Tante Ruth resah melihat Sarah duduk santai di ruang tengah rumahnya. Sekalipun ingin dia usir, tapi wanita itu hadir atas undangan sang anak.Dia melirik ke dalam, memastikan anaknya tidak ada, baru setelahnya bicara, "saya heran sama kamu, masih berani datang ke sini."Sarah memasang wajah santun. Dia berdiri dari sofa, lalu menjelaskan, "Sarah diundang kok ke sini sama anak bungsu Tante.""Awas saja kalau kamu memanfaatkan Monica agar kamu bisa dekat-dekat dengan kami lagi.""Tante, masa masih marah sih sama Sarah? Sarah sudah mengembalikan uang Tante 'kan.""Kan sudah saya bilang sebelumnya, saya masih nggak bisa terima sama kelakuan kamu dulu itu. Kamu mempermalukan saya. Padahal saya serius mau menjodohkan kamu sama keponakan saya, tapi kamu malah minggat sebelum kenalan sama dia."Sarah mendekati wanita itu, lalu memegangi tangannya. Dia bertingkah layaknya anak yang ingin minta maaf ke sang ibu. "Tante, Sarah paham kenapa Tante sebel banget sama Sarah. Sarah menyesal sudah per
Mario dan Vena pulang ke rumah tak lama setelah menyelesaikan makan malam romantis mereka.Mario menghempaskan diri di atas ranjang. Dia menghela napas panjang, pertanda betapa lelah dia.Sementara itu, Vena duduk di pinggiran ranjang sembari melepaskan sepatu yang dikenakan pria itu. Dia menegur, "Mas, jangan kebiasaan langsung hempas ke ranjang padahal masih pakai sepatu!""Maaf, Sayang, aku kangen banget sama ranjang kita," sahut Mario yang sudah seperti anak kecil. Dia membelai-belai sprei dengan gembira seolah sudah lama tak disentuh."Aduh, jadi iri sama ranjang."Mario tergelak. "Bisa saja kamu."Vena masih sibuk melepaskan sepatu Mario. "Tapi, kamu ini kadang kayak anak-anak. Nggak sadar umur sudah di atas tiga puluh tahun?""Bodoh amat, jadi dewasa itu capek, tuntutan ini-itu, nggak kelar-kelar. Coba kita ketemu sejak dari sekolah, Sayang— pasti kita punya lebih banyak waktu buat pacaran." Mario memandang langit-langit, membayangkan apa jadinya jika mereka bertemu saat remaja
Esok harinya, Vena bangun lebih awal ketimbang Mario. Dia melakukan aktifitas lain, sebelum akhirnya masuk ke dapur.Di sana, dia melihat beberapa asisten rumah tangga yang tengah bersih-bersih, membersihkan sayuran, dan bersiap untuk membuat sarapan.Begitu melihat Vena, salah satu dari mereka alias Bu Mina, menyambut, "Nyonya, sudah bangun? Mau dibuatkan apa?""Tolong buat teh mawar biasanya, Bu." Vena menjawab sembari menarik kursi meja makan, kemudian diduduki. Dia menambahkan, "...tanpa gula.""Baik, Nyonya."Usai berkata demikian, wanita tersebut mengambil panci, dimasukkan air dari kran wastafel. Baru, setelahnya direbus di atas kompor tanam."Oh iya ..." Vena ingin memastikan, "Bu Mina, hari ini menunya yang bilang kemarin 'kan?""Iya, Nyonya. Kari ayam.""Untuk makan malam, saya saja yang masak, Bu."Bu Mina kaget. Dia tahu kalau Vena selalu dapat masalah jika ikut urusan dapur. Karena hal tersebutlah, dia menggelengkan kepala. "Nggak usah, Nyonya, biar saja saya sama yang la
Tidak ada kegiatan. Tidak ada rapat. Tidak ada pekerjaan lagi. Mario pulang lebih awal begitu sudah terbebas dari rutinitas di kantor. Dia melepas jas, sepatu, kemudian ambruk di atas ranjang dengan posisi tengkurap. Vena datang ke kamar. Dia tersenyum melihat sang suami. "Begitu sampai kamar, langsung jatuh ke kasur, ya?" "Capek," sahut Mario dengan nada manja. Dia berpaling ke arah Vena, lalu berkata lagi, "aku mau bobok siang sebentar. Sudah lama nggak bobok siang. Hidup susah banget ... malam melayani istri, pagi kerja keras." Vena tertawa. Dia menggodanya dengan berkata, "ya kalau nggak mau, jangan melayani istri kalau malam." "Nggak bisa." Mario menoleh untuk melihat istrinya. Dia ikut tertawa sedikit. "Masalahnya kegiatan malam sama istri itu walaupun bikin lelah tapi nikmat." "Dasar kamu ini." Mario kembali membenamkan wajah di bantal. Vena menawarkan, "mau dipijat dulu, nggak?" "Serius?" "Iya, dong." "Mau banget." "Kalau begitu buka baju." Mario segera bangun se
Malam harinya.Vena sudah selesai menyajikan berbagai contoh ayam panggang madu resep pribadi di atas meja. Dia sudah berdiri di sebelah meja, tersenyum pada sang suami yang baru masuk ke ruang makan.Pria itu mencium aroma enak sampai perut bergemuruh lapar. Dia bertanya, "dari tadi sudah nggak tahan pengen ke sini, kamu masak apa ini, Sayang?""Kejutan!" Vena sumringah sembari memperlihatkan masakan di atas meja. "Aku buat ayam panggang madu, tapi dibantu Bu Mina, sih.""Ini kejutannya?""Iya, ini aku buat dari resep pribadiku. Coba deh kamu rasakan, cocok nggak kalau ditaruh di restoran nanti."Mario antusias, lalu duduk. Dia terkejut tatkala Vena menaruh serbet di atas pangkuannya, kemudian mulai megambil potongan ayam panggang, dan ditaruh di atas piring.Dia heran. "Oh apa ini? Kamu kok tiba-tiba melayani aku begini?""Kenapa kaget? Kan istri memang berkewajiban memanjakan suami." Vena tersenyum lebar. Suasana hatinya sedang baik. Alhasil, aura di wajahnya seolah bersinar."Bisa
Tamu tak diundang itu berhenti di hadapan mereka. Suasana hati Mario langsung memburuk. Dia tidak mengira akan mendengar suara sang bibi secara tiba-tiba lagi. Dengan sopan, dia menegur, "Tante ini bisa nggak kalau ke sini itu minimal mengabari dulu, jangan main masuk rumah begini." "Kok kamu ngomongnya begini sekarang?" Tante Ruth kaget. Dia merasa sang keponakan makin berani terhadapnya. "Biasanya kamu nggak pernah ngomel kalau Tante ke rumah kamu. Ini juga rumah Tante 'kan? Ngapain kamu sekarang sok melarang-melarang Tante ke sini tiba-tiba?" "Siapa yang ngomel? siapa yang melarang? Mario bilang kabari dulu. Mario sekarang sudah menikah, Tante." "Iya, iya, lain kali Tante bakalan ijin sama Nyonya besar saja. Boleh 'kan, Nyonya Vena?" Tante Ruth mengalihkan pandangan ke Vena. Nada bicaranya sangat jelas sedang sarkas. Tetapi, Vena tersenyum dan mengangguk. Dia berkata, "Tante 'kan sudah seperti mertua Vena, jadi kapan saja bisa datang, kok." Tante Ruth seperti risih dipanggil
Dua hari kemudian, acara pertemuan keluarga pun datang.Vena mengenakan dress yang cukup sopan dan kasual. Di lehernya juga melingkar kalung pemberian Mario.Mario sibuk membaca pesan di ponsel. Kening mengerut heran. Setelah beberapa menit berlalu, dia mengantongi HP di saku celana, lalu berkata ke sang istri, "acaranya nggak jadi di rumah Tante, tapi di gedung meeting milik Om.""Gedung meeting? jauh?""Nggak juga." Mario melihat jam tangannya, tersadar sudah hampir malam. "Mending kita berangkat sekarang sebelum makan malam barengnya dimulai, daripada terlalu telat nanti mengomel lagi Tante."Vena mengangguk.Keduanya naik ke dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi alias Pak Hardi. Mereka diantarkan menuju ke gedung yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, Vena sedikit tegang, dan bertahan hingga sudah tiba di lokasi tujuan.Vena melihat bangunan besar layaknya hotel, hanya saja tidak terlalu tinggi. Tidak terpasang nama apapun tentang bangunan ini, pagar pun tinggi seolah-ola
Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?""Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?""Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "