca deretan pesan beruntun dari sang anak dan sebuah gambar yang kiririmkannya. Tubuh itu membeku dengan rasa ragu.

"Nggak mungkin. Ini pasti bukan Anesia. Mama yakin Fel, ini pasti orang lain."

"Stop Mah! jangan seperti itu. Jangan terus-terusan membela anak kesayangan Mama itu, apa pesan ini kurang jelas?" Amarah Felisia seketika memuncak.

"Nggak, mama tetap yakin Anesia nggak mungkin setega itu, pasti terjadi sesuatu padanya." Seketika tangis wanita itu pecah.

"Hiks hiks hikss, dimana kamu Nak?" Nimrat terus saja menangis.

*****

Lima hari telah berlalu dan kondisi Nimrat semakin memburuk.

Ia terus memikirkan Anesia tanpa mau memakan apapun, kecuali melalui paksaan Felisia.

"An, dimana kamu Nak? cepatlah pulang, Mama sangat rindu padamu. Mama nggak bisa hidup seperti ini. Rasanya sangat hampa."

Isakan tangisnya sangat memilukan, ia sangat merindukan Anesia.

Namun Anesia jugs tak kunjung datang.

"Fel, mama mau ngomong."

"Ada apa Mah? kumohon lupakan Anesia! Dia tak akan kembali pada kita lagi, karena dia bukanlah Anesia yang kita kenal dulu."

"Shuut, kamu nggak boleh ngomong gitu, mama yakin seratus persen kepada adikmu. Mama yakin dia bakalan balik."

"Tapi Mah...."

"Mama minta kamu jagain Anesia! Karena mama merasa kondisi mama semakin hari semakin memburuk," ucapnya lirih.

"Dan jika Mama sudah tiada, tanggung jawab ini Mama serahkan kekamu. Kamu harus bimbing adikmu ke jalan yang benar. Jangan membelakanginya, apapun yang terjadi," nasehat Nimrat sembari mengusap kepala Anesia.

"Mama ngomong apa sih? nggak usah ngomong gitu, Mama mau buat aku nangis yah." Seketika mata cantik Felicia mulai berkaca kaca.

"Jangan nangis dong sayang, mama jadi makin sedih jadinya."

"Makanya mama nggak usah ngomong gitu lagi." Seketika tangis itu tumpah

Ibunya langsung tersenyum, "hmmm, baiklah anakku yang cengeng."

"Ihh, Mama nih. Aku mandi dulu yah Mah."

Nimrat merasa kondisinya semakin memburuk. Ia berharap di saat-saat terakhirnya ia dapat melihat Anesia. Namun semua hanya menjadi keinginan yang tak terpenuhi. Saat ia memejamkan mata, tak ada Anesia disampingnya untuk menemaninya terakhir kalinya. Sampai ia menghembuskan nafasnya.

Felisia telah selesai dengan ritual mandinya dan mendapati ibunya tak bergerak sama sekali. Wanita itu kaku dan dingin. Eru napas tak lagi terdengar dan dada itu tak lagi menunjukak kehidupan.

Felisia luruh seketika, dalam sekejap genangan air telah menumpuk di kelopak matanya dan meminta untuk ditumpahkan.

"Mah? Mama? Mah bangun! Mama kok ninggalin aku secepat ini. Mahh!! hiks hiks.. hiksss." Felisia lalu menangis dengan histeris.

Prmbantu rumah yang mendengar tangisan kepiluan Felisia langsung menghampiri dan mengetahui bahwa majikannya telah berpulang ke rahmatullah.

Setelah beberapa menit, tangis Felisi sudah mulai mereda. Ia lalu menghubungi Ayahnya yang sedang berada di luar kota.

"Pah, Mama udah nggak ada hiks hiks, papa harus segera pulang!"

"Apa?" Keheningan seketika tercipta, lalu beberapa detik setelahnya, suara bariton itu kembali terdengar setelah hembusan napas kasar yang bisa terdengar dari sambunhan telepon.

"Baiklah papa akan segera pulang."

***

"Mah, mama nggak boleh pergi secepat ini Mah, aku dan Anesia masih butuh kasih sayang Mama. Kumohon, Mama buka mata mama hiks hiks hiksss..."

Felisia terus menangis di depan jasad ibunya, dengan dikelilingi orang orang yang sedang melayat.

"Mahh, maafkan aku tidak bisa membawa Anesia padamu, ia sangat membenciku, dan ia sedang bersenang senang bersama pacarnya, ia tak peduli pada apa yang terjadi pada kita lagi. Semoga arwah Mama tenang di alam sana," ucap Felisia dengan lantang dan suara yang serak.

"Kasihan sekali yah, ibunya sudah meninggal tetapi anaknya meninggalkannya dan tidak memedulikannya, bahkan sampai kematiannya. Sungguh anak durhaka yah itu Anesia, saya pikir selama ini dia anak yang baik. Ternyata kelakuannya sangat tidak terpuji."

"Ia jeng, kasihan sekali Felisia."

"Sabar yah Dek, kamu pasti mampu laluin ini semua," ucap salah satu pelayat.

Ketiga sahabat Anesia juga datang untuk turut berduka cita atas meninggalnya ibu sahabat mereka walau mereka sangat kecewa dengan tidak adanya Anesia disaat saat terakhir dari ibunya.

"Gue nggak nyangka Anesia bisa setega ini Fan," ucap Ziha kepada Fani.

"Ia gue juga nggak nyangka dia bisa menjadi sangat jahat seperti ini, seperti bukan sahabat kita banget. Bahkan saat ibunya wafat pun dia tak ada niatan untuk melihatnya. Aku menyesal pernah ngejadiin orang seperti dia sebagai sahabat gue." Setelah mendengar penjelasan Felisia beberapa hari yang lalu bahwa Anesia sengaja meninggalkan mereka. Fani dan Ziha menjadi sangat marah dan Andi hanya terus terdiam seakan tak percaya dengan semua yang terjadi karena dia sangat mengenal Anesia namun ia tak berdaya dengan semua bukti yang ia lihat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status