Melepaskan dekapan lantas bergerak ragu menuruni ranjang. Pikiran Bram sedang tidak fokus. Niat hati ingin menemui Lastri. Namun lidahnya justru berdalih ingin mengunjungi sang Ibu. Dusta pertama pun terucap. "Hati-hati, ya, Mas?" ujar Inamah sebelum punggung suaminya itu menghilang di balik daun pintu kamar. Bram menoleh. Ia yang tengah meraih knop pintu mendadak menghentikan langkah. Hati berkata ingin pergi, tapi seruan Inamah membuatnya harus berpikir lagi dua kali. Masih menoleh dengan hati yang berdegub takut-takut. Tidak. Aku tak boleh menyakitinya! Untuk apa menemui Lastri? Urusan anak itu, aku harus punya cukup bukti. Ya, aku tak boleh gegabah. "Mas!" Inamah kembali mrnyeru. Membuat pikiran Bram berpendar seketika. "Ah, iya. Nggak jadi, Dek." Bram berbalik arah. Kembali dikuncinya pintu kamar. Ia lalu bergerak menuju tempat peraduan bersama Inamah. "Kenapa, Mas?" tanya Inamah bingung."Nggak jadi, Dek. Sudah malam. Mungkin, ibu juga sudah tidur." Bram menatap dalam.
Teringat Ani akan kisah Lastri tadi sore. Membayangkan berada di posisi Lastri, perempuan tua itu sesak sendiri. "Kamu pengecut," tandasnya. "Bukan salah Bram. Ia juga terlalu gampangan." "Gampangan? Ah ... Entahlah. Kalau sudah seperti itu, jangan hanya menyalahkan satu pihak. Bagaimana pun. Kamu sudah merusak kehormatannya." "Bu ...," kalimat Bram tertahan di tenggorokan. Dilihatnya wajah Ani berubah tak suka. Ibunya itu sudah pasti terbawa cerita Lastri. "Kalau Hasan benar anakmu, bagaimana?" tanya Ani menantang. "Entahlah. Bram bingung.""Ceraikan Inamah!" Degh!Bram terbelalak. Sampai hati sang Ibu menyuruhnya melakukan perbuatan keji itu. Menceraikan Istrinya. "Ibu sudah sangat keterlaluan! Inamah tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Dia istri sah, Bram. Sampai kapan pun, aku tak akan menceraikannya." Bram bersungguh-sungguh. Kesal ia mendengar titah Ibunya. Perceraian adalah hal yang paling ia takuti. Baginya, han
Ranting-ranting yang patah. Juga dedaunan yang berserak tersapu angin. Menjadi saksi bisu di mana sebuah jalinan lama baru saja dimulai kembali. Bergerak turun dari dalam mobil. Bram, Lastri dan Hasan. Mereka bertiga baru saja pulang mengambil hasil tes DNA di Rumah Sakit. Setelah menunggu beberapa waktu. Ya, sudah terbaca dari awal. Walau tanpa tes sekalipun. Jelas terlihat garis wajah Hasan yang begitu mirip dengan Bram. Namun, demi memuaskan hati serta meyakinkan diri. Tes pun dilakukan. Dan, benar saja. Bocah tiga tahun yang belum jelas bicaranya itu memang benar anak Bram. Sama sekali tak terbantahkan. Bukan sekadar kebingungan yang melanda. Tapi, begitu banyak aksara yang tak mampu Bram ucapkan. Nanar ia memandangi Hasan. Wajah lugunya, membuat hati Bram seketika meleleh. "Dia ... putraku." Terasa kelu lidah Bram mengeja dua kata itu. Ia sungguh tak menyangka. Benih yang ia tanam. Telah tumbuh sedemikian rupa. Menjadi seorang manusia. Hingga tiga tahun usianya.*** Sor
Bram menoleh cepat, ia membuang pandang. Debaran di hatinya tiba-tiba hadir. Pun dengan gelenjar rindu yang melesak tak tahu diri.Bram mencoba menepisnya.Hati manusia sering terbolak-balik bukan? "Maksud hak di sini apa?" tanya Ani tak mengerti."Agar ia bisa lebih dekat dengan Mas Bram. Tanpa harus membuat Inamah tahu jati diri Hasan siapa sebenarnya. Juga ... agar Ibu, mau menerima bahwa Hasan adalah cucu Ibu." Hening menjeda. Hanya sebentar sebab satu suara kembali membuka mulutnya."Maksudnya bagaimana?" Kali ini Bram menyahut. Ia masih belum memahami. Dalam benaknya ia menebak-nebak. Barangkali Lastri ingin agar Hasan tinggal bersamanya. Begitu? "Seperti kata Ibu kemarin. Ingat? Terkait kontrakan? Lastri akan tinggal di samping rumah Mas Bram." Kalimat yang diucapkan Lastri barusan benar-benar tak terduga. "Jangan khawatir, Lastri tak akan mengun
Keesokan harinya. Tepat hari Minggu pagi. Saat Bram sedang libur tak bekerja. Mentari di luar memang cerah, namun, mendung di hati Lastri belum juga ada kesudahannya. Ya, bukan mudah ia menata diri. Menemui kembali kisah masa lalu. Yang rupa-rupanya, tengah menikmati kehidupan baru. Lastri ....Benar-benar merasa tercampakkan. Terbuang.Juga dalam pesakitan. Ia ingin merebut kembali. Semuanya. Secara bertahap. Tanpa ada yang mengetahui.Harapannya hanya satu.Lebah penghisap madunya, turut merasakan pahit sama sepertinya. *** Di sudut ruangan. Sebuah televisi menyala. Menampilkan acara di dalamnya. Tampak pula gambar-gambar bergerak juga suara yang berbunyi. Namun, manusia di depannya justeru tak acuh. Menatap dengan pikiran kosong. Tahu bagaimana rasanya gelisah? Makan tak selera. Tidur tak nyenyak. Diliputi
Sudah satu minggu berlalu sejak kepindahan Lastri dan Rudi ke samping rumah Bram.Tak ada yang mencurigakan. Semua tampak baik-baik saja. Ya, begitulah yang terlihat sejauh ini. Semua berjalan normal. Bram, Lastri, Rudi dan Ibu mertua Inamah. Mereka sangat pandai bersandiwara.Menutup kebenaran yang ada. Tentang hubungan Bram dan Lastri di masa lalu. Juga status Hasan sebagai anak Bram.Seolah tak ada beban. Setiap hari, selalu Lastri bertegur sapa dengan Inamah. Tak jarang pula ia mendatangi rumah tetangganya itu. Berpura mengantar makanan. Ya, sandiwara yang sangat bagus untuk mengelabuhi seorang perempuan lugu yang tak mengerti apa-apa. Inamah.Sementara itu, Rudi, entah dari apa hatinya terbuat. Ia masih saja menikmati perannya. Sebagai suami Lastri. Meski terkadang ia terabaikan."Aku sudah memenuhi janjiku pada Bapak. Tidakkah lebih baik jika istri Bram diberi tahu kebenarannya?" Rudi menghela
Mas jangan seperti anak kecil. Inamah hanya bercanda." Inamah mendekat. Dipeluknya punggung sang suami dari belakang."Jangan pernah diulangi lagi, Dek. Mas nggak suka." Membalik posisi. Kini keduanya saling berhadapan. Bram menatap lembut. Menyisir pandangan ke seluruh permukaan wajah Inamah. Alis yang rapih. Dua mata dengan bulu-bulu yang lentik di sekelilingnya. Bibir tipis lagi menggemaskan. Cantik sekali. Dikecupnya kening sang istri. Lalu melesakkan kepalanya ke dalam dekapan. Begini sudah cukup menenangkan. Hati Bram tenang."Jangan pernah berpikir seperti itu, Dek. Mas nggak akan menikah lagi. Sekali pun kamu benar-benar mandul. Mas hanya ingin kita bisa bersama-sama. Selamanya." Membisik pelan. Kalimat yang Bram ucapkan mampu mengobati kegundahan hati Inamah selama ini. Pikirannya sudah terlalu jauh. Terbayang kalau benar ia mandul dan benar-benar tak bisa memiliki keturunan.
Inamah melepas mukenah dengan cepat. Menggantungkannya di tempat biasa. Tak lupa sajadah ia lipat. Merapikannya kembali. Bram bingung melihat tingkah istrinya yang tergesa-gesa. "Ayo, ikut aku, Mas." Inamah meraih tangan Bram. Menuju ke arah kamar mandi dekat mushala. Diraihnya sebuah benda dengan bungkus yang terbuka. "Aku positif hamil, Mas." Inamah menunjukkan sebuah benda berukuran satu ruas jari tangan. Ada dua garis merah di sana. Testpack. "Beneran ini, Dek? Beneran?"Tak kuasa lagi. Tumpah sudah air mata Bram. Hatinya begitu senang mendengar kabar kehamilan Inamah. Tak menyangka. "Padahal tak ada tanda-tanda kehamilan. Kenapa bisa, ya?" Masih tak percaya. Pun dengan Inamah. Ya, ia tak pernah tahu bisa seperti ini. "Jaga baik-baik, ya, Sayang." Dikecupnya kening Inamah. Dipeluknya erat sang istri. Bahagia tak terki