Share

03. Pandangan Pertama

Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.

Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas.

Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa.

"Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?"

"Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika."

"Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?"

"Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."

Tanpa menunggu lama, sopir itu mendekat, lalu mulai memindahkan kotak-kotak nasi ke dalam mobil.

"Eh ... Mas Mario ..." Vena membuka obrolan lagi dengan basa-basi, "Mas ini suaminya Ibu Erika?"

"Bukan," balas Mario cepat, tak mau disalahpahami. Dia meralat, "saya masih single, belum menikah."

"Oh ..." Vena gugup. Dia sendiri heran, dari semua pertanyaan basa-basi, kenapa malah bertanya hal pribadi begitu?

Mario ikutan gugup sampai mendehem, lalu menambahkan, "Erika itu cuma sekretaris saya, nggak ada hubungan apa-apa. Dia juga sudah menikah, sudah punya anak."

Dia seperti ingin menegaskan bahwa dia tak dimiliki wanita manapun.

Vena memperhatikan Mario lagi. Dia menduga kalau pria itu bukan pria sembarangan.

Dari penampilan saja sudah menunjukkan sisi elegan, semua barang yang melekat di tubuhnya juga mewah dan berkelas.

"Mas ini kayaknya orang penting, ya? Kok Mas nggak menyuruh orang saja buat ambil orderan? Mas nggak sibuk?" Dia penasaran.

"Oh itu ... Nggak, nggak sibuk sama sekali." Mario mustahil mengaku kalau ingin melihat Vena lebih dekat. Dia juga sangat jelas sibuk bukan main sampai tak ada waktu ganti baju kasual. Dia memberi alasan, "... sebenarnya saya yang melihat iklan katering kamu di internet, saya langsung kenal kalau kamu itu anaknya Pak Wildan."

"Kenal sama Ayah?"

"Iya dulunya, jadi saya tertarik buat order katering kamu sekalian silahturami."

"Oh, gimana ceritanya bisa kenal sama Ayah?"

"Mau ke kafe dekat sini, nggak? Nanti saya ceritakan semua kenapa bisa kenal Ama Ayah kamu. Kalau di rumah kamu, kurang etis berduaan saja." Mario meneguk ludah usai berkata demikian.

Dia benar-benar gugup menanti jawaban tawarannya. Sekalipun sudah tua, tapi dia kelihatan seperti remaja yang baru merasakan cinta.

"Boleh." Bibir Vena melukiskan senyuman.

Senyuman itu mendebarkan jantung Mario dalam sekejap. Dia terpesona oleh senyuman itu.

Selang beberapa detik, dia menoleh ke sopir tadi, lalu memberi perintah, "Pak, langsung kirim saja, setelah itu jemput saya setelah jam makan siang."

Pak Sopir mengangguk patuh.

***

Kafe yang didatangi cukup dekat dan bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Vena duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela, sementara Mario sibuk antri di meja pemesanan.

"Tempat ini ..." Vena bicara sendiri dengan suara gundah. Kedua mata terfokus keluar jendela, melihat kendaraan bermotor memenuhi jalanan.

Dia sebenarnya tidak ingin berada di kafe ini. Iya, kafe yang menyimpan sejuta kenangan bersama Daniel sejak masih pacaran.

Tak berselang lama, seorang wanita tak asing masuk ke dalam kafe tersebut.

Bianka.

Wanita itu begitu kaget usai mengetahui keberadaan Vena.

Tanpa basa-basi, dia segera menghampiri mejanya, lalu mengomel, "Loh, kamu? Kamu pasti tahu kalau Mas Dani sering ke sini buat beli donat 'kan?"

"Bianka?" Vena terkejut pula melihat wanita itu. Dia berdiri sambil membalas, "apa-apaan sih kamu? Kamu ngapain datang-datang terus mengomel?"

"Jawab pertanyaanku, kamu yang ngapain ke sini? Berharap ketemu Mas Dani? Begitu?"

"Rumahku ada di dekat sini."

"Nanti aku bakalan bilang ke Mas Dani buat hati-hati soalnya kamu jadi stalker sekarang. Dengar ya, kami akan menikah Minggu depan, jangan bikin ulah."

"Kamu sudah ambil semuanya dariku, kalau kamu percaya diri, harusnya nggak perlu setakut ini."

"Siapa bilang aku takut? Takut apa? Takut dia takluk sama kamu lagi? Ya, nggak mungkin."

"Sesuatu yang didapat dengan cara nggak baik, pasti nanti akan mudah hilang. Sesuatu yang dicuri dari orang lain, pasti akan dicuri lagi. Pria murahan itu gampang tergoda oleh wanita lain. Ingat itu."

"Itu cuma omongan sok puitis dari wanita menyedihkan yang ditinggal suami. Sudah ngaca belum? Aku bukan mencuri Mas Dani, tapi dia yang datang sendiri. Aku ini cantik, wajar dong dia tergila-gila sama aku?"

"Yaudah, sana pergi."

"Aku peringatkan sekali lagi, awas kalau sampai kamu ada di tempat-tempat di mana ada Mas Dani."

"Aku sudah bilang ke sini bukan buat nunggu dia, lagian aku sama orang lain. Dia sedang memesan minuman untuk kami." Vena menengok ke arah meja pemesanan.

Bianka ikut melihat ke sana. Ada beberapa orang yang masih antri. Perhatian terpusat ke pria bertubuh kerempeng dalam antrian paling belakang.

Dia mengejek, "oh ceritanya lagi pendekatan sama Mas-Mas pedagang asongan? Gaya banget kalian mainnya di kafe begini? Kenapa nggak warung saja? Ngopi doang di sini mahal, loh. Nggak kasihan kamu sama dia? Jangan disamakan sama mantan suami kamu yang bos, dong."

"Kalau sudah selesai ngomong, pergi saja sana. Aku capek meladeni kamu."

"Sebelum pergi, mau ngasih tahu sesuatu— aku sama Mas Dani nanti bulan madu ke Amerika. Kamu nggak pernah 'kan diajak liburan ke luar negeri? Sekarang tahu bedanya kamu sama aku? Mas Dani memperlakukan kamu seperti pembantu, sedangkan aku seperti ratu."

Meskipun sakit hati dan marah, tetapi Vena sanggup menahan diri. Dia duduk kali tanpa mengatakan apapun.

"Oke, mending aku cari toko donat yang lebih mahal di luar sana daripada melihat janda miskin sama pedagang asongan lagi mesra-mesraan,“ hina Bianka sambil melenggang ke luar pintu kafe.

Bertepatan dengan itu, Mario datang dengan membawa kertas antrian.

Begitu sudah di meja, dia memandangi wajah murung Vena, lalu bertanya, "ada apa? Siapa barusan? Barusan sempat dengar— siapa yang ke Amerika?"

Vena mengusap setitik air mata yang hampir jatuh di pipi. Suaranya lemas saat menjawab, "nggak apa-apa, kok. Itu calon istri mantan suamiku. Dia pamer mau bulan madu ke Amerika."

Tanpa mendengar penjelasan lain pun, Mario memang sudah tahu kalau rumah tangga Vena berakhir dengan kepahitan. Hatinya seperti diselimuti oleh kesedihan dan amarah.

Karena hal itu, dia berkata dengan menggebu-gebu, "nggak usah sedih, mereka ke Amerika saja pamer, nanti kita bulan madu keliling Eropa."

Napas Vena tertahan. Kedua mata terbelalak, benar-benar terkejut. Dia ingin memastikan, apa telinganya tidak salah dengar?

"Ki-Kita?” ulangnya.

Begitu sadar bicara tanpa dipikir, Mario membeku ditempat. Wajahnya tersipu kemerahan bak kulit udang rebus— malu bukan main. Apa yang harus dikatakan sekarang?

Dia tak bisa mengelak lagi kalau telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status