"Suruh Redita ke OK, saya mau dia ikut asistensi," guman Adnan tegas pada salah satu koas itu.
"Baik, Dokter!" gadis itu tersenyum dan mengangguk, kemudian melangkah pergi dari ruangan Adnan.
Adnan tersenyum geli, ia suka melihat gadisnya, eh salah, wanitanya itu tremor dan pucat pasi di OK, pokoknya selama dia masih di Stase bedah, ia harus dapat ilmu sebanyak-banyaknya di OK. Lagipula Adnan merasa begitu nyaman dengan kehadiran Redita di dalam ruang operasi.
Adnan hendak bangkit ketika kemudian sosok itu sudah muncul di ruangannya.
"Eh kan saya suruh ke OK, kenapa malah kemari, Sayangku?" Adnan tersenyum penuh arti, sementara Redita mencebik dengan tatapan kesal.
"Mas ... aku nggak mau masuk OK lagi ah!" protesnya sambil memanyunkan bibirnya.
"Lho kamu masih tiga Minggu di bagian bedah, mau ngapain kalau nggak masuk OK, Sayang?" Adnan melangkah mendekati sosok itu lalu meraihnya dalam pelukannya, mendekap sosok yang tengah mencebik kesal i
"Lanjutkan!" perintah Adnan santai, lalu bergegas keluar dari ruangan itu. Dari sudut matanya tampak Redita menatap tajam ke arahnya. Adnan hanya menahan tawa, lalu melepas handscoon dan mencuci tangannya bersih-bersih. Adnan pastikan nanti kekasihnya itu bakal ngambek nggak karuan ketika pulang nanti. Bahkan mengamuk mungkin? Ah entah lah, yang jelas sudah dapat dipastikan bahwa sosok itu akan mengamuk dan mencaci makinya. Ia sengaja kok, lagian mau berapa lama sih Redita betah marah-marah sama dia? Ia bergegas melapas gown-nya dan masuk ke ruang dokter, duduk di sana dan menyenderkan tubuhnya di kursi. Mengendurkan sejenak syaraf-syaraf otak dan tubuhnya yang tegang selama operasi berlangsung. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, hari ini Redita kan berangkat sendiri kan? Wah jadi Adnan nggak bisa bareng dong pulangnya? Tak apalah, ia bisa sampai lebih dulu ke apartemen kan? Adnan tersenyum, ia bergegas bangkit dan meraih snelli-nya lalu dengan santai ia melangka
“Kita berangkat sama-sama, saya nggak mau kamu bawa motor sendiri,” titah Adnan tegas ketika Redita muncul dari dalam kamar, sementara Adnan sudah duduk di kursi mini bar sambil menyesap kopi.“Lha tapi nanti bagaima-”“Tidak usah pedulikan kata orang, Sayang!” potong Adnan tegas, ia sudah begitu serius!“Bukan begitu, Mas. Kalau Mas ada cito gimana?” Redita duduk di sebelah Adnan.“Ya kamu ikut saya ke dalam dong, asistensi kayak biasanya!” jawab Adnan tegas, matanya melirik sang kekasih dengan senyum jahil.Redita menghela nafas panjang, ia meraih cangkir kopi Adnan dan menyesap isinya. Pahit kopi dan reaksi kafeinnya langsung membuat mata Redita melek sempurna, ia melirik Adnan yang mulai melingkarkan tangannya di pinggang Redita itu.“Cepat mandi, apa perlu saya mandiin?” bisik Adnan lembut tepat di telinga sang kekasih.“Uhuk ... uhuk ...,” Redita
Edo mematikan mesin mobilnya, lalu melangkah turun. Ia sudah sampai di RSUD tempat papanya dinas. Ia sengaja langsung kesini, tanpa pulang dulu kerumah. Dan satu-satunya poli yang hendak ia datangi pertama kali adalah poli interna, ruang praktek dokter Yudha Bhaskara. Ia malah belum kepikiran untuk mengunjungi ruang praktek sang papa."Dokter Yudha ada?" tanya Edo pada perawat yang ada di nurse station."A-ada, tapi beliau sedang istirahat," tampak perawat itu tergagap. Sudah biasa sih bagi Edo, dia sudah tidak kaget. Bukan salah dia, kan, kalau banyak gadis yang akan bertingkah demikian tiap bertemu dengan dirinya?Edo tampak merogoh iPhone-nya lalu menghubungi nomor Yudha."Hallo Om, Edo ada di nurse station poli interna nih," guman Edo yang masih berdiri di depan nurse statision. Beberapa perawat masih melongo memandangi Edo dengan seksama."Hallo, nurse station mana, Do?""Ya nurse station poli om lah, kalau poli rumah sakit lain k
Adnan dan Yudha manggut-manggut setelah mendengar cerita Edo, tampak Edo memejamkan matanya dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dua bapak itu tampak saling pandang, kemudian Yudha menepuk lembut punggung Edo yang duduk di sampingnya itu."Papa bisa mengerti, Do. Biar nanti papa bicara dengan Arra," Yudha tersenyum, ia kembali membahasakan dirinya dengan sebutan papa."Tolong Pa, bantu Edo. Edo pusing banget rasanya, Arra benar-benar lain sekarang dan Edo benar-benar nggak bisa membujuk Arra lagi, Pa!" renggek Edo pada Yudha macam anak kecil."Yudha, sudah boleh aku lamar sekarang belum si Arra?" tanya Adnan tegas, ia ikut pusing memikirkan masalah dua sejoli ini. Kalau masalahnya dari dulu seperti ini dan tidak selesai-selesai lebih baik sekalian dinikahkan saja bukan?Yudha tampak berpikir, ia menundukkan wajahnya. Masalahnya Arra masih delapan belas tahun. Sudah benar-benar siapkah Arra dengan kehidupan rumah tangga? Mana Edo juga masih residensi,
Edo menatap nanar sang papa, jadi semua itu benar? Benar bahwa papanya akan menikahi gadis dua puluh satu tahun itu? Astaga, apakah ini yang dinamakan tanda akhir zaman? Dari banyaknya wanita, bahkan wanita potensial yang Om Yudha sodorkan sebagai bakal calon mama tiri Edo, kenapa harus gadis itu yang papanya pilih?Edo kira hal seperti ini hanya terjadi di kisah novel dan sinteron saja, ternyata benar terjadi di dunia nyata dan ia sendiri yang sedang menghadapinya sekarang! Sungguh ironis sekali!"Papa sadar? Pa ayolah tolong kenapa harus yang semuda itu sih?" Edo tampak tidak terima, bagaimana dia bisa terima kalau dia dan ibu tirinya nanti lebih muda lima tahun ibu tirinya itu?"Do ...," guman Adnan lirih, "Papa juga tidak tahu kenapa, tapi papa sudah benar-benar jatuh cinta dengan dia, Do!" kembali Adnan menjelaskan, menegaskan dan mencoba memberi pengertian, berharap bahwa anaknya itu akan segera luluh dan bisa memahami apa yang tengah Adnan alami dan rasak
"Mas, aku naik ojek aja deh, ada Edo." guman Redita sambil menempelkan ponsel itu di telinganya. Ia sudah berada di depan rumah sakit, hendak memesan ojek online karena ia tahu tidak mungkin kan dia pulang bersama Adnan sedangkan anaknya saja sedang berada di sini."Kan bisa saya antar dulu kamu, sayang. Baru saya nanti pulang ke rumah. Edo sudah di rumah ini pasti," jawab Adnan lembut."Tapi Mas, ak-""Jangan membantah, saya tunggu di parkiran!" guman Adnan lalu menutup teleponnya.Redita menghela nafas panjang, ia kemudian berbalik dan melangkah menuju parkiran. Untung ia belum jadi memesan ojek online, kasihan, kan, kalau Redita harus membatalkan orderannya? Jujur ia takut anak Adnan datang kemari dan Redita harus bertemu lagi dengannya. Entah mengapa ia begitu takut.Redita tahu betul mata Edo memerah, kan, tadi? Pasti ia ribut dengan sang ayah perihal hubungan Redita dengan dokter Adnan. Pasti Edo menolak Redita menjadi ibu tiri untuk dia dan
Adnan melangkah keluar dari rumah, ia kembali masuk mobilnya dan bergegas membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah. Ia tidak peduli dengan penolakan Edo, dia yang mau menikah dan ia tidak bisa dipaksa begitu saja! Dia tidak mau dipaksa menikahi wanita yang tidak ia cintai.Menikahi Amanda? Bagaimana bisa ia menikahi Amanda kalau dia tidak mencintai wanita itu? Ia hanya mencintai Redita, hanya itu! Kenapa sulit sekali sih menjelaskan semua perasaan Adnan pada gadis itu?"Papa tidak peduli, papa akan tetap menikahi Redita, papa tidak mau harus kembali hancur!" guman Adnan pada dirinya sendiri. Pernah hancur, pernah terluka dan itu yang membuat Adnan kemudian bertekad bahwa ia harus mendapatan kebahagiaannya.Rasanya dada Adnan begitu sesak, kenapa disaat ia kembali mencintai dan dicintai ada saja masalahnya? Kenapa? Kenapa harus perkara umur yang menjadi masalah? Kenapa harus perkara restu dari anak-anaknya yang menjadi penghalang? Padahal dimana letak salahnya?
Adnan menyeka peluh yang membasahi dahi Redita, wajah isterinya itu memerah. Membuat Adnan tersenyum penuh arti. Ia bergegas bangkit dan duduk di tepi ranjang, sebenarnya ia masih ini di sini, bersama Redita, memeluk erat tubuh bersimbah peluh itu sampai pagi, namun mau bagaimana lagi, Edo sedang di rumah jadi mau tidak mau Adnan harus pulang. Daripada nanti timbul masalah yang makin pelik, lebih baik dia kembali ke rumah, kan?"Sayang, saya pamit balik ya, maaf malam ini nggak bisa nemenin kamu," Adnan mengecup lembut kening isterinya, rasanya berat, tapi mau bagaimana lagi?Redita hanya mengangguk sambil memejamkan matanya, ia ingin tidur saja setelah ini, tidak mau melakukan apapun. Tubuhnya terasa lemas dan besok ia masih harus koas.Adnan bergegas bangkit dan melangkah ke kamar mandi, ia harus membersihkan diri sebelum kembali pulang. Ia yakin pasti setelah ini Edo akan mencecarnya habis-habisan! Ia yakin itu! Ah ... sudahlah, bukan kah semua sudah Adnan ni