Dewa menggerutu kesal ketika momentum bersama anak jalan dari kemarin tidak bisa diabadikannya dalam bentuk figura. Dia menceritakan kamera Canon DSLRnya hilang kepada Chika sambil melaju ke Magelang. Angin malam menabrak tubuh mereka alih arah. Chika menarik resleting sweater pingnya ke atas. Malam itu Dewa yang mengalih kemudi motor Mio-Gnya. Sambil komat-kamit mengalunkan kalimat keluhannya, dia tak henti-hentinya mengatur gas motor yang ditumpanginya. Untunglah waktu mengizinkan Chika menjelajahi kekelaman malam bersamanya. Kalau tidak, bagaimana nasibnya malam itu? Membayangkan jalan kaki karena tidak ada kendaraan sampai Beseran ke rumah Chika saja dia sudah berkeringat dingin, apalagi sampai ke Magelang? Oh tidak mungkin!
"Soal sepedamu yang masih di rumahku?" Lagi-lagi Chika mengganti alih topik pembicaraan.
"Itu bukan masalah, lebih masalah karena kameraku belum ketemu," sergah Dewa keras kepala.
"Besok aku bantu cari
"Kau terlalu lama terjerumus ke lubang hitam. Bangkitlah Dewa. Besok kita sekolah, dan tak usah urusi lagi anak jalanan. Mereka itu sumber kejahatan dan kemaksiatan. Banyak yang merampok dari kalangan mereka. Suka mabuk-mabukan dan ada yang menghisap narkoba. Aku tidak ingin kamu terjerumus ke lubang hitam itu, kumohon dengarkan nasihatku. Kalau kau merasa aku adalah sahabatmu. Lagi pula ada pemerintah yang siap mengurusi kehidupan mereka. Kamu tidak perlu susah payah mengatur hidup mereka, Dewa."Ocehan Chika sama sekali tidak mempan. Dewa cuek. Dia menyibak kelambu hijau yang digunakan sebagai pintu oleh anak-anak jalanan. Pemandangan ikan teri yang sedang berjemur di dalam tenda itu sejenak tersirami cahaya rembulan. Mereka telah berlayar ke pulau mimpi. Seperti kemarin, sarung dan karung modal mereka berlayar."Caca, Intan, Agus, dan... Ovan!" jeritnya."Dewa! Aku kesal sama kamu," gerutu Chika di balik tubuhnya."K
Sakit menghajar uluh hatinya. Perasaannya seakan-akan ditombak oleh panah maut. Memang dia orang kaya, tapi tidak seburuk itu juga perbuatannya. Apakah semua orang kaya itu berjiwa busuk? Tidak bukan? Kenapa perkataan menyakitkan itu sampai keluar dari mulut Ovan. Sungguh kalimat itu membuatnya mengendapkan luka pedih. Dewa bungkam karena sakit hatinya. Dia tahan sesak karena emosinya meledak. Dadanya naik turun beriringan dengan napasnya yang tak beraturan. Gerahamnya terkatup keras. Ingin sekali dia menonjok mulut Ovan agar tahu sopan santun. Sayang dia kalah cepat. Sebelum dia melakukan hal itu, Ovan telah mendahuluinya.Buk... buk... dua tonjokan menembus perut Dewa. Buk... satu tendangan meleokkan kakinya."Hey jangan pukuli sahabatku, dia tidak menghamili pelacur murahan itu! Tidak mungkin," Chika membela Dewa."Kalian berdua keparat!" Ovan telah siap mengepalkan tonjokan ke wajah Chika. Namun kepalan itu hanya mengendap di ud
Reihan membuka matanya. Asing suasana di tempat itu. Temboknya bercat biru. Springbed setebal seratus lima puluh senti kini memeluk tubuhnya. Dia menoleh ke samping kanan dan ke kiri. Memastikan di manakah dia berada. Sebuah kamar wanita. Banyak boneka yang tertata rapi di meja dan di atas kepalanya. Milik siapakah? Dia lirik figura yang berdiri di depan lampu jamur. Gadis yang tak asing lagi di matanya. Hatinya berdesir hebat setelah tahu siapa yang menolongnya. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Perutnya juga diaduk-aduk rasa mual yang menyiksa. Ingin segera memuntahkan semua isinya. Dia bangkit membuka pintu dengan paksa. Tubuhnya membungkuk di mulut pintu sementara tangannya memegangi perutnya."Kamar mandi mana? Kamar mandi mana?" tanya dengan kalimat yang terburu-buru. Gadis itu sedang duduk di ruang tamu sederhana yang ada di depan kamar. Matanya menajam pada setumpuk halaman majalah."Reihan, kamu sudah bangun?" Gadis itu menatap paras R
Hari ini Dewa berpenampilan berbeda. Rambutnya diacak dengan minyak gatsby yang dicurinya dari kamar kakaknya. Sepatu disemir hingga mengkilat. Seragam yang jarang disetrika kini disetrika halus hingga licin. Dasinya dipakai. Bajunya dimasukkan ke dalam celananya. Perfect penampilannya untuk berangkat ke sekolahan dengan kerapian. Kamarnya ditata seindah mungkin. Selimut dilipat rapi. Bantal dan guling diletakkan di atas sendiri. Tak lupa seprainya dibenarkan agar tidak nampak terlipat-lipat. Namun bukan hal itu yang membuat suasana kamarnya indah. Melainkan karena tampilan kamar itu kini berbeda. Teropong yang sering digunakannya untuk melamun bersama bintang disingkirkan di samping lemari, tempat itu kini menjadi kediaman meja belajar dan setumpuk gunung buku pelajaran. Mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Buku-buku itu ditata rapi per kelas dan per semester, menjadi sebuah barisan buku seolah sedang ingin berjualan buku. Buku tidak hanya cukup di atas meja saja. Lihatl
Reihan membanting tubuhnya di atas kasur. Kepalanya seberat lima kilo. Pandangannya berkunang-kunang. Napasnya juga sesak. Badannya hancur seperti dipukuli oleh preman. Entah apa sebabnya dia sampai seperti itu. Hari ini dia sakit. Dia tarik selimut tebalnya. Pandangannya perlahan ditutup. Dia pikir mungkin hanya kurang istirahat saja.Bayang-bayang senyum Adelia terlintas dalam memorinya. Otaknya keliling ke sana kemari walau ke dua lensanya telah mengatup. Baru saja dia pulang dari kontrakannya, kalau tidak keburu-buru katanya dia mau menemani dirinya. Sayang sudah terlanjur memiliki janji, jadi harus ditepati. Terpaksa dia pun harus pergi, walau sebenarnya dia enggan meninggalkan Reihan sendirian dengan keadaan seperti itu. Ini bukan karena ada rasa yang mengendap di dada, melainkan karena kepedulian dirinya terhadap sesama.Kecantikan murni Adelia menari-nari di depan pupil matanya. Sungguh gadis itu memang menggetarkan jiwanya. Dalam keadaa
Secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di udara dan sepiring pisang crispy keju yang baru saja dipesan di toko sebelah, kini menemani belajar Dewa di kamarnya. Sejak pulang sekolah tadi dia belum keluar rumah sama sekali. Tubuhnya dipenjara di dalam kamar. Jendela dia ngangakan lebar-lebar. Lampu belajar dinyalakan. Setumpuk gunung ilmu dia daki. Halaman demi halaman dikupas tuntas oleh matanya. Membaca minum kopi, membaca makan pisang crispy, membaca minum kopi, membaca makan pisang crispy, begitulah dia lakukan secara berulang-ulang. Bahkan dia lupa kalau seharusnya hari ini kakaknya pulang. Keadaan rumah pun hening. Tak ada bentakan Nyonya Finda yang selalu dianggapnya berisik. Dengan leluasa dia mampu tenggelam dalam baris-baris kalimat yang memakna ilmu. Buku yang dibacanya kala itu adalah, buku IPA kelas Enam SD. Usainya dia belajar cara mendidik anak TK yang bukunya diperoleh dari tumpukan gudang. Anak usia lima tahun akan mudah menangkap ilmu jika ditunjukkan gamba
Harga dirinya serasa diinjak. Dalam pandangan Dewa, dia tak mampu bekerja untuk mencukupi hidupnya. Begitukah? Alasan Dewa memberikan uang yang dianggap anak jalan itu banyak? Lagi-lagi Ovan salah paham. Dia buta, tak mampu membaca ketulusan hati Dewa nan mulia, apalagi membaca, mengejanya saja dia tak sanggup. Tapi tak mungkin jua dia terlantarkan uang itu begitu saja. Sudah tahu ada riski, tak indah jika ditolak, sekali pun harga dirinya harus serasa dijatuhkan oleh sang pemberi. Dengan perasaan berat sekali, akhirnya dia gunakan uang itu dan dia berjanji suatu saat nanti akan mengganti uang yang pernah digunakannya. Entah kapan, tapi pasti kelak dia akan mengembalikan. Dia bukan tipikal pecundang yang suka direndahkan harga dirinya.Uang itu digunakan untuk membuka usaha dagang kecil-kecilan, dari pisang goreng, ketela goreng, tempe goreng, pokoknya semua jenis gorengan. Ovan membeli nampan sebagai modalnya berdagang keliling. Masih banyak uang yang tersisa, na
Pemuda itu sudah tak sabar lagi. Setiap malam ketenangannya dirampas oleh bayang gadis yang dicintainya. Ingin mengungkapkan rasa namun hati masih ragu, takut sang primadona menolak tanpa jiwa. Diam dan pasrah seolah bukan pilihan lantaran hatinya selalu dikuliti badik jikalau sadar perasaannya masih tergantung pada awan yang gelap. Gelisah karena saingannya berubah penampilan. Hari-harinya pun semakin digeluti perasaan khawatir dan rasa sakit yang membuat batinnya seolah dilempar batu besar.Tak mau terlalu menunggu lama lagi. Dia ambil kesempatan ketika Dewa sedang angkuh dan tak ingin diganggu. Kala itu bel istirahat berbunyi. Edvin langsung beranjak dari bangkunya, dia mendekati bangku Chika lalu menarik lengannya dengan paksa. Tubuh Chika seolah diseret mengeluari kelas. Di samping mulut pintu Chika menghempaskan pegangan Edvin dengan kasar."Apa-apaan sih? Main tarik-tarik, nggak sopan!" gerutu Chika kesal. Murid yang lain hanya memandang