Keesokan harinya. Tepat hari Minggu pagi. Saat Bram sedang libur tak bekerja. Mentari di luar memang cerah, namun, mendung di hati Lastri belum juga ada kesudahannya.
Ya, bukan mudah ia menata diri. Menemui kembali kisah masa lalu. Yang rupa-rupanya, tengah menikmati kehidupan baru.Lastri ....Benar-benar merasa tercampakkan.Terbuang.Juga dalam pesakitan.Ia ingin merebut kembali. Semuanya. Secara bertahap. Tanpa ada yang mengetahui.Harapannya hanya satu.Lebah penghisap madunya, turut merasakan pahit sama sepertinya.***Di sudut ruangan. Sebuah televisi menyala. Menampilkan acara di dalamnya. Tampak pula gambar-gambar bergerak juga suara yang berbunyi.Namun, manusia di depannya justeru tak acuh. Menatap dengan pikiran kosong.Tahu bagaimana rasanya gelisah? Makan tak selera. Tidur tak nyenyak. DiliputiSudah satu minggu berlalu sejak kepindahan Lastri dan Rudi ke samping rumah Bram.Tak ada yang mencurigakan. Semua tampak baik-baik saja. Ya, begitulah yang terlihat sejauh ini. Semua berjalan normal. Bram, Lastri, Rudi dan Ibu mertua Inamah. Mereka sangat pandai bersandiwara.Menutup kebenaran yang ada. Tentang hubungan Bram dan Lastri di masa lalu. Juga status Hasan sebagai anak Bram.Seolah tak ada beban. Setiap hari, selalu Lastri bertegur sapa dengan Inamah. Tak jarang pula ia mendatangi rumah tetangganya itu. Berpura mengantar makanan. Ya, sandiwara yang sangat bagus untuk mengelabuhi seorang perempuan lugu yang tak mengerti apa-apa. Inamah.Sementara itu, Rudi, entah dari apa hatinya terbuat. Ia masih saja menikmati perannya. Sebagai suami Lastri. Meski terkadang ia terabaikan."Aku sudah memenuhi janjiku pada Bapak. Tidakkah lebih baik jika istri Bram diberi tahu kebenarannya?" Rudi menghela
Mas jangan seperti anak kecil. Inamah hanya bercanda." Inamah mendekat. Dipeluknya punggung sang suami dari belakang."Jangan pernah diulangi lagi, Dek. Mas nggak suka." Membalik posisi. Kini keduanya saling berhadapan. Bram menatap lembut. Menyisir pandangan ke seluruh permukaan wajah Inamah. Alis yang rapih. Dua mata dengan bulu-bulu yang lentik di sekelilingnya. Bibir tipis lagi menggemaskan. Cantik sekali. Dikecupnya kening sang istri. Lalu melesakkan kepalanya ke dalam dekapan. Begini sudah cukup menenangkan. Hati Bram tenang."Jangan pernah berpikir seperti itu, Dek. Mas nggak akan menikah lagi. Sekali pun kamu benar-benar mandul. Mas hanya ingin kita bisa bersama-sama. Selamanya." Membisik pelan. Kalimat yang Bram ucapkan mampu mengobati kegundahan hati Inamah selama ini. Pikirannya sudah terlalu jauh. Terbayang kalau benar ia mandul dan benar-benar tak bisa memiliki keturunan.
Inamah melepas mukenah dengan cepat. Menggantungkannya di tempat biasa. Tak lupa sajadah ia lipat. Merapikannya kembali. Bram bingung melihat tingkah istrinya yang tergesa-gesa. "Ayo, ikut aku, Mas." Inamah meraih tangan Bram. Menuju ke arah kamar mandi dekat mushala. Diraihnya sebuah benda dengan bungkus yang terbuka. "Aku positif hamil, Mas." Inamah menunjukkan sebuah benda berukuran satu ruas jari tangan. Ada dua garis merah di sana. Testpack. "Beneran ini, Dek? Beneran?"Tak kuasa lagi. Tumpah sudah air mata Bram. Hatinya begitu senang mendengar kabar kehamilan Inamah. Tak menyangka. "Padahal tak ada tanda-tanda kehamilan. Kenapa bisa, ya?" Masih tak percaya. Pun dengan Inamah. Ya, ia tak pernah tahu bisa seperti ini. "Jaga baik-baik, ya, Sayang." Dikecupnya kening Inamah. Dipeluknya erat sang istri. Bahagia tak terki
Membelah jalanan Kota Surabaya. Bram memfokuskan diri menyetir mobilnya menuju rumah sakit. Di depan sana, kendaraan saling menyalip satu sama lain. Beradu kecepatan. Bram menelan saliva. Ia mendadak gerah. Saat tanpa sengaja kedua matanya beradu pandang dengan Lastri. Dari pantulan kaca depan kemudi. Kedua pasang mata itu bertemu pandang. Tanpa sengaja. Ah, rasa yang telah lalu itu rupanya masih ada. Menarik diri. Bram lalu mengembuskan napas pelan. Ia menetralkan deguban jantungnya yang tak tahu diri. Bisa-bisanya saat keadaan tengah genting. Hatinya justru berdebar-debar. Duh. Dibukanya kancing krah kemeja paling atas. Melonggarkan dasi. "Cepat, Mas. Suhu badan Hasan makin panas!" Lastri setengah menjerit. Bram menoleh ke belakang. Benar, dilihatnya Hasan semakin lemas. Raut khawatir terpancar di wajah Bram. Kalau pun bukan anaknya. Bram tetap saja khawatir. Karena memang ia
Ani mengembus napas. Duh, pikirannya jadi bercabang. Dugaannya tentang Lastri dan Bram sepertinya tidak meleset. Mereka sudah mulai dekat. Tidak bisa dibiarkan! Ani menatap Inamah. Ada kebencian di wajah perempuan itu. Tapi, ada pula rasa tak tega di sana. Berdiri. Bangkit dari duduk. Ani tak lagi berkata apa-apa. Ia urungkan niatnya tadi. Meski sebenarnya sangat penting untuk dilakukan.Sebelum semuanya terlambat. "Ibu butuh sertifikat rumah untuk apa?" tanya Inamah. "Nggak jadi. Sudah. Lupakan. Ibu mau pulang saja." Jadi bingung sendiri. Setahu Inamah. Ibu mertuanya itu tak pernah berhubungan denga bank pegadaian. Jelas, tak mungkin jika Ani ingin menjadikan sertifikat rumah Bram sebagai jaminan hutang. Tapi ... surat berharga itu, mau diapakan?"Bu," panggil Inamah. Ani menoleh. Menatap lagi wajah menantunya itu. "Sebentar lagi Ibu akan me
"Aku tidak bisa jika terus seperti ini, Rud. Aku sudah punya keluarga sendiri."Bram mengembus napas pelan. Dipijitnya kening sendiri. Pusing mendera kepalanya. Terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini. Waktu selama dua puluh empat jam seakan kurang. Fisiknya pun turut merasa lelah. Terjebak dengan keadaan yang ia buat sendiri. Bram sedang berada di taman rumah sakit. Pulang dari kantor, ia langsung ke sana. Menyambangi Hasan, sesuai permintaan Lastri. Sebelum balik ke rumah, Bram berbincang sebentar bersama Rudi. Mencari solusi. Ia tidak ingin terus menerus seperti ini. Terlibat dalam rumah tangga Lastri dan Rudi. Hanya karena sebuah alasan. Kemarin, setelah hasil tes lab keluar. Hasan terpaksa harus rawat inap. Anak usia tiga tahun itu terserang demam berdarah. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit dan mendapat pertolongan."Iya, Mas. Aku juga ngerti. Tapi, Lastri ...,"Kalimat Rudi mengambang. Teringat ia bagai
Belum lagi drama ketika Lastri berjuang sendiri. Ah, Bram tak tega membuat luka di hati Inamah. Berjalan lesu menjejakkan kaki di teras rumah. Tepat di ambang pintu Inamah sudah berdiri menunggui. Seperti biasa. Saat Bram pulang kerja. Istrinya itu sudah siap di depan pintu. Menyambut kedatangannya. "Assalamualaikum," ucap Bram. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh." Inamah tersenyum. Lalu meraih punggung tangan suaminya itu. Mencium takzim. "Inamah sudah siapkan air hangat. Mas tinggal mandi saja." Inamah mengekor di belakang. Bram berjalan lebih dulu memasuki rumah. "Iya, Dek. Terima kasih," jawab Bram lesu. Duduk di kursi sambil melepas sepatu juga kaos kaki. Hati Bram gelisah. Ia berusaha memantapkan hati agar bisa jujur pada Inamah. Bagaimana pun, seperti kata Rudi tadi. Inamah harus tahu kebenarannya.Sementara itu, Inamah berjalan ke da
"Minta maaf untuk apa, Mas?" Bram nyaris terhenyak. Inamah membuka ke dua matanya. Rupanya terpejamnya tadi hanya pura-pura. Ya ampun! harus menjawab apa?"Bukan apa-apa, Dek. Jangan salah paham." Bram berkelit. Jantungnya berdegub kencang. Takut ketahuan. Ia tak ingin membahas Lastri. Belum saatnya. Ya, belum saatnya. Inamah menatap dalam. Menilai kejujuran dengan menyelami kedua mata suaminya yang bermanik hitam. Ada sedikit kecurigaan. Tapi, Inamah berusaha menepis. Penilaiannya semoga salah. "Mas minta maaf atas sikap Ibu. Mas bingung." Bram mencari alasan. Binggo! Jawaban itu masuk di akal dan hati Inamah. "Semoga saat anak kita lahir. Sikap Ibu bisa berubah sama Inamah." Menatap lembut. Jemari tangan Inamah mengusap pelan pipi Bram. Perempuan itu tak memiliki siapa pun. Hanya Bram yang ia punya di dunia ini. Tak perlu banyak kata untuk melukiskan betapa Inamah sangat mencint