Belum lagi drama ketika Lastri berjuang sendiri. Ah, Bram tak tega membuat luka di hati Inamah.
Berjalan lesu menjejakkan kaki di teras rumah. Tepat di ambang pintu Inamah sudah berdiri menunggui. Seperti biasa. Saat Bram pulang kerja. Istrinya itu sudah siap di depan pintu. Menyambut kedatangannya."Assalamualaikum," ucap Bram."Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh."Inamah tersenyum. Lalu meraih punggung tangan suaminya itu. Mencium takzim."Inamah sudah siapkan air hangat. Mas tinggal mandi saja."Inamah mengekor di belakang. Bram berjalan lebih dulu memasuki rumah."Iya, Dek. Terima kasih," jawab Bram lesu.Duduk di kursi sambil melepas sepatu juga kaos kaki. Hati Bram gelisah. Ia berusaha memantapkan hati agar bisa jujur pada Inamah. Bagaimana pun, seperti kata Rudi tadi. Inamah harus tahu kebenarannya.Sementara itu, Inamah berjalan ke da"Minta maaf untuk apa, Mas?" Bram nyaris terhenyak. Inamah membuka ke dua matanya. Rupanya terpejamnya tadi hanya pura-pura. Ya ampun! harus menjawab apa?"Bukan apa-apa, Dek. Jangan salah paham." Bram berkelit. Jantungnya berdegub kencang. Takut ketahuan. Ia tak ingin membahas Lastri. Belum saatnya. Ya, belum saatnya. Inamah menatap dalam. Menilai kejujuran dengan menyelami kedua mata suaminya yang bermanik hitam. Ada sedikit kecurigaan. Tapi, Inamah berusaha menepis. Penilaiannya semoga salah. "Mas minta maaf atas sikap Ibu. Mas bingung." Bram mencari alasan. Binggo! Jawaban itu masuk di akal dan hati Inamah. "Semoga saat anak kita lahir. Sikap Ibu bisa berubah sama Inamah." Menatap lembut. Jemari tangan Inamah mengusap pelan pipi Bram. Perempuan itu tak memiliki siapa pun. Hanya Bram yang ia punya di dunia ini. Tak perlu banyak kata untuk melukiskan betapa Inamah sangat mencint
"Ta-tadi, Ha-Hasan kritis, Mas." Lastri terbata berbicara. Disekanya kedua mata yang berair. Bekas menangis beberapa waktu yang lalu. Hampir dini hari dan Bram baru tiba di rumah sakit. Menerobos gelapnya langit karena rembulan yang tertutup awan. Dikemudikannya mobil dengan cepat. Ingin segera sampai dan tahu keadaan Hasan yang sebenarnya.Hati Bram benar-benar terbungkus kerisauan yang teramat sangat.Desau angin malam yang dingin, menemani sepanjang perjalanannya tadi. Hati Bram kalut, pikirannya bimbang. Wajah Hasan menari-nari di pelupuk matanya. Ia kepikiran.Tak peduli dengan Inamah yang kebingungan sendiri saat melihat tingkah Bram yang terburu-buru. Pria itu hanya fokus pada Hasan. Ya, hanya pada Hasan. *** Bram memijit keningnya dengan jari tangan kanan. Pening mendera. Tadi, begitu ia tiba. Dengan tergopoh-gopoh dan setengah berlari ia memasuki ruangan Hasan. Kelimpungan seperti orang yang hilang akal. Sebegitu takutnya ia. Mengingat sakit demam berdarah bukanlah satu
Ya, pria yang menyaksikan pemandangan tabu beberapa tahun silam adalah Rudi. Kembali riak wajahnya berkerut tak suka. Harapannya semakin patah. Remuk bersama hatinya yang berkeping. Benar, tak ada lagi tempat di hati Lastri. Dan tak ada pula kesempatan untuknya setelah ini. Sudah jelas bahwa Lastri memang berpura-pura. Hasan sama sekali tidak kritis. Rudi juga sudah menunggu di rumah sakit sejak tadi. Namun, Lastri menyuruhnya pergi membeli dua botol air mineral ukuram besar.Malam yang sangat larut membuat Rudi kesusahan. Karena tidak semua mini market buka selama dua puluh empat jam. Rumah sakit tempat Hasan menginap sedang mengalami renovasi besar-besaran. Juga pembangunan gedung baru. Yang menghalangi jalan menuju deretan warung pinggir rumah sakit.Rudi mengembus napas kasar. Terjawab sudah kenapa Lastri menyuruhnya bersusah payah membeli air mineral.Rupanya. Istri pura-piranya itu ingin bertemu Bram. Itu saja. *** Detik perlahan bergerak. Lamba
[Mas. Aku mau ke rumah. Kamu tunggu di ruang tamu, ya.]Satu pesan masuk dari nomor tanpa nama. Lastri. Bram tersenyum. Ia lalu bergegas menuju ruang tamu rumahnya. Berpura sedang menyalakan televisi. Inamah yang tengah menyiapkan air hangat untuk Kia mandi. Tak melihat gerak-gerik mencurigakan suaminya. Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum." terdengar suara seseorang dari balik daun pintu. Bram menoleh. Ya, itu adalah Lastri. Seperti pesannya tadi. Ia hendak bertamu ke rumah Inamah. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Iya?" Dibukanya pintu sambil menjawab salam dari dalam. Hati Bram berdesir kala kedua matanya menangkap satu wajah di ambang pintu. Lastri. Ia datang bersama Hasan. Perempuan itu tampak cantik dengan baju yang melekat di badannya. Pemberian Bram kemarin sore. Secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan Rudi maupun Inamah. "Mbak Inamahnya, ada?" tanya Lastri sambil tersipu. Ia tahu, Bram tengah memperhatikan dari atas kepa
"Dari mana kamu, Dek?"Tepat di ambang pintu. Rudi berdiri dengan muka memanas. "Nggak ada urusan sama kamu." Melenggang pergi. Tak menjawab pertanyaan Rudi. Lastri gegas memasuki kamar. Ingin menemui Hasan. Satu tarikan tangan membuat Lastri terhenti. "Ini apa?!" Rudi mendelik. Ditunjukkannya layar gawai yang menyala. Begitu banyak baris chat dari satu nomor tanpa nama. Lastri memicingkan ke dua matanya. Melihat dengan seksama. Dalam hati ia tersenyum. Tapi, mimikk wajahnya menunjukkan hal yang berbeda. "Ini nomor Mbak Inamah? Ya Allah. Dia godain, Mas?" Lastri terkejut. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar.Mendustai diri sendiri. Padahal ia dalang dibalik semuanya. "Jawab! Aku tahu Inamah bukan perempuan seperti ini. Kamu ... Kamu punya rencana apa untuk dia? Jawab!" Rudi setengah membentak. "Aku nggak tahu, Mas. Mungkin dia benar suka sama kamu." Lastri membela diri. Begitu banyak baris pesan yang Inamah kirim ke nomor Ru
Menyimpan dusta. Menjalin hubungan lain diatas pernikahan yang suci. Apa yang hendak diraih? Kepuasan semata. Mengikuti hawa nafsu sendiri. Sudah pasti merugi. Sungguh, tak ada yang menghentikan rasa ketidak puasan kecuali bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Tak akan pernah puas. Jika secuil rasa syukur, tak tersimpan dalam hati. Sebab, rasa itu akan terus menuntut untuk dipenuhi. [Seperti biasa. Aku tunggu di dekat lampu merah. Jangan lupa pamit sama Rudi.]Satu pesan terkirim. Ke nomor Lastri yang sudah Bram hafal di luar kepala. Tak pernah menyimpan nomor tersebut. Karena khawatir Inamah curiga dan memergokinya. [Oke.]Satu kata balasan dari Lastri. Cepat, bukan? Betapa kedua orang itu sangat keterlaluan. Mempermainkan sebuah pernikahan. "Mandi dulu, Mas." Inamah membisik lembut. Gerimis tipis siang hari membuat hasrat Bram ingin dipenuhi. Mereka baru saja memadu kasih."Nanti dulu, Sayang. Masih ingin bersama kamu." Meraih
Hujan lebat membasuh Kota Pahlawan. Malam beranjak semakin matang. Tampak sangat gelap karena rembulan tertutup awan. Angin dingin menerobos melalui celah-celah kecil jendela. Malam yang sangat dingin. Inamah tertidur pulas di atas ranjang. Ia kelelahan karena Kia sedikit rewel hari ini. Sore tadi, seperti kata Bram. Inamah akhirnya pergi ke rumah Ibu mertua. Seperti yang sudah-sudah. Ibu mertuanya itu lebih sering mendiamkannya. Meski berusaha terus berbakti. Namun, Inamah jarang sekali dibalas kebaikannya. Di sisi ranjang. Bram mengusap kepala Inamah. Dipandanginya perempuan yang sangat ia cintai itu dalam-dalam. "Maaf, Dek." Pelan bahkan nyaris tak terdengar. Bram mengucap dua kata itu. Bagaimana pun ia tahu apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Tapi, ia tak bisa memilih. Hatinya telah kembali terbagi. Merasakan sentuhan di kepalanya. Inamah lantas terbangun. Ia mengerjap pelan. "Belum tidur, Mas?" tanyanya saat melihat Bram s
[Mas Rudi sudah mentalakku. Ia pasti tergoda oleh istrimu itu. Lihat, betapa banyak pesan dan foto genit yang ia kirim ke pada Mas Rudi. Mungkin, bertukar pasangan adalah jawaban terbaik. Ceraikan Inamah, Mas. Berikan hakku secara utuh.] Satu pesan masuk di gawai Bram. Ia yang baru selesai mandi tampak sangat terkejut. Tak menyangka. Semalaman ia kepikiran. Karena Lastri dan Rudi mendadak meninggalkan rumah. Pindah tanpa sedikit pun berpamitan. Benarkah semua karena ulah Inamah? Bram bertanya dalam hati. Pada siapa? Entahlah. Ting!Ting!Ting!Ting! Bunyi gawai berdenting. Bertubi-tubi, dengan nomor yang Bram kenali. Rudi. Ada banyak sekali pesan yang masuk dari nomor pria itu. Dengam satu sentuhan, Bram membuka isi pesan di dalamnya. Matanya terbelalak. Dadanya bergemuruh. Panas. Didapatinya tangkapan layar berisi foto-foto Inamah juga baris chat yang seperti sengaja menggoda Rudi. Ia naik pitam. "Inamah? Sejak kapan kam