"Dua minggu lagi, saya akan datang menemui orang tua kamu." Dinda menggelengkan kepalanya. Kalimat itu terus saja terngiang di kepalanya. 'Pak Arya pasti bohong. Beliau pasti tidak akan datang. Itu hanya isapan jempol saja. Tidak perlu diambil pusing.' Dinda berbicara dengan dirinya sendiri. Dinda mulai merasa perasaannya tidak baik-baik saja, sejak Arya meminta alamat rumahnya tadi siang. Antara senang dan tidak percaya. Ia tidak sadar jika Sari dan Broto terus saja mengawasinya. Sari dan Broto datang saat Dinda dan Arya tengah sarapan di warung sebelah rumah sakit. Dani yang sudah kembali tidur, tidak mengetahui kedatangan Sari dan Broto. Tidak berselang lama, Dinda sudah kembali ke ruangan Dani. "Darimana?" Broto menatap Dinda yang masih menggelengkan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam ruangan Dani. "Loh?! Papa sudah sampai di sini. Mama juga." Dinda menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi terkejut. Akibat memikirkan Arya, Dinda tidak fokus dengan orang-orang di seke
Dinda langsung membersihkan dirinya begitu tiba di rumah. Ia berendam sebentar, menghilangkan rasa penat dan capek yang mendera tubuhnya sejak kemarin malam. Ponsel sengaja ia bawa, untuk berjaga-jaga jika orang tuanya tiba-tiba menelpon. Disaat Dinda sedang menikmati harumnya aromaterapi yang membuat tubuhnya rileks, ponselnya berbunyi. Dinda membuka kedua netranya. Arya? Pak Arya? Dinda segera bangun dari posisinya yang setengah bersandar di bathup. "Iya, Pak?" *Sudah di rumah? "Baru saja sampai. Ini sedang mandi." *Sedang mandi? Arya mengulangi ucapan Dinda yang tidak sadar telah menceritakan keadaannya sekarang. 'Astaga! Salah ngomong lagi!' jerit Dinda panik. Arya terkekeh. Ia tahu jika Dinda secara tidak sadar mengatakan keadaan dirinya yang sedang mandi. Tsk. Arya justru membayangkan hal yang tidak-tidak. *Boleh vc nggak? "Astaga! Bapak mesum! Saya matikan!" Tut. Benar saja. Sambungan itu langsung diputus oleh Dinda. Gadis itu tidak tahan untuk tidak membayangkan
Anggun sedang menata ruang tengah saat Arya keluar dari kamarnya. Dermawan sendiri belum pulang dari kantor. Anggun memperhatikan Arya yang turun tergesa-gesa dari tangga. Wajah Arya pun terlihat tidak seperti biasanya. Ia khawatir jika putranya itu sakit. "Mau kemana lagi?" Anggun terus memperhatikan wajah Arya. "Mau ke kampus sebentar, Ma." Sebelum menyusul ke rumah sakit untuk menemani Dinda, Arya mampir ke kampus sebentar untuk memberi konsultasi pada beberapa mahasiwanya. Ia sudah terlanjur janji dengan beberapa mahasiswa untuk memberi mereka kesempatan berkonsultasi dengannya. Semula ia menjadwalkan bimbingan dan konsultasi akan berlangsung siang hari, akan tetapi, Arya merubah jamnya. Ia ingin tidur sebentar karena semalaman hanya tidur tiga puluh menit selama di rumah sakit. "Ma... Nanti Arya langsung ke rumah sakit. Nemenin teman yang kemarin masuk rumah sakit." "Lagi? Dia tidak punya saudara?" "Cuma satu, Ma." "Kalau bisa ya tetap pulang ke rumah, tapi kalau lebih b
"Pak? Kamu panggil pacar kamu apa barusan?" Dani menatap Dinda curiga. Arya tetap diam. Ia ingin melihat bagaimana Dinda meluruskan kebiasaannya itu. "Hmmm, Pak..." Dinda meragu dengan jawabannya sendiri. Dani terpingkal-pingkal. "Woiii! Kerenan dikit, napa? Jaman milenial begini, manggil pacar sendiri dengan panggilan 'Pak'...." Dani melanjutkan tawanya. Dinda melirik ke arah Arya. 'Kenapa dia diam aja? Bantuin kek,' sungut Dinda sambil terus melirik Arya yang juga menatap dirinya dengan tatapan penuh tanya. Dinda mencibir, lalu kembali menatap Dani, melihat kakaknya itu menyeka kedua matanya yang berair karena terpingkal-pingkal, hingga perutnya menjadi sakit. Ia lupa dengan pesan Broto untuk banyak beristirahat. "Panggillah pacarmu itu dengan panggilan yang romantis. Mas, kek. Sayang, Kek. Cinta, kek. Jangan Pak. Orang dia juga masih muda gitu, loh. Paling juga nggak jauh beda dengan kakak." Arya berdeham. "Biasanya kalau lagi berdua, Dinda suka panggil saya, mas." Dinda
Mega berjalan menuju gedung dua lantai dua. Ia harus mengisi dua kelas hari ini. Sembari berjalan, Mega terus saja melempar pandangannya ke kiri dan ke kanan, mencari sosok yang sudah beberapa hari tidak ia lihat. Namun sayang, sejauh mata memandang, Mega tidak juga menemukan sosok yang ia cari, hingga akhirnya langkah kaki berhenti tepat di depan ruangan yang harus ia beri materi hari ini. Mood Mega langsung berubah. Ia mendadak menjadi suntuk. Ia memutuskan untuk memberi kuis hingga membuat suara riuh rendah membahana di ruang itu. "Bukan mahasiswa jika cara berpikir kalian masih seperti anak SD, yang tiap kali ulangan harus diberitahu sebelumnya." Suara itu menghilang dibawa angin. Semua terdiam, menundukkan kepala masing-masing. "Bukankah dulu kalian sudah dikenalkan dengan sistem CBSA? Mengapa sekarang justru seperti anak TK? Yang harus disuruh dulu baru bergerak. Yang berteriak protes jika diberi perintah. Mau jadi apa kalian kalau mental seperti ini yang kalian pelihara?
Arya sudah tidak lagi menemani Dinda di rumah sakit, karena di hari ketiga, Dani sudah diperbolehkan pulang tapi tetap diawasi dengan ketat. Punggung Arya terasa begitu berat. Ia berlama-lama di bathup guna menghilangkan rasa penat di seluruh tubuhnya. Pembicaraan dengan Dinda terakhir kali di kursi taman depan kamar rawat Dani kemarin malam, mengganggunya. Ingin rasanya ia dapat segera bertemu dengan orangtua Dinda. Akan tetapi hal itu tidak dapat ia lakukan dalam waktu dekat, mengingat Dani, baru saja diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tentunya, Dani masih memerlukan waktu agar kesehatannya benar-benar pulih seperti biasa. Arya menikmati alunan musik jazz selama ia berendam di kamar mandi. Wangi bunga lavender bercampur mint, membuat dirinya mengantuk. Ada rasa bahagia yang tidak bisa ia lukiskan karena sambutan Dani terhadap kehadirannya selama dua hari berturut-turut di rumah sakit, cukup positif. Hampir satu jam Arya menghabiskan waktunya di bathup. Selanjutnya ia membil
Arya melangkah ringan memasuki komplek parkiran gedung rektorat. Rudy baru saja mengirim pesan padanya terkait pengajuan beasiswa S2-nya. Rudy meminta Arya untuk memeriksa ulang pengajuannya dan melengkapi kekurangan dokumen paling lambat lusa.. "Selamat Siang, Pak Arya." Hasan tersenyum lebar begitu melihat yuniornya itu berjalan menuju gedung administrasi rektorat. "Siang, Pak Hasan." "Ada kabar beasiswanya?" "Belum tahu ini, Pak. Saya disuruh datang untuk mengecek kelengkapan dokumen dan melengkapi kekurangan dokumen, paling lambat lusa. " "Sepertinya tidak akan lama lagi prosesnya. Tinggal menunggu jawaban, sekitar tiga minggu dari pengajuan untuk seleksi dokumen, dan satu bulan lagi untuk seleksi beasiswa." "Iya." "Semoga lancar, Pak Arya. Saya doakan bisa segera berangkat ke universitas yang diinginkan." "Aamiin. Terima kasih doanya, Pak." Arya bergegas menemui Rudy. Ia sendiri baru setengah jam yang lalu menjejakkan kaki di kampus. Angka di arjolinya menunjuk ke angka
"Jika kamu membuka amplop itu, berarti kamu setuju dan menerima perjodohan ini." Dermawan sangat serius dengan perkataannya. Arya terlihat sedikit meragu, tapi sejatinya pendiriannya sudah berubah sejak mengetahui Sari, istri tamu yang diundang papanya untuk makan malam bersama di rumah mereka adalah ibu dari Dinda, gadis yang hendak dilamarnya minggu depan. Tidak ada yang melihat senyum tipis penuh arti, yang terbit di kedua ujung bibir Arya. Tidak ada alasan bagi Arya untuk menolak perjodohan itu, karena gadis yang hendak dijodohkan dengannya adalah gadis pilihan hatinya, yang belum sempat ia ungkapkan kepada orang tuanya. Arya mengeluarkan selembar foto berukuran 4R, dan menatap wajah yang terpampang di sana. Arya dengan cepat memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop. Wajahnya terlihat datar dan tanpa ekspresi, menimbulkan rasa khawatir Dermawan dan Anggun. "Arya?" panggil Anggun lembut. Ia sungguh berharap Arya akan menerima gadis itu sebagaimana dirinya. Arya tidak menja