Reihan membuka matanya. Asing suasana di tempat itu. Temboknya bercat biru. Springbed setebal seratus lima puluh senti kini memeluk tubuhnya. Dia menoleh ke samping kanan dan ke kiri. Memastikan di manakah dia berada. Sebuah kamar wanita. Banyak boneka yang tertata rapi di meja dan di atas kepalanya. Milik siapakah? Dia lirik figura yang berdiri di depan lampu jamur. Gadis yang tak asing lagi di matanya. Hatinya berdesir hebat setelah tahu siapa yang menolongnya. Kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Perutnya juga diaduk-aduk rasa mual yang menyiksa. Ingin segera memuntahkan semua isinya. Dia bangkit membuka pintu dengan paksa. Tubuhnya membungkuk di mulut pintu sementara tangannya memegangi perutnya.
"Kamar mandi mana? Kamar mandi mana?" tanya dengan kalimat yang terburu-buru. Gadis itu sedang duduk di ruang tamu sederhana yang ada di depan kamar. Matanya menajam pada setumpuk halaman majalah.
"Reihan, kamu sudah bangun?" Gadis itu menatap paras R
Hari ini Dewa berpenampilan berbeda. Rambutnya diacak dengan minyak gatsby yang dicurinya dari kamar kakaknya. Sepatu disemir hingga mengkilat. Seragam yang jarang disetrika kini disetrika halus hingga licin. Dasinya dipakai. Bajunya dimasukkan ke dalam celananya. Perfect penampilannya untuk berangkat ke sekolahan dengan kerapian. Kamarnya ditata seindah mungkin. Selimut dilipat rapi. Bantal dan guling diletakkan di atas sendiri. Tak lupa seprainya dibenarkan agar tidak nampak terlipat-lipat. Namun bukan hal itu yang membuat suasana kamarnya indah. Melainkan karena tampilan kamar itu kini berbeda. Teropong yang sering digunakannya untuk melamun bersama bintang disingkirkan di samping lemari, tempat itu kini menjadi kediaman meja belajar dan setumpuk gunung buku pelajaran. Mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Buku-buku itu ditata rapi per kelas dan per semester, menjadi sebuah barisan buku seolah sedang ingin berjualan buku. Buku tidak hanya cukup di atas meja saja. Lihatl
Reihan membanting tubuhnya di atas kasur. Kepalanya seberat lima kilo. Pandangannya berkunang-kunang. Napasnya juga sesak. Badannya hancur seperti dipukuli oleh preman. Entah apa sebabnya dia sampai seperti itu. Hari ini dia sakit. Dia tarik selimut tebalnya. Pandangannya perlahan ditutup. Dia pikir mungkin hanya kurang istirahat saja.Bayang-bayang senyum Adelia terlintas dalam memorinya. Otaknya keliling ke sana kemari walau ke dua lensanya telah mengatup. Baru saja dia pulang dari kontrakannya, kalau tidak keburu-buru katanya dia mau menemani dirinya. Sayang sudah terlanjur memiliki janji, jadi harus ditepati. Terpaksa dia pun harus pergi, walau sebenarnya dia enggan meninggalkan Reihan sendirian dengan keadaan seperti itu. Ini bukan karena ada rasa yang mengendap di dada, melainkan karena kepedulian dirinya terhadap sesama.Kecantikan murni Adelia menari-nari di depan pupil matanya. Sungguh gadis itu memang menggetarkan jiwanya. Dalam keadaa
Secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di udara dan sepiring pisang crispy keju yang baru saja dipesan di toko sebelah, kini menemani belajar Dewa di kamarnya. Sejak pulang sekolah tadi dia belum keluar rumah sama sekali. Tubuhnya dipenjara di dalam kamar. Jendela dia ngangakan lebar-lebar. Lampu belajar dinyalakan. Setumpuk gunung ilmu dia daki. Halaman demi halaman dikupas tuntas oleh matanya. Membaca minum kopi, membaca makan pisang crispy, membaca minum kopi, membaca makan pisang crispy, begitulah dia lakukan secara berulang-ulang. Bahkan dia lupa kalau seharusnya hari ini kakaknya pulang. Keadaan rumah pun hening. Tak ada bentakan Nyonya Finda yang selalu dianggapnya berisik. Dengan leluasa dia mampu tenggelam dalam baris-baris kalimat yang memakna ilmu. Buku yang dibacanya kala itu adalah, buku IPA kelas Enam SD. Usainya dia belajar cara mendidik anak TK yang bukunya diperoleh dari tumpukan gudang. Anak usia lima tahun akan mudah menangkap ilmu jika ditunjukkan gamba
Harga dirinya serasa diinjak. Dalam pandangan Dewa, dia tak mampu bekerja untuk mencukupi hidupnya. Begitukah? Alasan Dewa memberikan uang yang dianggap anak jalan itu banyak? Lagi-lagi Ovan salah paham. Dia buta, tak mampu membaca ketulusan hati Dewa nan mulia, apalagi membaca, mengejanya saja dia tak sanggup. Tapi tak mungkin jua dia terlantarkan uang itu begitu saja. Sudah tahu ada riski, tak indah jika ditolak, sekali pun harga dirinya harus serasa dijatuhkan oleh sang pemberi. Dengan perasaan berat sekali, akhirnya dia gunakan uang itu dan dia berjanji suatu saat nanti akan mengganti uang yang pernah digunakannya. Entah kapan, tapi pasti kelak dia akan mengembalikan. Dia bukan tipikal pecundang yang suka direndahkan harga dirinya.Uang itu digunakan untuk membuka usaha dagang kecil-kecilan, dari pisang goreng, ketela goreng, tempe goreng, pokoknya semua jenis gorengan. Ovan membeli nampan sebagai modalnya berdagang keliling. Masih banyak uang yang tersisa, na
Pemuda itu sudah tak sabar lagi. Setiap malam ketenangannya dirampas oleh bayang gadis yang dicintainya. Ingin mengungkapkan rasa namun hati masih ragu, takut sang primadona menolak tanpa jiwa. Diam dan pasrah seolah bukan pilihan lantaran hatinya selalu dikuliti badik jikalau sadar perasaannya masih tergantung pada awan yang gelap. Gelisah karena saingannya berubah penampilan. Hari-harinya pun semakin digeluti perasaan khawatir dan rasa sakit yang membuat batinnya seolah dilempar batu besar.Tak mau terlalu menunggu lama lagi. Dia ambil kesempatan ketika Dewa sedang angkuh dan tak ingin diganggu. Kala itu bel istirahat berbunyi. Edvin langsung beranjak dari bangkunya, dia mendekati bangku Chika lalu menarik lengannya dengan paksa. Tubuh Chika seolah diseret mengeluari kelas. Di samping mulut pintu Chika menghempaskan pegangan Edvin dengan kasar."Apa-apaan sih? Main tarik-tarik, nggak sopan!" gerutu Chika kesal. Murid yang lain hanya memandang
"Den kok malah ngelamun sih?" tanya Dewa sambil fokus dengan kemudinya."O ya, kamu suka nggak sama Chika?"Entah mengapa dirinya menjadi gugup. Rem diinjaknya tanpa aba-aba. Kepala Dendi hampir saja mencium kaca depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman. Dendi menggerutu kesal. Emosinya di ubun-ubun. Darah telah mendidih di sana."Dewaaaaa.... kalau nyetir pakai perasaan dong!"Wajah Dewa merah merona. "Hee... anggap saja baru sehari ini nyetir mobil,""Tentang Chika? Kamu suka tidak?""Kamu ini ditanya nggak nyambung, setelah ini aku mau ke rumah temanku. Kamu mau ikut nggak? Dia di Beseran, namanya Refan.""Perasaan jawabanmu juga tidak nyambung," desis Dendi lalu melipat tangannya di depan dada. Dia tak hirau ucapan Dewa barusan. Dalam benaknya dia menggumam. Yakin sekali kalau Dewa pun memendam rasa kepada Chika. Jelas sudah ketika dia t
Dunia Reihan mendadak menyempit. Gedung kampus dan bangku-bangku ruang kelas serta kutu-kutu huruf bacaan berubah menjadi bantalan kapuk dan selimut tebal saja. Tak bisa dia keluar, selain untuk pergi ke kamar mandi. Sekali berdiri tubuhnya serasa akan kembali roboh. Pikiran tentang Adelia mendadak lenyap, tentang Mawar padam, tentang masalah keburukannya hilang sesaat. Yang di otaknya hanya rasa sakit dan sakit. Dia tak habis pikir kenapa bisa tubuhnya sampai selemas kapas basah yang tak bisa terbang ketika dihembuskan angin. Wajahnya seolah akan kehilangan ketampanannya, lantaran airmuka pucat membiru membuat penampakan parasnya memburuk. Badannya panas dingin, serasa dimasukan ke dalan oven lalu dibekukan ke dalam kulkas. Berkali-kali batuk, dan itu amat menyiksa dadanya. Entahlah! Dia hanya mampu pasrah dengan keadaannya. Berharap ada kebaikan yang mau menolongnya.Menghubungi Nyonya Finda, seolah tidak mungkin karena dia bertekad tidak ingin pulang. Justru ka
Ini sudah kesepuluh kalinya Dewa menggoyang-goyangkan tubuh Mawar agar sadar. Dia pun hanya bisa menyeka peluh di dahinya lantaran usahanya tak membuahkan hasil. Refan duduk di samping tubuh kakaknya yang malang. Tak henti-hentinya dia membendung sungai duka yang terus dimuarakan ke dagunya. Rasa sakit hatinya semakin menembus palung jantung ketika harus menghadapi kenyataan yang lebih pahit. Mawar tak sadarkan diri."Kak Mawar, bangun! Maafkan Refan,""Refan, kakakmu punya penyakit dalam?" tanya Dendi simpati dengan wajah yang serius. Baru beberapa jam dia bertemu dan mengenal anak itu, namun dirinya sudah bisa memahami keadaan mereka berdua. Ditambah cerita singkat yang diberitakan oleh Dewa tadi. Hati Dendi pun semakin miris kepada Mawar. Tak menyangka wanita secantik itu rela menjual kehormatannya demi pendidikan adiknya. Menakjubkan!"Kamu jangan marah sama kakakmu ya, Fan? Kakakmu begini untuk berjuang demi kamu, dulu aku pun