Sari dan Broto baru tiba di rumah pukul sepuluh malam. Dinda sudah berpelukan erat dengan guling kesayangannya, sedangkan Dani masih berkutat dengan game di ponselnya. Begitu mendengar suara mesin mobil yang masuk ke garasi, Dani segera beranjak dari kasurnya. Ia ingin tahu seperti apa calon adik iparnya. Seorang pria muda tampan dan mapan, atau justru pria berumur empat puluh tahun dengan perut buncit dan kepala botak. "Gimana, Ma?" Dani langsung mencegat Sari yang baru saja keluar dari mobil. "Gimana apanya?" "Ya itu. Calon adik ipar Dani. Saingan papa atau saingan Dani?" Sari mendelik. "Jangan jadi anak yang nggak sopan!" "Loh? Nggak sopan gimana sih, Ma? Kan Dani cuma minta gambaran, saingan mudanya sama Dani atau saingaan tuanya sama papa, Gitu aja kok." "Menurut kamu yang kemarin ke rumah sakit itu muda atau tua?" "Lah itu mah, nggak usah ditanya, Ma. Pasti udah ada fanbase-nya itu." Sari tersenyum senang. "Ya itu. Calon adik ipar kamu nggak jauh-jauh dari itu." Wajah D
Cuti Arya sudah habis. Kini, ia kembali melangkah menuju ruangannya. Jam sembilan pagi. Suasana kampus sudah cukup ramai. Melewati beberapa kelompok mahasiswa yang sedang menunggu jadwal berikutnya, Arya sibuk membalas sapaan hangat para penggemar mudanya itu. Ada rasa senang sekaligus capek karena ia harus menebar senyum meski sekedar senyum simpul untuk membalas itu semua. Teriakan kecil terdengar setelah ia melewati mereka. Seperti mereka baru saja bertemu dengan idol kesayangan. "Pak Arya!" Seketika Arya menghentikan langkahnya. Ia langsung memutar tubuhnya ke arah kiri, menyunggingkan senyum ala kadarnya. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?" "Saya mau bertanya sesuatu apakah boleh?" tanya Mona sambil memainkan ujung rambutnya, maksud hati ingin terlihat imut dan menggemaskan di mata Arya. "Silakan." Arya melirik seklias arlojinya. "Apakah Bapak bersedia datang ke pernikahan kakak saya?" Arya terkejut. "Untuk apa? Saya tidak kenal dengan kakak kamu." "Iya. Maksud saya, sebagai
"Mitaaaa!" Dinda berteriak kencang di ponselnya ketika panggilan yang ia buat dijawab Mita. "Apaan sih teriak-teriak, Din?! Gua belum budek." Mita yang baru bangun tidur siang, menggeliatkan badannya. "Lu tu ye! Dapat berapa duit dari doi?" "Berapa duit gimana?" Mita belum paham. "Lu nerima sogokan doi kan terus lu berani-beraninya kasih alamat rumah gua ke dia." Dinda di puncak amarahnya. Ia tidak paham mengapa besti-nya sendiri tega mengkhianati dirinya. "Ooh itu." Begitu dirinya paham jika penyebab Dinda naik pitam karena alamat rumahnya dibagikan kepada Arya, Mita justru bersikap santai. "Ooh itu? Lu cuma ngomong 'Ooh, itu?" Dinda melotot tidak percaya. Lagi-lagi Dinda lupa jika Mita tidak ada di depannya saat ini, sehingga Mita tidak bisa melihat bagaimana seramnya wajah Dinda saat ini. "Eh, Din. Bukan tanpa maksud ya gua ngelakuin ini. Melihat lu berdua gua jadi gemes sendiri, tau nggak??Gemesssss banget! Alhasil, ketika Pak Arya manggil gua di kampus kemarin, dan minta
"Pak Arya kemana aja kemarin?" Mega mensejajarkan langkahnya begitu melihat pria idamannya turun dari taksi online, berwarna putih. Arya sedikit terkejut melihat kedatangan Mega yang tidak ia duga sama sekali. Untungnya, Arya sudah memperhitungkan semuanya "Kenapa naik taksi online, Pak? Kan Pak Arya bisa telpon saya, biar saya yang jemput Pak Arya," tawar Mega kini tanpa rasa sungkan. "Kemarin main ke rumah teman sampai lupa waktu. Tahu-tahu sudah malam. Mau balik kampus sudah capek. Jadi ya, saya tinggal di sini saja mobilnya," jawab Arya sambil melambaikan tangan lengkap dengan senyum manisnya ketika terdengar suara klakson dari mobil yang mengantarnya. Mega melirik ke arah mobil yang baru saja menurunkan Arya. Ia seperti pernah melihat mobil itu, dan senyum Arya bukanlah senyum yang biasa. Mega sangat tahu itu. Senyum yang sangat menawan yang hanya pernah ia lihat ketika Arya bersama seseorang. Mega menjadi tegang ketika ia ingat dengan seseorang yang ia maksud, sedangkan Ar
Dinda dan Mita, keduanya sama-sama menuju bagian administrasi kampus. Mita ke bagian wisuda sedangkan Dinda ke bagian pendidikan yang mengatur jadwal sidang. Ia ingin mencari kepastian tentang penyelenggaraan sidang skripsi yang dimajukan satu bulan lagi. "Beneran dimajukan, Mbak?" tanya Dinda pada petugas administrasi. "Iya, betul. Satu bulan lagi tapi tanggalnya belum pasti. Bisa jadi, kalau dihitung dari tanggal sekarang, jatuhnya tiga minggu lagi, malah nggak sampai satu bulan." Dinda benar-benar tidak menyangka dengan pengumuman hari ini. Penantiannya tidak lama lagi akan berujung. Ia akan bisa menyelesaikan kuliahnya yang hanya tinggal selangkah lagi. "Kalau timnya, apakah sudah keluar juga, Mbak?" "Hmm, sudah. Kemarin hasil rapat salah satunya itu, tapi mungkin baru akan ditempel di papan pengumuman dua minggu lagi." "Oh. Kok lama amat? Kenapa nggak sekarang aja?" "Kan harus dilaporkan dulu ke dekan terus ke pusat." "Oh, begitu. Ya udah. Terima kasih informasinya, Mba
Dinda menelan ludahnya. Senjata makan tuan. Niat hatinya hanya untuk memancing dengan kalimat iseng, tapi dirinya justru dibuat salah tingkah sendiri dengan jawaban dari Arya. "Bagaimana jika saat saya jemput kamu besok, saya sekalian saja bertemu dengan papa kamu? Saya sepertinya sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi." "Tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk apa?" "Untuk melamar kamu." Tenggorokan Dinda tercekat. Ia merasa jika ada tulang ayam yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokannya. "Pak. Jangan bercanda! Masih pagi. Nggak enak dilihat Pak Yono, kalau saya tertawa sendirian. Ntar saya dikira apa tertawa sendiri. " "Saya serius." Arya benar-benar serius dengan perkataannya. "Sidang skripis dimajukan bisa jadi salah satu pertanda jika kita memang harus bergerak cepat. Di samping itu, saya ingin ketika beasiswa saya diterima, kamu ada untuk membantu persiapan keberangkatan saya, sekaligus menemani saya di sana." "Sebentar-sebentar. Beasiswa bagaimana? Saya menemani k
Dinda mau tidak mau memberitahu Mita agar tidak menyusulnya. Ia akan mampir ke rumah gadis itu untuk mengambil mobil Dani yang tadi pagi ia gunakan untuk mengantar Arya. "Kenapa? Kamu menyesal memberitahunya?" Arya melirik ke arah Dinda. Jelas terlihat jika Dinda sangat menyesal. "Seharusnya tidak perlu memberitahukan Mita soal ini." Dinda tampak menyesal karena terlalu cepat memberitahu Mita soal rencana ia, yang sebentar lagi akan bertemu dengan orang tua Arya. "Tidak apa-apa. Saya pikir, Mita berhak tahu itu karena dia adalah satu-satunya orang yang mendukung kita dari awal sampai hari ini." "Seharusnya ini masih menjadi rahasia kita berdua saja. Kalau sudah fix semuanya baru Mita dikasih tahu." "Sudah. Tidak apa-apa." Mobil Arya terus meluncur membelah jalanan menuju ke rumahnya. Perlahan, mobilnya berbelok ke kiri lalu ke kanan memasuki halaman luas rumahnya. Perasaan Dinda semakin deg-degan. Ini lebih mengerikan daripada menghadapi para penguji di sidang skripsinya. Tan
Dinda duduk terpengkur di kursi Mita. Ia menatap kosong sahabatnya. Apa yang baru saja terjadi padanya membuat Dinda tidak dapat berpikir jernih? "Lu kenapa?" Mita jadi khawatir. Dinda tidak menjawab. "Habis diculik Pak Arya, lu kenapa jadi pendiam begini? Apa kalian sudah melakukan hal terlarang?" Pertanyaan Mita menjadi-jadi. Dinda menghela napasnya. "Tidak apa-apa. Gua balik dulu, ya? Thanks untuk semuanya." Dinda bangkit dari duduknya. Ia sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Mita, membuat Mita menjadi semakin khawatir. "Dah. Gua harus telpon Pak Arya. Doi harus bertanggungjawab atas semua ini." Mita mencari nomor Arya. Dinda langsung merebut ponsel Mita. "Nggak ada apa-apa. Lu nggak perlu khawatir." "Tapi ngeliat lu begini, gimana gua nggak khawatir? Ditanya diam, dicuekin tambah diam." "Gua nggak pa-pa. Dahlah. Gua balik dulu. Besok ketemu lagi di kampus." Dinda berjalan menuju mobil Dani dan mulai masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Mesin mulai dihidupkan, dan