Share

08. Undangan Mantan Suami

Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih.

"Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?"

"Enggak apa-apa, kok."

"Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu."

”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu."

"Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita."

Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?"

"Kamu dengar itu dari Tante?"

"Tolong jawab."

Mario mengecup punggung tangan Vena dengan romantis. Dia kemudian tersenyum manis saat mengatakan, "kalau kamu anggap aku nikah sama kamu buat balas budi, berarti kamu menghina perasaanku, Sayang. Kebetulan saja kamu anaknya mendiang Pak Wildan. Sekalipun bukan, aku tetap bakalan nikah sama kamu. Kamu 'kan sudah tahu, aku cinta sama kamu sejak pandangan pertama, nggak ada hubungan sama balas budi apalagi kasihan."

"Beneran?"

"Mau kamu anak pemulung, anak raja, anak presiden, anak preman, anak orang gila pun— aku bakalan tetap cinta sama kamu. Mau gimana lagi perasaan nggak bisa diubah. Aku paling suka melihat mata kamu ... cantik banget."

Vena tersipu. Suasana hatinya menjadi gembira lagi. Dia tersenyum lebar mendengar omongan sang suami. "Gombal."

"Sudah puas belum sama jawabanku? Atau perlu aku buktikan seberapa bucinnya aku? Kamu mau aku ngapain? Jadi tokek?”

"Nggak, nggak." Vena tertawa pelan. "Aku puas sama jawaban kamu."

Hati Mario kembali damai. Dia ikut tersenyum, lalu membahas hal lain, "oh iya, mumpung Minggu depan aku nggak ada rapat lagi, gimana kalau kita ke villa, Sayang? Lumayan 'kan akhir pekan kita berduaan di tempat romantis, anggap aja honeymoon kedua."

“Padahal kita baru pulang honeymoon, kamu mau lagi? Katanya sibuk mau ada peresmian villa di Bali?"

"Nah itu dia maksudku, kerja sekalian honeymoon. Itu Villa yang aku maksud, sebelum disewakan ke publik, kita harus mencoba ranjangnya."

Sekalipun malu, tapi Vena tetap tergelak. Dia mencubit pipi sang suami, lalu menggodanya, "dasar kamu, Suami Nakal."

Kemesraan mereka terganggu oleh bunyi dering panggilan ponsel Vena yang ada di tas jinjingnya.

Nomer tidak dikenal.

Penasaran, Vena menerima panggilan tersebut. Kedua matanya terbelalak begitu mendengar suara pria yang tak asing.

Dia kaget. "Dani? Kenapa kamu menelponku? Dari mana kamu tahu nomer telponku?“

Mendengar nama mantan suami disebut, otot wajah Mario menjadi tegang kembali.

Di balik sambungan telepon, Daniel berkata, ”nggak penting aku dapat nomer dari mana, aku cuma mau mengabari kalau lusa ada acara syukuran kehamilan istriku di rumah kami."

Vena menjawab, "terus kenapa ngomong sama aku?"

"Tadi aku sama keluargaku sudah buat masalah tadi di hotel suami kamu yang mewah itu, jadi anggap saja undangan syukuran ini sebagai permintaan maaf. Kami akan menjamu kalian dengan baik."

”Makasih buat undangannya, tapi kami nggak bakalan datang. Tolong hapus nomerku, jangan hubungi aku lagi."

"Kamu nggak usah sombong, sok banget nggak mau datang? Gara-gara nikah sama milyader, jadi sombong sekarang?"

"Kenapa jadi melantur begini omongan kamu?"

"Intinya jangan besar kepala dulu, Vena. Aku undang kamu itu juga sekalian mau bicara tentang biaya pengobatan sama pemakaman anak kamu. Kamu nggak lupa 'kan kalau aku semua yang bayar? Berhubung kamu sudah nikah sama milyader, kamu harus kembalikan uangku. Itu aku anggap hutang."

"Tega banget kamu anggap biaya pemakaman anak kita sebagai hutang?"

"Jangan terus-terusan menganggap aku yang jahat. Aku sudah bilang cuma mau anak laki-laki, bukan anak perempuan cacat.“

"Kamu memang jahat, Dani. Kamu nggak pantas jadi orangtua."

"Ngomong itu di depan cermin sana, lihat siapa yang nggak bisa jadi orangtua? Kamu atau aku? Aku sudah hampir jadi orang tua. Kamu? Kamu hamil saja susah. Kasihan itu suami baru kamu, terjebak sama wanita penyakitan, nggak bakalan punya keturunan."

Sindiran menyakitkan tersebut semakin melukai hati Vena. Dia tak bisa menjawab.

Daniel berkata lagi, "yaudahlah, nggak usah banyak bicara, tujuanku telpon bukan buat berdebat. Kalau kamu datang, sekalian juga bawa sisa-sisa barang sama dokumen anak kamu. Kalau enggak mau datang, ya sudah, aku bakar semua."

Ketika ingin menjawab, ponsel Vena keburu disambar oleh Mario.

Pria itu samar-samar bisa mendengar perkataan keras nan kejam Daniel. Dia menjawab di telepon, "tenang, saya yang akan datang."

Tanpa menunggu jawaban, panggilan itu pun diakhiri, lalu ponselnya diserahkan lagi ke tangan Vena.

"Kamu lepas SIM-card kamu, terus buang, besok aku belikan lagi. Aku nggak mau pria narsis itu telpon kamu lagi. Bisa saja dia mulai ganggu kamu gara-gara kita hina di hotel tadi," katanya.

"Iya."

"Lusa 'kan dia minta kamu datang? Ngomong tentang hutang biaya pemakaman?"

"Iya, tapi lebih baik kita nggak usah datang."

"Bukan kita, yang datang itu aku, kamu di rumah saja. Lusa, aku akan mampir ke sana setelah selesai rapat."

"Jangan, lebih baik transfer uang saja sama suruh orang buat ambil barang."

"Aku yakin dia mau kita datang soalnya ego-nya tersakiti tadi. Kalau nolak datang, nanti dia akan terus-terusan neror. Daripada kamu diganggu terus, mending aku datangi saja. Aku siap berdebat seharian dengan mereka semua."

Vena cemas kalau suaminya pergi sendiri. Dia takkan bisa meyakinkan Mario kalau sudah terlanjur kesal begini. "Kalau gitu aku datang sama kamu."

"Nggak usah, Sayang, kamu pasti jadi bahan hinaan lagi nanti."

"Sebenarnya sih sudah biasa, tapi seperti kata Tante Ruth, aku harus bersikap sebagaimana seorang Nyonya. Jadi, aku nggak boleh harga diriku diinjak terus oleh siapapun. Aku nggak mau kamu dipermalukan. Ini sudah cukup, mereka keterlaluan."

Bibir Mario mengembangkan senyuman manis. Dia dipenuhi oleh perasaan puas.

"Lagian ..." Vena menambahkan dengan nada candaan, "aku nggak mau suamiku yang tersayang ini sendirian dikeroyok emak-emak kayak di hotel tadi."

Mario mencubit pipi Vena, kemudian berbisik mesra, "ini baru istriku. Kamu harus bangga karena sekarang kamu bukan lagi istri seorang pecundang narsis, melainkan istri seorang milyader tampan, setia, humoris dan baik hati."

Mendengar itu, Vena tertawa pelan. Dia tak sabar untuk membuktikan kepada keluarga mantan suaminya bahwa dia sudah berubah menjadi lebih baik.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status