Kedua orang tua Ridwan akhirnya menganggukkan kepalanya, setuju dengan syarat yang suamiku ajukan.“Baik, kami setuju. Jadi enaknya bagaimana ini, Haikal. Kami memberi sekarang uang ini, atau menunggu total pembayarannya?” tanya ayahnya Ridwan dengan bibir yang bergetar.“Terserah Om saja, enaknya bagaimana? Mau dicicil sekarang sesuai dengan nominal itu, boleh. Mau sekalian nanti juga nggak apa-apa,” sahut Mas Haikal.“Kami perlihatkan dulu tagihan ini pada Ridwan. Ada yang perlu kami bicarakan padanya. Jujur, kami ingin membantu Ridwan, tapi kami juga sedang kesulitan keuangan saat ini. Makanya kami perlu diskusi dulu sama dia,” timpal ibunya Ridwan.Suamiku mengangguk, dan menatap kedua orang tua paruh baya itu secara bergantian.“Om dan Tante. Saya ke kantor polisi untuk mencabut gugatan itu setelah ada perjanjian tertulis di atas materai, bahwa Ridwan bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Sebelum itu, saya tak akan bereaksi ya, Om, Tante,” ucap suamiku.“Iya, Haikal. Om pa
Aku tersenyum dan mengangguk pada Mira yang berdiri sambil memilin jemarinya. Heran juga aku dibuatnya. Kenapa juga dia seperti itu? Memangnya aku seperti akan menggigitnya, sehingga dia sepertinya takut padaku.“Ayo, kita ke kamarku sekarang!” ajakku yang dia angguki. “Kamu sendirian saja kemari?”Aku melihat ke sekitar, tak ada satu orang pun yang datang bersama Mira.“Iya, Mbak. Aku memang sengaja datang kemari. Aku ijin nggak masuk ke kantor karena memang ada perlu sama Mbak Amanda,” sahutnya dengan senyuman canggung yang terbit dari bibirnya.Ternyata Mira seorang wanita karir. Oke lah kalau begitu. Setidaknya memang dia menang banyak di mata orang tua Ridwan, dibandingkan dengan Siska. Sepertinya orang tua Ridwan sudah mantap memilih Mira. Seorang wanita muda yang cantik, masih gadis, sarjana dan wanita karir pula. Tapi, semuanya itu tak cukup di mata seorang Ridwan, karena pria itu masih bersikeras mengejar sang mantan. Ridwan masih mengejar Siska yang berstatus janda, lulusan
Aku sangat senang karena sahabatku, Haikal, bersedia berdamai denganku. Aku pikir dia akan membenciku seumur hidup, karena ulah tak sengajaku pada istrinya. Kedua orang tuaku sudah menyampaikan padaku kalau Amanda dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja, meskipun bayi Amanda harus berada di inkubator karena lahir prematur.Aku menyanggupi syarat yang diminta Haikal agar dia mencabut tuntutannya pada diri ini. Aku tak masalah untuk membayar tagihan rumah sakit yang nominalnya sangat fantastis. Baru tiga hari Amanda dan bayinya dirawat di rumah sakit, tagihannya sudah mencapai lima ratus juta. Bagaimana sampai mereka keluar dari rumah sakit? Entah berapa totalnya? Mengingat rumah sakit tempat Amanda dan bayinya dirawat, adalah rumah sakit elite. Untuk Amanda sendiri yang menjalani operasi caesar, biasanya paling cepat lima hari baru diperbolehkan pulang oleh dokter. Sedangkan untuk bayi mereka, baru boleh keluar dari inkubator dan dibawa pulang setelah berat badannya normal. Entah kapa
Haikal telah membuatku mati kutu. Aku sangat malu saat ini. Apalagi Amanda juga memperhatikan diri ini dengan tatapan menyelidik. Aku seperti seorang terdakwa yang sedang berada di kursi pesakitan peradilan. Kulirik Mira yang masih menundukkan wajahnya.“Mir, sebaiknya kita bicarakan di rumah. Ini masalah pribadi kita, jadi jangan membahas di sini. Nggak enak dong masalah pribadi diumbar di depan orang lain,” ucapku dengan tangan yang terulur ke pundaknya. Kuusap pundak Mira hingga ke punggungnya.“Nggak apa-apa di sini saja kita bahas dan selesaikan, Mas. Soalnya kalau nggak begini, kamu tetap saja mengejar perempuan itu, iya kan?” sahut Mira tanpa mau menatapku.Deg.Aduh, si Mira ini benar-benar deh. Masak mau selesaikan masalah di depan Haikal dan Amanda sih. Biarpun aku mengenal Haikal, tetap saja malu dong. Tapi, Mira tetap pada pendiriannya sehingga mau tak mau aku menurutinya.“Ya sudah sekarang mau kamu gimana, Mir?” tanyaku lembut, berusaha membuat hatinya tenang.“Aku mau k
Aku tersentak mendengar suara Mira yang cukup lantang. Apalagi dia mulai menangis lagi sambil memukuli bahuku.“Kamu tega sekali sih, Mas. Di depanku ini kamu sanggup mengucapkan nama perempuan itu. Kamu jahat! Kalau kamu sudah memutuskan untuk menikahi aku, lupakan dia dong. Aku nggak mau ada nama perempuan lain di hati kamu. Nggak enak tahu, Mas, kalau hati kamu ini berisi dua orang perempuan. Sesak rasanya. Bayangkan saja kalau ruangan yang harusnya nyaman diisi oleh dua orang, tapi ternyata ada satu orang lagi yang ikut menempati ruangan itu. Sempit kan rasanya ruangan itu kalau diisi oleh tiga orang sekaligus. Begitu juga dengan hati kamu,” ucap Mira yang membuat aku tertegun. Ternyata dia bisa juga memberikan perumpamaan hatiku dengan suatu ruangan. Ajaib memang si Mira ini.“Mir, tenang dulu dong. Aku tadi sempat melihat Siska melintas di tempat penyeberangan itu. Dia berjalan santai di sana. Aku spontan saja menyebutkan namanya karena terkejut,” sahutku beralasan karena memang
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Mira. Aku sentuh pipinya yang mulus dan kuhapus sisa air mata yang masih ada di sana.“Kita masuk ke dalam dan ngomong sama orang tua kamu, ya,” ucapku berbisik.“Tapi, Mas nggak merasa terbebani kan menikahi aku?” sahutnya memastikan diri ini. Lucu juga kalau dia mengajukan pertanyaan seperti itu, di saat aku sudah memutuskan memilih dia. Meski sekeping hati masih tertinggal di palung hatiku.“Apa aku terlihat seperti terbebani?” ucapku balas bertanya padanya.“Sepertinya sih nggak. Cuma aku kan nggak tahu isi hatinya Mas Ridwan,” sahutnya lirih.Aku iba juga melihatnya. Memang belum ada cinta di hatiku untuk Mira pada saat ini. Namun, aku yang sudah memutuskan memilih dia, berusaha membuka hati untuknya mulai saat ini. Lagi pula, Mira sudah menyerahkan miliknya yang paling berharga padaku. Jadi sudah sewajarnya aku menerimanya, bukan. Sehingga, aku dekatkan wajahku ke wajahnya dan kucium pipinya dengan lembut. Dia tersentak dengan perla
Aku bergegas menghampiri Siska. Begitu juga dengan sopir taksi, yang mengangkat motor Siska dan membawanya ke pinggir jalan. Sementara beberapa orang yang melintas, ada yang berhenti dan melihat kejadian ini. Ada beberapa orang yang membantu, dan ada juga yang hanya menonton.“Pak, tolong dicek dulu motornya. Apakah ada kerusakan parah? Kebetulan itu ada bengkel. Kalau ada kerusakan parah, dibawa ke sana saja. Nanti saya yang urus biayanya. Teman saya ini, saya naikkan ke mobil ya, Pak. Setelahnya, antar saya ke rumah sakit terdekat.” Aku menitah pada sopir taksi itu. Pria itu menganggukkan kepalanya dan segera menuruti apa yang aku katakan tadi. Mungkin dirinya juga merasa bersalah karena motor Siska terserempet dengan mobilnya. Tapi, entahlah bagaimana kejadian yang sebenarnya karena aku tadi tak melihat, aku sedang memejamkan mata.“Pak, setang motornya bengkok. Kaca spionnya juga pecah. Terus lampu depannya juga pecah. Apa ditaruh di bengkel itu?” katanya dengan wajah gusar. “Oh i
Aku akhirnya membawa pulang Siska dengan memesan taksi online kembali. Sepanjang perjalanan, kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba Siska mengeluarkan suaranya, memecah keheningan di antara kami.“Oh iya, motorku ke mana, Mas?” tanya Siska dengan suara cemas. Sebelumnya Siska memang tak tahu tentang motornya. Saat aku berbincang dengan sopir taksi tadi, Siska kurang menyimak karena masih syok dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya.“Aku taruh di bengkel yang ada di dekat lokasi kecelakaan tadi, Sis. Kamu tenang saja. Biar aku yang mengurus semuanya. Kamu setelah tiba di rumah, harus istirahat. Dagang mpek-mpeknya ditunda dulu saja, ya. Pentingkan kesehatan kamu dulu,” sahutku dengan senyuman.“Tapi, apa nggak usah repot-repot, Mas. Biar nanti adikku yang mengurus semuanya setelah dia pulang kuliah nanti. Bisa aku minta bon dari bengkel itu?”Aku sontak menggeleng. Tentu saja aku menolaknya karena kalau aku serahkan bon itu, maka hilang harapanku unt