Share

07. Pulang ke Rumah

Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang.

Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana.

Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga.

Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka.

"Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh."

"Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih.

"Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?"

"Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel."

"Keluarga mantan suaminya. Sekumpulan orang-orang kampung, norak, nggak punya urat malu. Kata Pak Henry, ada tamu yang merekam, Mario, pasti rame di media sosial nanti. Reputasi hotel keluarga kita bisa tercemar."

"Nggak bakalan tercemar."

"Kata Pak Henry juga, keluarga mereka nuduh istri kamu ini stalker."

"Mereka itu nggak waras. Enak saja nuduh Vena stalker, Vena datang ke hotel juga buat menemani Mario rapat sebentar. Ini cuma salah paham, nggak usah diperlebar."

Pandangan Tante Ruth menajam ke Vena yang tampak diam saja. Ia jelas terlihat tidak suka. "Vena, tante sudah sering bilang sama kamu, kamu itu jangan mempermalu—"

"Tante, jangan mulai," sela Mario cepat, "kepala Mario agak pusing sekarang, jangan mulai debat."

"Kamu ini protektif banget, sih? Tante cuma mau nasehati istri kamu kalau di tempat umum itu jangan ikut bertengkar. Sekarang ini dia harus paham, levelnya sudah bukan wanita kampung."

"Vena nggak bertengkar, yang nyolot itu Mario. Mario kampungan karena marah-marah di depan umum. Jadi, ayo salahin Mario saja."

"Tapi—"

"Sudah, sudah, Tante." Mario malas berdebat. Dia berjalan mendahului. “Tante ke sini buat ambil dokumen kemarin 'kan? Ayo Mario ambilkan di ruang kerja."

Begitu pria itu sudah menjauh, barulah Tante Ruth kembali mengalihkan perhatian kepada Vena.

Vena tahu kalau bibi Mario ini sedikit tak suka padanya. Tetapi, dia tak ada keinginan untuk bermusuhan. Dia berkata dengan halus, "Tante, maaf tadi sudah buat Tante nunggu. Tante duduk saja dulu, saya buat minuman. Tante mau apa?"

"Ngapain buat minuman? Memangnya kamu pembantu? Stop punya mental pembantu, kamu itu Nyonya di rumah ini, Nyonya Winata. Saya tahu kamu ini dulunya jadi babu di rumah mantan suami kampung kamu, tapi tolong ubah sikap kamu sekarang. Jangan membuat malu keponakan saya. Jangan bilang kamu begini juga kalau ada tamu? Orang nanti nggak bisa bedakan kamu ini nyonya atau pembantu?!"

Vena tidak bisa menjawab. Dia tertunduk lesu. Mungkin terdengar kasar, tapi perkataan wanita itu masuk akal.

Tante Ruth menegaskan, "dengar ya, jangan karena Mario selalu bela kamu, kamu malah nggak tahu diri. Saya tetap belum bisa sepenuhnya nerima kamu sebagai istri Mario. Kamu harus buktikan kamu pantas buat dia."

Usai jeda beberapa detik, dia melanjutkan, "saya sebenarnya tahu alasan Mario menikahi kamu mungkin mau balas budi sama Pak Wildan. Apalagi alasannya kalau bukan itu? Dia menikahi kamu setelah kenal beberapa bulan saja, pasti agar kamu nggak perlu susah-susah nyari uang dari usaha katering."

Suasana hati Vena berubah sedih. Perkataan Tante Ruth membuat ia khawatir kalau Mario hanya kasihan menikahinya. Dia jatuh cinta pada pria itu sejak pertama kali bertemu. Karena itulah, dia bahagia menerima lamarannya.

Tetapi, sekarang ia bimbang, pantaskah dia untuk Mario? Apa yang dicari pria milyader itu darinya? Memang apa kelebihannya?

Tante Ruth menambahkan, ”Mario terlalu baik, dia orangnya suka balas budi. Gara-gara itu juga banyak orang yang mau nipu dia. Jadi, saya peringatkan kamu— kalau kamu menipu, mengkhianati atau buat dia malu di depan umum seperti tadi, saya nggak bakalan memaafkan kamu."

"Vena nggak ada niat menipu apalagi mengkhianati Mas Mario, Tante. Vena juga nggak mau tadi bertengkar di hotel tadi, Vena nggak ada niat mempermalukan Mas Mario."

"Saya nggak bisa percaya begitu saja. Banyak orang jahat sekarang modal tampang melas doang. Saya itu—”

"Tante!" Suara Mario terdengar di kejauhan. Pria itu menghampiri mereka dengan membawa map biru berisi dokumen yang tadi dicari. "Baru juga Mario tinggal beberapa menit doang, sudah ngomelin istri Mario lagi?“

Tante Ruth cemberut. Dia membela diri dengan berkata, "tante harus nasehati istri kamu supaya nggak bawa masalah di keluarga kita. Kamu sudah tante peringati sebelumnya, resiko nikah sama janda ini banyak banget, apalagi kalau keluarga mantan suaminya nggak punya etika, terus—"

"Iya, iya, iya,” potong Mario agak malas mendengar ocehan itu. Dia menyindir halus, "lagian Tante ini kalau trauma ditipu orang lain, jangan dilampiaskan Vena. Dia bukan penipu, nggak kayak wanita yang dulu mau Tante jodohin ke Mario, yang nipu Tante sampai ratusan juta."

"Heh mulut kamu—“ Tante Ruth agak malu sekaligus kesal karena sindiran itu. "Tante ini serius. Sekarang banyak wanita modal melas doang buat cari perhatian ke kita."

”Tapi bukan istri Mario. Maaf saja ya, Istri Mario itu wajahnya cantik dan sikapnya lembut, bukan melas.“

”Ngomong sama kamu kayak ngomong sama tembok."

Mario tersenyum penuh kemenangan. Dia menyerahkan dokumen ke tangan wanita itu. "Yaudah Tante, daripada ngomong sama tembok, mending Tante pulang. Mario sama Vena mau menikmati waktu berdua, kami ini pengantin baru, jadi sementara Tante nggak usah sering-sering ke sini, oke? Kalau butuh apa-apa lagi, bilang sama Daffa, asisten Mario atau ke sekretaris Mario, si Erika.“

Dia mendorong punggung sang bibi agar berjalan pergi dengan sedikit paksaan.

Tante Ruth mengomel di sepanjang jalan, dan Mario hanya menjawab, "iya" dan "iya".

Selama beberapa menit, Vena hanya mematung di tempat. Dia masih kepikiran dengan perkataan Tante Ruth. Apa dia dinikahi karena kasihan?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status