Ranti mengatur napas sebisa mungkin saat ia sudah duduk di sebelahku.Aku tahu bagaimana perasaannya sekarang. Makanya tadi aku lebih memilih banyak diam, kubiarkan Ranti menumpahkan rasa kesalnya pada ibu.Selama ini Ranti sudah berusaha jadi menantu yang baik, tapi selalu saja salah di mata ibu alih-alih Ranti diterima."Kamu gak apa-apa Ran?" tanyaku akhirnya."Ranti tuh kesel sama ibu, kenapa sih ibu gak pernah mau nerima Ranti hanya karena latar belakang Ranti orang desa? Padahal kalau Ranti mau, Ranti bisa aja ceritakan semua yang Ranti punya.""Sabar Ran, sabar."Ranti mendengus kesal di bangkunya. Aku sendiri sampai merasa bersalah dan tak enak hati dengan perilaku ibuku yang tak kunjung beres dari dulu itu.***Hari-hari pun berlalu.Walau sudah banyak sekali pertengkaran antara ibu dan kami, tapi kami tetap menghormati beliau sebagaimana mestinya.Hari ini kami berniat ke rumah ibu lagi untuk mengambil kunci yang beberapa hari lalu belum berhasil kami ambil."Bang, kira-kir
Ibu menelan ludah. Jika biasanya ibu langsung meletuskan bom molotopnya saat beliau marah, kini mulut ibu tampak kelu terkunci."Jadi gimana, Bu? Ibu mau tetep jaga toko itu atau enggak?" tanya Ranti lagi.Ibu yang masih bimbang memutuskan makin terlihat cemas sebab terus saja didesak oleh Ranti."Ya udah," ucap beliau akhirnya dengan mata mengerling tajam."Ya udah apa?""Ibu yang jaga," jawabnya ketus sambil sekuat tenaga ibu menahan agar mulutnya itu tak lagi memaki Ranti.Ranti menjebikan bibir sedikit. "Bagus kalau gitu, lagian kan kata Ibu, Ibu gak biasa hanya diam di rumah, jadi biar Ibu tetap ada kegiatan Ibu bisa jagain toko kami."Ibu terlihat makin murka. Tapi lagi-lagi ia tak bisa apa-apa selain menahan diri agak tak terjadi perdebatan lagi dengan Ranti.Aku cekikikan dalam hati.Yakin deh nih pasti ibu lagi mikir gimana caranya terbiasa bersikap manis pada kami, agar ibu bisa merebut hati Ranti dan memperbaiki namanya di depan kami.Wah wah benar apa kata ayah mertua, ua
Aku tak langsung percaya. Bagaimana kalau ini hanya akal-akalan ibu saja? Bukan maksud suudzon sama ibu sendiri, tapi kelakuan ibuku memang begitu, tak jauh dari sifat bohong dan suka menilep uang.Ranti di sampingku sama, ia pun tampak biasa saja meski ibu sedang tampak sangat bersedih."Udahlah beresin aja semuanya beresin," kata Ranti.Akhirnya hari itu aku kembali tidak masuk kerja karena harus mengurus toko yang masih berantakan.Ranti pun sama, ia ikut membantu membereskan semuanya bersama ibu._Pukul 12 siang semuanya sudah selesai, aku dan ibu istirahat di depan toko sambil membicarakan berapa jumlah taksiran barang modal yang hilang."Kayaknya ini mencapai 30 juta, barang hilang rokok utamanya, pada dirusak pula," kata Ibu.Dadaku langsung kembang kempis. 30 juta modal hilang. Tapi anehnya kenapa para pencuri itu harus merusak barang kami yang lainnya? Kenapa gak diambil aja semuanya?Beras, minyak, gula, terigu, sabun dan lainnya semua dirusak tanpa alasan.Kalau logika se
"Apa? Jadi kau pelakunya? Kau yang sudah merusak toko itu? Iya? Begitu?" Ibu mencecar."Iya!!! Memang Haris, kenapa?" Mas Haris berteriak.Aku dan Ranti saling melirik dengan sedikit menganga. Tak kusangka ternyata Mas Haris adalah pelakunya, astagfirullah manusia macam apa itu?Aku tahu pasti dia sedang marah dan kecewa pada ibu karena istrinya dibawa ke kantor polisi, tapi apa perlu dia marah lalu melampiaskannya pada barang-barang yang tak punya salah?"Anak bia*ab! Gak tahu rasa terimakasih sedikitpun. Maksudmu apa merusak toko itu Hah? Setelah istrimu menjaminkan sertifikatnya sekarang kamu juga merusak isinya. Hwah hebat, memang hebat.""Jadi maksudmu apa? Maksudmu merusak toko itu apa Haris? Apa??Jelaskan!!" desak Ibu lagi."Ibu mau tahu alasannya? Alasannya karena Haris marah dan kecewa sama Ibu. Sedikit saja kami berbuat salah Ibu sudah main jebloskan saja istri Haris ke dalam penjara, padahal selama ini kami selalu menuruti apa kata Ibu.""Dasar anak durhaka!!" Suara Ibu ma
Ibu menoleh."Loh ini emas Ibu," kata beliau kemudian seraya mengambil emas itu dari tanganku. "Kurang ajar si Kania, selain nyuri sertifikat ternyata dia juga nyuri emasku. Apa jangan-jangan dia ambil semuanya? Gawat." Ibu bergegas masuk ke dalam kamarnya.Aku dan Ranti mengekor setengah kepo.Di kamarnya ibu buru-buru membuka lemari dan mengeluarkan semua tempat perhiasan miliknya.Gila kupikir ibu hanya punya satu tempat perhiasan, tahunya ada banyak tempat perhiasan sampai bertumpuk beliau keluarkan.Aku dan Ranti sampai melongo dengan alis terangkat."Hah kemana emasku? Kemana ini? Kemana yang ini? Kemana yang di sini?" Ibu mulai panik, dibukanya satu persatu tempat perhiasan yang sudah kosong melompong itu di atas kasurnya."Kania ... kamu bener-bener ular, ular berkepala manusia yang sudah nyuri di rumahku, awas saja kau Kania." Wajah Ibu tampak murka. Merah seperti bara api.Sementara aku berusaha menahan tawa, kuingat dengan bangganya ibu pamerkan semua emas saat akan tahlil
"Gini ya Abang sayang, kontrakan ini tuh kontrakan Ranti, warisan dari nenek pihak bunda. Sebetulnya diwariskan untuk Ranti dan A Hasjun tapi A Hasjun bilang semuanya buat Ranti aja karena A Hasjun cowok dia bisa kerja keras sendiri."Keningku mengernyit menanggapinya."Serius? Kok Abang baru tahu?""Ishh ya serius atuh Bang, emang selama ini Ranti pernah bayar kontrakan?"Waduh, iya juga sih selama kami tinggal di sini emang Ranti gak pernah terlihat bayar kontrakan.Ouh pantes aja dulu pas pertamakali pindah ke sini ada tetangga nyapa kayak udah kenal banget sama Ranti."Pantesan gaji sedikit tapi selalu cukup Ran.""Itu lah alesannya, karena Ranti gak pernah bayar kontrakan, mau bayar gimana? Ini kontrakan Ranti haha." Ranti terbahak-bahak menertawakanku."Eh tapi kenapa semua orang harus bayar ke Pak Sugih? Jadinya kan Abang ngira ini kontrakan milik dia," tanyaku lagi."Sejak dikelola sama nenek dan kakek kontrakan ini emang dirawat sama Pak Sugih Bang, dulu nenek dan kakek tingg
"Iya, jadi rencannya usaha kami ini akan kami berikan pada anak kami, Ranti dan Ridho untuk diolah berdua," kata Bunda lagi.Refleks wajahku dan wajah Ranti berseri."Bunda serius?" tanya Ranti tak percaya."Serius sayang, semua orang yang hadir di sini jadi saksinya."Aku dan Ranti bersorak senang bagai anak kecil."Yee kita punya usaha keren Abang, kita jadi orang kaya beneran sekarang," kata Ranti sambil berjingkrak-jingkrak memelukku karena saking senangnya."Iya Ran iya Abang janji akan bantu kamu mengelola bisnis kita sebaik mungkin."Kenapa aku dan Ranti sangat senang? Karena saat kami menikah kami memang punya cita-cita ingin membuka usaha yang agak kerenan, entah apa, tapi kami ingin sekali buka di salah satu mall di Jakarta ini."Kalau usaha itu launching kamu berhenti aja dari kerjaan kamu Rid," sahut Ayah."Baik Yah, baik." Aku menyetujui dengan senang hati.Semua orang tampak bahagia melihat kami bahagia, kecuali keluargaku utamanya ibu yang mendadak resah dan berkeringat
"Ya Tuhan." Brak.Aku melompat dari kasur saat kudapati Mbak Kania ada di sampingku dengan selimut yang membalut tubuh polosnya."Apa-apaan ini?"Kupegangi kepalaku yang masih terasa nyeri dan berat."Kok bisa aku di sini sama dia?"Kuingat-ingat kembali kejadian terakhir saat aku meminum teh buatan Mbak Kania. Tapi setelah mataku buram aku justru tak ingat apa-apa lagi dan saat kupaksakan untuk meningatnya kepalaku terasa makin sakit."Aku kenapa ini? Ya Tuhan."Kutengok lagi Mbak Kania yang masih tidur lelap di dalam selimut miliknya.Cemas, takut dan bingung jadi satu. Pasalnya bahaya kalau sampai Mas Haris tahu, ia pasti akan sangat murka dan salah paham.Tanpa berpikir lagi segera kupunguti pakaianku yang sudah berserakan di lantai."Arghh di mana kolorku?" Kuedarkan pandangan ke sekitar.Dan sialnya kolorku ada di dekat kepala Mbak Kania. Perlahan akhirnys kakiku kembali mendekat ke bibir ranjang.Saat kutarik kolor itu ...."Eh hei udah bangun sayang?" Mbak Kania malah membuk