Aku tersentak ketika Ridwan tiba-tiba saja ada di sampingku. Dia rupanya berdiri dari posisinya duduk di atas karpet.“Ah, aku tersenyum pada sepupuku yang berjalan menuju gerbang bersama suaminya. Apa ada yang salah, Mas Ridwan?” elakku dengan menyunggingkan senyuman padanya.Aku melihat sorot tak percaya di mata Ridwan. Tiba-tiba dia berjalan keluar dengan tatapan ke arah gerbang. Memastikan kebenaran ucapanku. Aku yang melihat Siska masih berjalan ke arah sana, lantas panik. Khawatir kalau Ridwan akan nekat mengejar Siska ke sana. Tanpa pikir panjang, aku mencekal lengan Ridwan. Berusaha menahan pria itu agar tetap di dalam rumah. Setidaknya sampai Siska masuk ke dalam mobil Andi.“Lepaskan tanganku, Amanda! Kamu sengaja mencekal tanganku supaya aku nggak keluar, iya? Ternyata kamu sengaja menahan aku di sini agar Siska bisa pergi tanpa sepengetahuanku, begitu?”“Aku hanya ingin membantu temanku, Mas. Tolong pahami kalau Siska nggak mau didekati oleh kamu. Sudahlah, biarkan dia sen
Aku tersadar dan mendapati berada di dalam ruangan yang serba putih. Aku juga menghidu aroma obat-obatan. Aku mengerjapkan mata, sekedar memastikan apakah ini nyata ataukah ada di alam mimpi? Tanpa sadar tanganku bergerak ke samping. Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang kokoh. Aku menoleh ke arah benda itu, yang ternyata adalah lengan kekar Mas Haikal. Ternyata aku sedang tak bermimpi.Aku melihat suamiku yang tengah merebahkan kepalanya di tepi ranjang perawatan, dengan lengannya dia gunakan sebagai bantal. Suamiku tertidur rupanya.“Mas,” panggilku dengan suara pelan.Mas Haikal tak mendengarku. Dia tertidur pulas. Pasti lelah setelah menunggui aku yang tak sadarkan diri, entah sudah berapa lama. Aku lalu meraba perutku yang sudah tak membuncit lagi. Ah, anakku sudah lahir rupanya. Tapi, bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Atau....ah, tidak. Aku tak mau membayangkan hal yang buruk. Anakku baik-baik saja, dan sekarang ada di ruang bayi sedang mendapatkan perawatan kare
“Selamat ya, Amanda. Tadi kami sudah ke ruang rawat kamu, tapi kata suster kalau kamu dan suami sedang ke ruang bayi. Jadi kami menyusul kemari.”Seorang wanita yang sekarang ada di hadapanku dan Mas Haikal, dan bicara cukup panjang adalah Mira. Di sebelahnya, berdiri seorang wanita paruh baya yang belum pernah kujumpai sebelumnya.“Haikal, masih ingat sama Tante, kan?” ucap wanita paruh baya itu.“Iya, saya masih ingat. Tante kan dulu tetangganya ibu saya. Tante ini ibunya Ridwan, iya kan?” sahut Mas Haikal yang membuatku sedikit mengangguk, karena tebakanku ternyata benar.“Bisa kita bicara sebentar? Mungkin di ruang rawat Amanda. Biar lebih terjaga privasinya, bagaimana?” ujar ibunya Ridwan dengan senyuman dan tatapan yang terarah pada aku dan Mas Haikal.Aku dan Mas Haikal saling tatap, seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata kami. Aku akhirnya mengangguk dan tersenyum pada suamiku. Kode untuk setuju pada permintaan ibunya Ridwan. Aku penasaran dengan yang akan wanita itu uc
Aku menatap suamiku seraya berkata, “Menurut Mas Haikal sendiri, bagaimana enaknya?”Suamiku tertawa geli sambil mencolek pipiku yang kini lebih berisi, efek dari kehamilan sebelumnya.“Memangnya makanan, enak. Aku tanya kamu karena kamu yang mengalaminya, Sayang. Kalau kamu tanya aku, pasti jawabannya aku mau Ridwan dihukum karena perbuatannya itu membuat kamu kesakitan. Hana sekarang belum bisa kamu gendong karena masih berada di inkubator.”“Tapi, dia nggak sengaja lho, Mas. Beda seperti Melvin dulu yang memang ingin menghabisi kamu,” sahutku yang tiba-tiba merasa iba juga pada Ridwan, karena aku tahu pasti kalau aku terjatuh bukan Ridwan sengaja mendorongku.“Terus mau kamu bagaimana? Memaafkan dia?” tanya suamiku memastikan.Aku mengangguk lemah. “Sepertinya begitu, Mas. Nggak baik juga menanam kebencian di hati. Lebih enak hidup dalam damai. Lagi pula kita sebelumnya nggak punya masalah apa-apa kan dengan Ridwan dan keluarganya. Jangan sampai masalah ini menciptakan bibit permus
Kedua orang tua Ridwan akhirnya menganggukkan kepalanya, setuju dengan syarat yang suamiku ajukan.“Baik, kami setuju. Jadi enaknya bagaimana ini, Haikal. Kami memberi sekarang uang ini, atau menunggu total pembayarannya?” tanya ayahnya Ridwan dengan bibir yang bergetar.“Terserah Om saja, enaknya bagaimana? Mau dicicil sekarang sesuai dengan nominal itu, boleh. Mau sekalian nanti juga nggak apa-apa,” sahut Mas Haikal.“Kami perlihatkan dulu tagihan ini pada Ridwan. Ada yang perlu kami bicarakan padanya. Jujur, kami ingin membantu Ridwan, tapi kami juga sedang kesulitan keuangan saat ini. Makanya kami perlu diskusi dulu sama dia,” timpal ibunya Ridwan.Suamiku mengangguk, dan menatap kedua orang tua paruh baya itu secara bergantian.“Om dan Tante. Saya ke kantor polisi untuk mencabut gugatan itu setelah ada perjanjian tertulis di atas materai, bahwa Ridwan bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Sebelum itu, saya tak akan bereaksi ya, Om, Tante,” ucap suamiku.“Iya, Haikal. Om pa
Aku tersenyum dan mengangguk pada Mira yang berdiri sambil memilin jemarinya. Heran juga aku dibuatnya. Kenapa juga dia seperti itu? Memangnya aku seperti akan menggigitnya, sehingga dia sepertinya takut padaku.“Ayo, kita ke kamarku sekarang!” ajakku yang dia angguki. “Kamu sendirian saja kemari?”Aku melihat ke sekitar, tak ada satu orang pun yang datang bersama Mira.“Iya, Mbak. Aku memang sengaja datang kemari. Aku ijin nggak masuk ke kantor karena memang ada perlu sama Mbak Amanda,” sahutnya dengan senyuman canggung yang terbit dari bibirnya.Ternyata Mira seorang wanita karir. Oke lah kalau begitu. Setidaknya memang dia menang banyak di mata orang tua Ridwan, dibandingkan dengan Siska. Sepertinya orang tua Ridwan sudah mantap memilih Mira. Seorang wanita muda yang cantik, masih gadis, sarjana dan wanita karir pula. Tapi, semuanya itu tak cukup di mata seorang Ridwan, karena pria itu masih bersikeras mengejar sang mantan. Ridwan masih mengejar Siska yang berstatus janda, lulusan
Aku sangat senang karena sahabatku, Haikal, bersedia berdamai denganku. Aku pikir dia akan membenciku seumur hidup, karena ulah tak sengajaku pada istrinya. Kedua orang tuaku sudah menyampaikan padaku kalau Amanda dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja, meskipun bayi Amanda harus berada di inkubator karena lahir prematur.Aku menyanggupi syarat yang diminta Haikal agar dia mencabut tuntutannya pada diri ini. Aku tak masalah untuk membayar tagihan rumah sakit yang nominalnya sangat fantastis. Baru tiga hari Amanda dan bayinya dirawat di rumah sakit, tagihannya sudah mencapai lima ratus juta. Bagaimana sampai mereka keluar dari rumah sakit? Entah berapa totalnya? Mengingat rumah sakit tempat Amanda dan bayinya dirawat, adalah rumah sakit elite. Untuk Amanda sendiri yang menjalani operasi caesar, biasanya paling cepat lima hari baru diperbolehkan pulang oleh dokter. Sedangkan untuk bayi mereka, baru boleh keluar dari inkubator dan dibawa pulang setelah berat badannya normal. Entah kapa
Haikal telah membuatku mati kutu. Aku sangat malu saat ini. Apalagi Amanda juga memperhatikan diri ini dengan tatapan menyelidik. Aku seperti seorang terdakwa yang sedang berada di kursi pesakitan peradilan. Kulirik Mira yang masih menundukkan wajahnya.“Mir, sebaiknya kita bicarakan di rumah. Ini masalah pribadi kita, jadi jangan membahas di sini. Nggak enak dong masalah pribadi diumbar di depan orang lain,” ucapku dengan tangan yang terulur ke pundaknya. Kuusap pundak Mira hingga ke punggungnya.“Nggak apa-apa di sini saja kita bahas dan selesaikan, Mas. Soalnya kalau nggak begini, kamu tetap saja mengejar perempuan itu, iya kan?” sahut Mira tanpa mau menatapku.Deg.Aduh, si Mira ini benar-benar deh. Masak mau selesaikan masalah di depan Haikal dan Amanda sih. Biarpun aku mengenal Haikal, tetap saja malu dong. Tapi, Mira tetap pada pendiriannya sehingga mau tak mau aku menurutinya.“Ya sudah sekarang mau kamu gimana, Mir?” tanyaku lembut, berusaha membuat hatinya tenang.“Aku mau k