Dua hari kemudian, acara pertemuan keluarga pun datang.Vena mengenakan dress yang cukup sopan dan kasual. Di lehernya juga melingkar kalung pemberian Mario.Mario sibuk membaca pesan di ponsel. Kening mengerut heran. Setelah beberapa menit berlalu, dia mengantongi HP di saku celana, lalu berkata ke sang istri, "acaranya nggak jadi di rumah Tante, tapi di gedung meeting milik Om.""Gedung meeting? jauh?""Nggak juga." Mario melihat jam tangannya, tersadar sudah hampir malam. "Mending kita berangkat sekarang sebelum makan malam barengnya dimulai, daripada terlalu telat nanti mengomel lagi Tante."Vena mengangguk.Keduanya naik ke dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi alias Pak Hardi. Mereka diantarkan menuju ke gedung yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, Vena sedikit tegang, dan bertahan hingga sudah tiba di lokasi tujuan.Vena melihat bangunan besar layaknya hotel, hanya saja tidak terlalu tinggi. Tidak terpasang nama apapun tentang bangunan ini, pagar pun tinggi seolah-ola
Kehadiran Sarah sangat mengejutkan Vena dan Mario. Iya, terutama Vena— dia sangat tidak nyaman dengan kehadirannya. Setelah kebohongan dibuat, kenapa wanita itu diperbolehkan ke sini oleh Tante Ruth. Belum reda perasaan kaget mereka, mendadak ada lagi yang datang, dan itu adalah mantan suami Vena. Melihatnya datang langsung mengundang kejengkelan di hati Mario. Dia mendekati mereka semua, lalu menoleh ke sang bibi. "Tante, ngapain mereka ada di sini? terutama pria ini?" Dia bertanya sembari menuding wajah Daniel. Dengan santainya, Tante Ruth menjawab, "Tante yang mengundang, bagaimana pun masalah kamu sama Daniel ini sudah selesai, jadi nggak ada salahnya mengundangnya juga." "Ini acara keluarga, Tante." "Ya terus?" "Mereka bukan keluarga." Perdebatan ini membuat Daniel menyeringai. Tetapi, dia menahan diri agar tidak tertawa. Dia sempat melirik Vena yang masih mematung di tempat yang sama. Dia bisa tahu mantan istrinya tersebut syok dengan kehadirannya setelah apa yang terja
Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?""Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?""Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "
Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan. Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil."Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di la
Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas. Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa."Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?""Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika." "Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?" "Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."Tanpa m
Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis.Iya, seperti sekarang.Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat."Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena.Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?"Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi.Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!""Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?""Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terim
Daniel dan Bianka masih mematung di tempat. Keduanya tidak percaya dengan perkataan orang asing yang mengatakan kalau Vena adalah istrinya.Masih tidak percaya, Daniel bertanya, "siapa kamu? Datang-datang ikut campur urusan orang. Istri mana yang kamu maksud?"Orang yang diajak bicara berhenti di sebelah Vena. Dia meraih telapak tangan wanita itu, kemudian menjawab, "nama saya Mario, saya suami dari Vena."Nada bicaranya dipenuhi perasaan geram. Dia sudah tahu sebagian kelakuan busuk Daniel dan Bianka terhadap sang istri di masa lalu.Ia melanjutkan, "jadi, ada urusan apa kalian sama istri saya? Berani-beraninya kalian bicara kasar sama dia di tempat umum begini? Apa salahnya?"Tak hanya Daniel, Bianka pun tidak percaya kalau Vena bukan janda lagi, padahal baru berpisah beberapa bulan. Dia menyindir Vena, "baru juga jadi janda, sudah nikah lagi?""Apa urusannya sama kamu aku sudah nikah atau belum? Aku sama Dani juga sudah resmi cerai," sergah Vena cepat."Nggak apa-apa, tapi itu suda
Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana. Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami."Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?""Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah.""Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!"Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masi