Halimah tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ia sedang memasak ketika Azzam menghubunginya, memintanya untuk segera menyusul ke rumah sakit tanpa memberitahu alasannya. "Lavender kamar nomor lima." Kaki tuanya sedikit terseok memperhatikan nomor ruang yang diberitahukan Azzam lewat pesan. Samar dapat wanita tua itu dengar tangisan dari salah satu bilik. Kakinya terus terayun, suaranya terdengar makin jelas, dan ternyata berasal dari kamar rawat yang ditujunya. Pemandangan sepasang suami istri yang sedang berpelukan menyapa indera penglihatan Halimah begitu ia berhasil mendorong pintu. "Aku pikir Ibu tidak akan datang." Azzam mengurai pelukannya. Hana yang tengah duduk di bed, masih belum bisa menghentikan tangisannya. "Ibu memang sudah tak menganggapmu sebagai anak, tetapi nurani Ibu sebagai sesama manusia yang sudah menggerakkan hati Ibu ke sini."Wanita tua itu mengedarkan pandangan, melihat Hana yang berbaring di ranjang pesakitan dengan jarum infus yang menancap di tangan m
Bulir bening melesat di wajah Chava demi melihat apa yang terjadi, perih tak terkira. Jantungnya serasa ditikam belati, terberai berdarah-darah dan sukar diobati."Orang yang tau bagaimana sakitnya dikhianati, biasanya tak akan melakukan hal yang sama. Tapi apa ini?" Chava menangis kencang melihat suaminya justru pergi bersama wanita yang telah mengkhianatinya. Tanpa perasaan Sakti meninggalkannya di sana seorang diri. Chava menjerit sekeras yang ia bisa. "Astaga, Sayang? Ada apa?"Peluh menitik di pelipis Chava, napasnya terengah. Wajahnya basah dan sisa tangis itu belum juga reda. Detik berikutnya Sakti mendekatkan diri, menyelimutinya dengan pelukan hangat. Pelukan itu terasa nyata, usapan lembut di punggung juga kecupan yang mendarat di pucuk kepalanya. Ketulusan yang tersalur meresap hingga sanubari. "Ada apa? Kamu mimpi buruk?" Sakti terhenyak saat tiba-tiba Chava menarik diri dari dekapannya. Telaga mata itu menyorotnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Mas, ini kamu?
Sakti memejam merasai wangi stroberi segar kala ia menghidu rambut Chava. Tinggi wanita itu yang hanya sebatas dada membuatnya leluasa mengamati sang istri yang kini tengah sibuk membuat simpul dasi pada kerah kemejanya. Pengalaman pertama Chava mengikat dasi, tetapi ternyata wanita itu begitu luwes melakukannya. Hasilnya pun tak kalah cantik, sehelai kain bermotif garis-garis itu menggantung indah melengkapi sempurnanya tampilan Sakti pagi ini. "Kamu sakit? Mas perhatikan dari tadi diam?" Menahan bahu Chava yang semula hendak pergi darinya. Ini hari pertama Sakti ke kantor, ia dipercaya menempati posisi penting yang memang sudah sepatutnya menjadi haknya sebagai ahli waris mendiang sang ayah. Kehidupannya dan istri berubah drastis manakala ia putuskan menerima ajakan Sinta menempati rumah itu. "Enggak. Cuma rasanya masih nggak habis pikir saja. Kita yang biasanya hidup seadanya di kontrakan, tiba-tiba berubah total menjadi ya ... Mas tau sendiri.""Tidak apa-apa, toh kamu dengar s
Sakti menyambar gelas di sudut meja kerjanya dan meneguknya sampai habis. Seharian ini dia langsung disibukkan dengan berbagai macam hal, ia bahkan terlambat menyantap makan siangnya dan tak sempat mengecek ponsel. Ia menghempaskan bobot di kursi kebesarannya sekembalinya dari ruang rapat, menghela napas sejenak sebelum kembali memeriksa tumpukan dokumen di meja. Tiba-tiba saja benda pipih yang sejak pagi ini dia abaikan, bergetar. Sakti menyipit melihat nama yang muncul pada layar lalu mengambilnya dengan cepat. "Kenapa, Oma? Oma baik-baik saja, kan? Sedang apa istriku sekarang?" Sakti memberondong neneknya dengan banyak pertanyaan. "Itu dia yang mau Oma bicarakan sama kamu. Ke mana saja kamu, dari pagi dihubungi tidak dijawab? Pesan Oma bahkan nggak dibalaa." Suara Sinta terdengar sarat akan kecemasan. "Maaf, Oma. Seharian ini aku sibuk menghadiri rapat dan mempelajari beberapa dokumen penting. Memangnya ada apa?""Istrimu, Nak. Dia
Mirna masih tak habis pikir, bagaimana bisa Chava dengan mudah mematahkan jebakan yang telah ia siapkan. Di antara banyaknya usaha, tak satu pun berhasil memerangkap wanita muda yang juga istri dari keponakannya itu. Mirna salah telah meremehkan Chava. Bukan kemenangan yang dia dapat, justru rasa malu. Sia-sia saja ia habiskan banyak uang dan tenaga kalau harus berakhir kecewa seperti ini. Menginjakkan kaki di rumah pukul lima sore, kaki Mirna rasanya mau patah. Chava balik mengerjai dengan mengajaknya terus berkeliling pusat perbelanjaan. "Mama dari mana saja? Katanya hari ini nggak ada kegiatan, tapi pulang sampai sesore ini.""Kamu itu sudah gadis, usiamu sudah pantas untuk berkeluarga. Jangan nempel terus sama Mama! Pergilah cari calon suami, atau mau Mama carikan jodoh?"Menikah dengan dilandasi cinta saja terkadang berakhir perceraian, apalagi dijodohkan. Pernikahan seperti itu sama sekali tak terbayang dalam benak Lea. Kalaupun menikah, dia sendiri yang akan memilih calonnya.
Tak ada yang bisa Sakti lakukan saat ini selain hanya pasrah mendengar tuduhan demi tuduhan yang dilayangkan Chava padanya. Wanita itu memang tak berontak ketika ia gendong dan baringkan ke kasur, tetapi mulutnya tak henti merepet meski wajahnya tampak pucat dan badannya lemas. "Kamu tadi ada salah makan, nggak? Atau bisa jadi masuk angin." Tangannya masih bergerak lembut membalurkan minyak kayu putih pada punggung sang istri. Seharian ini jadwal Sakti memang sangat padat, ada banyak hal yang harus dia urus, tapi dia seharian berada dalam ruangan berpendingin udara dan tak berkeringat sama sekali. Bisa Sakti pastikan tubuhnya tak bau seperti yang dituduhkan Chava. "Apa jangan-jangan gara-gara makan caviar ya, Mas?"Nyaris saja Sakti tersedak ludahnya sendiri usai mendengar perkataan Chava barusan. Meski kurang dari setahun usia pernikahan mereka, tetapi ia mulai paham betul apa-apa saja yang disukai Chava, pun sebaliknya. Terdengar aneh rasanya Chava mengkonsumsi caviar sedangkan S
"Mas." Chava menghambur memeluk suaminya begitu Sakti datang. Rasa takut yang semula bersarang dalam dada perlahan berkurang. Ya, Chava menemukan tempat yang tepat untuk membagi semua yang dirasakannya. "Oma, Mas." Bahu wanita itu makin bergetar, beberapa waktu belakangan ini hubungannya dengan Sinta memang sudah jauh lebih dekat. Tak ada lagi canggung atau sungkan, mereka benar-benar telah saling menerima kehadiran masing-masing. "Oma akan baik-baik saja. Beliau perempuan kuat dan hebat, sama sepertimu." Sakti merapatkan pelukan. Sepanjang perjalanan pulang pria itu tak tenang, khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada Chava tetapi Sakti tak mendapat jawaban setiap kali bertanya pada sang istri kecuali tangisan wanita itu. Sakti menghubungi Marni, dan barulah mengetahui alasan Chava menangis ketakutan memintanya cepat pulang. Sinta terpeleset ketika hendak ke kamar mandi, beruntungnya Chava datang untuk mengecek keadaan wanita tua itu hingga Sinta bisa secepatnya mendapatkan pertol
Terkadang seseorang ditakdirkan hadir dalam kehidupan orang lain bukan untuk menjadi bagian dari hidupnya, melainkan seperti penguji. Ya, penguji kehidupan. Sama seperti Azzam yang pernah sempat menempati ruang hati Chava, bagaimana Chava mengabdikan diri sepenuhnya tetapi kemudian ia dibuang. Hingga pada akhirnya, Azzam sampai pada titik penyesalan. Merayu wanita yang telah ia sia-siakan di masa lalu agar mau kembali padanya. Sayang, tak secuil pun cinta itu tersisa di hati Chava untuk mantan suaminya. Pun dengan Sakti. Kehadiran Mayang telah menjadi pelajaran hidup paling berharga untuknya. "Mobil pinjam dari mana? Kamu kan sudah miskin sekarang, jangan sok kaya. Kebanyakan gaya taunya ngutang sana sini ujung-ujungnya frustasi." Cibiran Rangga menusuk hingga jantung, tapi Sakti tak mau ambil pusing. Ia mengajak Chava berjalan menuju kedai bakso yang dipadati pembeli. "Jangan termakan apa pun yang dikatakan mereka, Yang. Tujuan kita ke sini buat makan, jadi jangan sampai kebersam