JEVINNiken masih berdiri di beranda saat aku sudah berada di mobil dan bermaksud pergi meninggalkan rumahnya. Ada kesedihan yang mendalam di wajahnya. Dan aku adalah satu-satunya penyebab kesedihan itu. Entah apa lagi sebutan yang tepat disematkan pada namaku yang selalu saja menyakiti hati wanita.Aura rumah terasa begitu mencekam begitu aku tiba. Aku tahu, pasti persidangan untukku sudah disiapkan.Baru saja aku keluar dari mobil Mami ikut keluar dari dalam rumah lalu berdiri di beranda. Mami memasang wajah masamnya melihatku muncul.“Javas mana, Mi?” tanyaku karena mobil Javas tidak kulihat di halaman.“Mami nggak nyangka kalau kamu akan senekat itu, Jev,” jawab Mami mengabaikan pertanyaanku. “Percuma Mami nasehatin kamu panjang lebar. Sampai mulut Mami berbuih nggak kamu anggap sama sekali.”“Mi, kalau ini tentang Niken aku memang sudah membatalkannya,” jawabku sambil melangkah melewati Mami.“Jevin! Mami belum selesai bicara sama kamu!” Mami membentak sambil menarik bajuku dari
ZELINEAku salah jika berharap masalahku dengan Jevin tidak akan mempengaruhi hubungan kakakku dengan suaminya. Setelah Tante Rosella menelepon malam itu dan menghinaku dengan segala tudingannya, Mama tidak tinggal diam. Mama langsung mengadukannya pada Mbak Zoi. Lalu hari ini Mbak Zoi dan Mas Javas datang ke rumah untuk memverikasi kebenarannya.“Mertua kamu menuduh Zeline menjual diri pada Jevin. Dia bilang Zeline anak daerah yang uang jajannya pas-pasan, makanya memanfaatkan Jevin untuk mendapat uang yang banyak. Gini-gini Mama nggak pernah mengajari anak-anak Mama untuk melakukan hal senista itu. Nggak hanya itu, tapi dia juga bawa-bawa kamu dan Zola. Dia bilang Javas terpaksa menikahi kamu. Kamu mau-maunya dinikahi Javas. Di sini mama merasa seakan kamu yang ngotot untuk dinikahi Javas. Mertua kamu juga menghina Zola yang hamil sebelum menikah. Dia lupa bahwa anaknyalah yang bikin Zola hamil.” Mama mengadukan semuanya pada Mas Javas dan Mbak Zoi. Aku tahu Mama sama sekali nggak
ZELINEAku mengikuti Mbak Zoi menuju ruang tamu.Selagi aku meletakkan cangkir-cangkir minuman di meja, Mbak Zoi bergegas ke luar.Ada mobil yang berhenti di depan rumah. Lalu setelahnya aku mendengar suara percakapan Mbak Zoi dan seorang laki-laki. “Ma, Pa, Jav, Zel, kenalin ini Dimas, adeknya Zico.” Mbak Zoi masuk ke dalam rumah bersama seorang laki-laki muda.Oh, jadi ini orangnya. Dalam waktu singkat aku langsung memberi penilaian di dalam hati.Dimas beda jauh dari Mas Zico. Kalau kakaknya berkulit eksotis, maka adiknya jauh lebih terang. Dimas juga lebih good looking dari kakaknya.Mbak Zoi mengenalkan Dimas pada keluargaku satu per satu. Mama dan Papa menyambutnya dengan baik karena tahu Mbak Zoi bersahabat dekat dengan Mas Zico.“Dan ini Namanya Zeline, dia adek bungsu aku.”Aku dan Dimas saling berjabatan saat Mbak Zoi mengenalkan kami berdua. Dia tersenyum hangat, aku membalas senyumnya sekenanya.Setelahnya aku hanya mendengarkan perbincangan lelaki itu dengan orang tua da
ZELINEHari wisudaku akhirnya datang juga. Seharusnya hari ini aku bahagia karena ini adalah titik puncak perjuanganku setelah bertahun-tahun. Tapi peristiwa demi peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat bahagia adalah hal yang kurang tepat untuk mendeskripsikan hidupku saat ini. Tidak terlalu banyak yang menghadiri acaraku. Paling hanya keluarga dekat. Mas Javas berhalangan datang sehingga yang mewakilinya hanya Mbak Zoi dan si kecil Bjorka.“Asem banget mukanya. Bisa senyum dikit nggak?” Mbak Zoi berbisik padaku saat melihatku hanya diam tanpa ekspresi apa-apa.Dengan terpaksa kulengkungkan bibir yang begitu berat untuk digerakkan. Bukan karena polesan lipstickku yang bold, tapi karena sejak kemarin malam perasaanku tidak enak.“Nah, gitu kan bagus.”Mama dan Papa sedang berbicara dengan orang tua teman-temanku yang mengenal mereka. Aku melipir saat melihat Gita melambaikan tangannya padaku.Sejak SMP, SMU hingga perguruan tinggi aku dan Gita menempuh pendidikan di tempat yan
JEVINLelaki di sebelah Zeline menatap sekilas padanya. Zeline membalas dengan senyumnya yang semanis madu.“Dim, kenalin ini kakak iparnya Mbak Zoi, namanya Jevin.”Lelaki bernama Dimas itu mengulurkan tangannya sehingga mau nggak mau aku terpaksa menyambutnya. Kami pun berjabatan menyebut nama masing-masing.“Dimas.”“Jevin.”Aku nggak tahu bagaimana proses itu terjadi—Zeline berpacaran dengan Dimas dalam jangka waktu dua minggu setelah dia meninggalkan Jakarta. Tapi sejujurnya jika aku melihat dari kacamata yang netral, Zeline dan Dimas tampak sangat serasi. Mereka mungkin seumuran. Zeline sesuai dengan Dimas yang masih muda, bukan dengan om-om sepertiku.“Jev, makasih atas kedatangannya. Kamu udah jauh-jauh ke sini hanya untuk menghadiri wisuda aku. Tapi acaranya sudah selesai. Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau Papa sama Mama ngeliat kamu ada di sini dan itu bikin mereka emosi. Aku minta tolong banget pengertian kamu.”Zeline mengusirku terang-terangan di depan lelaki
JEVIN“Zoi …” Aku melafalkan namanya agar Zoia menjawab permintaanku. Sejak tadi dia hanya memandang dengan tatapan prihatin seakan aku adalah makhluk paling menyedihkan.Zoia mengembuskan nafas panjang. Dari gesturnya mengesankan apa yang akan disampaikannya merupakan sesuatu yang berat, yang mungkin dia sendiri tidak mampu untuk mengatakannya.“Mas Jevin udah tahu soal Mami?”“Mami kenapa?” Aku memburu tidak sabar.“Mami dan Papi waktu itu datang ke rumah ketemu sama Mama dan Papa dan juga Zeline. Ucapan Mami bikin keluarga aku tersinggung. Mami merendahkan Zeline. Mami bilang Zeline bukan perempuan baik-baik. Zeline hanya memanfaatkan Mas Jevin demi uang. Mami menuduh Zeline memaksa Mas Jevin untuk membatalkan pernikahan dengan Mbak Niken. Bukan cuma itu, Mas, masih banyak lagi hinaan Mami untuk Zeline dan keluarga kami yang disampaikan lewat telfon. Bahkan aku sama Javas sampe berantem gara-gara masalah tersebut.”Zoia kemudian menguraikan secara detail percakapan antara Mami Pa
ZELINEMama mengikutiku ketika aku masuk ke kamar setelah Dimas pulang. “Papa kenapa iya-iya aja, Ma? Kenapa nggak tanya aku dulu?” Aku memprotes sikap Papa pada Mama mengenai rencana melanjutkan S2 tadi.Mama lalu duduk di sebelahku, menatap dengan tatapan lembut seorang ibu.“Papa melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Zel. Semakin tinggi pendidikan maka peluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik akan semakin besar. Kamu harus sukses dan berhasil biar nanti kamu bisa membungkam mulut orang-orang yang menghina kamu. Mengerti kan maksud Mama?”“Tapi nggak harus sampai ke luar negeri kan, Ma? Di kampusku juga ada kok program S2.”“Jelas aja berbeda kuliah di dalam dan di luar negeri. Bukannya Mama mau mengatakan kalau di negara kita nggak bagus, tapi faktanya memang begitu.”Aku mengakui kebenaran kata-kata Mama. Tapi entah mengapa rasanya berat sekali untuk pergi jika seandainya aku diterima.Papa masuk ke kamarku di saat aku sedang bicara dengan Mama.“Siapa yang mengundang
JEVIN“Lepasin aku, Jev! Keluarin aku dari sini!” Zeline terus berteriak setelah aku membawanya ke mobil seakan aku adalah seorang penculik yang akan mencelakainya.“Apa sih yang mau kamu omongin? Ngomong di sini aja!” Rasanya aku ingin membungkam mulutnya dengan kecupan agar dia berhenti memprotes.“Teriak aja, nggak ada yang bisa mendengar kamu. Yang ada suara kamu bakal habis.”“Aku nanya apa yang mau kamu omongin? Ngomong aja di sini. Kamu nggak bisa giniin aku, Jev. Aku bukan anak SMP bodoh lagi!”“Justru karena itu. Karena kamu bukan anak SMP seharusnya kamu bisa bersikap dewasa. Sekarang nggak usah banyak protes, turutin apa yang aku mau.”“Kamu pikir kamu siapa yang kemauannya harus aku turuti?”Demi apa pun aku merasa gemas melihat ekspresi Zeline. Alih-alih akan terlihat jelek mata bulatnya justru tampak semakin indah saat sedang marah begini.“Mau tahu aku siapa? I’m your first love.”Zeline menjawab dengan dengkusan keras sementara aku mengemudikan mobil semakin kencang.