Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.
Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?" "Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh. Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?" "Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi. Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya. Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "cukup! Pergi dari sini sekarang juga!" "Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?" Bianka menatapnya dengan dingin, tidak sedikit pun menyesali atas rasa sakit yang dia timbulkan. Vena mendekati wanita tersebut, lalu dicengkram lengannya, dipaksa untuk berdiri. Dia menegaskan, "aku bilang pergi dari sini sekarang juga! Aku nggak mau lihat kamu lagi!" "Jangan pegang-pegang, ya!" Bianka mulai risih. Dia menarik lengannya sampai lepas dari genggaman Vena. "Harusnya kamu yang pergi dari sini. Aku yang diminta datang ke sini, kok." "Berani banget wanita murah—" "Hei!" sela Bianka sudah tahu kata yang akan disebut. Kemarahan berangsur naik ke ubun-ubun. "Jaga mulut kamu! Memangnya siapa kamu berani menghinaku?" "Bagaimana pun, aku masih istri sah Dani! Aku nggak mau wanita selingkuhan suamiku ada di rumah ini!" "Terus kenapa kalau kamu istrinya? Bentar lagi juga dicerai! Kamu nggak berhak mengusirku! Kalau kamu nggak mau aku ada di sini, harusnya ngomong sana sama suami kamu! Berani nggak?" "Cepat pergi sebelum aku—" "Tolong jangan berisik!" Suara seorang wanita paruh baya terdengar. Dia tampak keluar dari dalam rumah sambil memijit kening. Perhatiannya tertuju kepada Vena. "Oh, kamu sudah pulang? Pantas kepala saya pusing— bisa nggak sehari saja kamu nggak drama di rumah?" "Mama Ritta~" nada suara Bianka terdengar manja. Dia mendekati wanita dengan wajah pura-pura takut. "Ma, dia ngancam mau pukul kalau Bianka nggak pergi, padahal Bianka ke sini juga atas permintaan Mas Dani." "Siapa yang mau pukul kamu?" balas Vena jengkel. Dia mengalihkan pandangan ke sang ibu mertua. "Ma, kenapa Mama membiarkan wanita ini ada di rumah kita?" "Memangnya kenapa? Kamu dari kemarin-kemarin keluyuran terus, nggak becus jadi istri, mending Bianka di sini— bisa buat Dani bahagia." "Mama tega banget ngomong kayak gitu, Vena sibuk mengurus pemakaman cucu Mama." "Jangan bilang cucu!" sentak Ibu Ritta melototi Vena. "Saya sudah nahan-nahan malu ke keluarga besar sejak anak itu lahir. Saya nggak pernah anggap dia sebagai cucu saya. Masa mungkin anak yang lahir di keluarga Adinata yang terhormat itu penyakitan?" Seolah-olah sebilah pisau telah ditusukkan tepat ke jantung Vena. Bayi manisnya yang terlahir dengan kelainan genetik langka dihina seperti itu. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, dia tak diakui sebagai cucu oleh mertuanya. Belum sempat berkata apa-apa, suaminya ikut keluar dari dalam rumah seraya menggeret koper hitam. Culas dan malas adalah gambaran wajahnya saat ini. Tanpa basa-basi, dia berterus terang, "dari tadi aku dengar, kamu makin berisik. Jadi, daripada kamu ganggu, lebih baik kamu yang pergi dari sini, Vena. Ini sudah aku masukkan baju-baju kamu." "Kamu ngusir aku?" "Iya." Jawaban dingin itu melukai Vena. Kedua matanya dipenuhi campuran kemarahan dan rasa sakit hati. Suami yang telah dinikahi selama dua tahun sekarang berubah drastis. Masa di mana pria itu menggandeng tangannya, membisikkan kata-kata manis— semua sudah usai. Dia bahkan tak mau repot datang ke pemakaman bayi mereka. "Teganya kamu melakukan ini?" Suara Vena pecah saat menatap suaminya dengan pedih. "Aku nggak percaya kamu meninggalkanku demi wanita lain, bahkan nggak datang ke pemakaman anak kita ... Ini keterlaluan." Daniel tetap berdiri tegak, ekspresinya tidak dapat dibaca. Dia merespon, "jangan mulai drama. Aku harus melakukan yang terbaik untukku. Kamu susah ngasih aku anak, artinya kamu nggak ada gunanya lagi di hidupku. Aku butuh anak laki-laki dan yang kamu berikan hanya anak perempuan, itupun lahir dengan penyakit langka. Aku harus move on, dan mencari istri lagi." "Dani ..." "Satu-satunya alasan kenapa aku masih membiarkan kamu tinggal di sini karena anak itu. Aku nggak mau dituduh menelantarkan anak. Sekarang anak itu nggak ada, jadi aku berhak mengusir kamu." Bianka semakin gembira melihat situasi ini. Dia masih diam di sebelah Ibu Ritta sembari menyunggingkan seringai. "Lagian—" tambah Daniel bersuara angkuh, "aku nggak mau punya istri yang modelan pembantu sepertimu. Kamu berubah, Vena, kamu sudah nggak cantik lagi." Rasa percaya diri Vena menurun drastis usai mendengar perkataan tersebut. Keberaniannya pun telah lenyap. Dia merasa sangat rendah. Dua tahun yang lalu, di awal-awal pernikahan mereka, Daniel selalu memuji kecantikan yang dia miliki, selalu berjanji akan selalu mencintainya. Nyatanya, semua itu hanya rayuan manis dan tipu daya belaka. Tak puas menghinanya, Daniel melanjutkan, "kamu harusnya bangga bisa nikah sama aku. Kamu itu siapa sebelum nikah sama aku? Cuma anak pengangguran yang mati mengenaskan karena ditabrak pemabuk." "Jangan menghina ayahku!" Napas Vena tertahan. Perasaannya menjadi kian tak karuhan mendengar mendiang ayahnya pun ikut direndahkan. Sekali lagi, dia menekankan, "jangan pernah menghinanya seperti itu!" "Atau apa? Aku berhak menghina siapapun, terutama kamu yang cuma buang-buang waktuku. Menikah sama kamu memang sebuah kesalahan." "Kamu benar-benar keterlaluan!" "Aku nggak peduli. Surat cerai akan aku kirim ke rumah kamu secepatnya. Aku peringatkan, jangan berani mempermalukanku di depan publik dengan tuduhan tukang selingkuh. Pernikahan kita berakhir itu bukan salahku— pulang sana dan lihat ke cermin. Apa pantas bos besar sepertiku bersama kamu?" "Sudahlah, Dani, Cepat seret wanita miskin ini keluar," pinta Ibu Ritta yang sudah muak melihat wajah Vena. "Mama nggak tahan serumah sama wanita yang nggak sederajat dengan kita. Udara rumah kita jadi makin busuk." Tanpa basa-basi lagi, Daniel mencengkram lengan Vena, lalu diseret sampai ke teras rumah. Setelahnya, dia masuk rumah lagi sambil menutup pintu dengan bantingan keras. "Ternyata kamu sejahat ini sama aku ..." Suara Vena lemas nan lirih. Air mata terus mengalir di pipi saat memegang koper. Hati serasa hancur berkeping-keping. Dia berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun, tak tahu kalau sang mertua memperhatikan dari balik jendela rumah. "Akhirnya setelah dua tahun, pergi juga menantu miskin itu," gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan. ***Vena duduk di tepi ranjang, pikirannya masih dipenuhi oleh campuran rasa tidak percaya dan pengkhianatan. Tangannya menggenggam erat surat cerai yang baru diterima. Tak terasa sudah empat bulan sejak dia tinggal di sini— di rumah tua sang ayah.Dia masih memandangi surat cerai tersebut. Benda ini seperti pengingat akan kehidupan yang telah ia bangun, dan telah terkoyak. Kenangan akan tawa suaminya, janji cinta dan dukungannya, sekarang hanya bergema kosong dalam hati. Dia ditinggalkan sendiri dalam kepahitan.Saat perasaan putus asa sudah sampai puncaknya, api perlahan berkobar lagi di dalam diri Vena— kebulatan tekad untuk bangkit dari keterpurukan, meraih rasa percaya dirinya lagi.Dia sadar apapun yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran. Selama masih hidup, artinya menyerah bukanlah opsi.Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di sebelahnya bergetar. Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu memeriksa pemanggil."Nomor tak dikenal?" Dia membaca tulisan di la
Vena baru saja membuka pintu, dan dihadapkan dengan orang asing.Seorang pria tiga puluh tahunan yang terbalut jas hitam tertutup nan rapi, tapi bentuk tubuhnya tercetak jelas. Tinggi tegap, bahu lebar, lengan berotot. Ditambah wajah rupawan yang terhias oleh mata hitam tajam serta rahang tegas, daya pikatnya amat luar biasa."Iya, Mas?" Vena sampai menahan napas melihat sosoknya. "A-ada yang bisa saya bantu?""Selamat pagi, saya Mario ..." jawab pria itu sambil tebar senyuman manis. Dia ingin memberikan kesan pertama yang memukau. Sambil menunjukkan kwitansi pembayaran di layar ponsel, dia berkata lagi, "... Saya yang mengambil pesanan atas nama Erika." "Mas Mario? oh iya, tadi Ibu Erika sudah bilang. Pesanan ada di dalam, ini saya angkat ke mana?" "Saya bawa mobil. Kamu nggak usah angkat-angkat, biar sopir saya saja—" sahut Mario saat menengok ke mobil mewah yang ada di depan rumah. Di sebelahnya sudah berdiri seorang pria berseragam hitam. "Pak Hardi, tolong bantuannya."Tanpa m
Beberapa bulan berlalu semenjak perkenalannya dengan Mario, Vena masih belum percaya sudah menikah lagi.Kini, dua Minggu usia pernikahan mereka— dan, dia sering ikut sang suami untuk pergi urusan bisnis.Iya, seperti sekarang.Dia menunggu di restoran hotel, tangan sibuk memainkan ponsel. Namun, ketenangannya terganggu ketika suara langkah kaki mendekat."Kamu lagi?!" Suara wanita yang tak asing tengah menegur Vena.Vena menoleh, dan dikejutkan dengan kehadiran Daniel dan Bianka. "Kalian?"Sudah enam bulan sejak bercerai, luka pengkhianatan itu masih belum pulih. Sekarang, dia harus melihat wajah mantan suami lagi.Bianka menuduh, "kamu diam-diam mengikuti kami sampai ke hotel ini!? Sudah aku duga dari dulu, kamu ini stalker!""Jangan sembarangan kalau ngomong!" Vena tersinggung. Dia berdiri dengan terus memandang tajam ke Bianka. Dia menegaskan, "mana mungkin aku mengikuti kalian ke sini? Buat apa juga?""Ya buat cari perhatian. Kamu selalu berusaha ketemu Mas Dani! Kamu nggak terim
Daniel dan Bianka masih mematung di tempat. Keduanya tidak percaya dengan perkataan orang asing yang mengatakan kalau Vena adalah istrinya.Masih tidak percaya, Daniel bertanya, "siapa kamu? Datang-datang ikut campur urusan orang. Istri mana yang kamu maksud?"Orang yang diajak bicara berhenti di sebelah Vena. Dia meraih telapak tangan wanita itu, kemudian menjawab, "nama saya Mario, saya suami dari Vena."Nada bicaranya dipenuhi perasaan geram. Dia sudah tahu sebagian kelakuan busuk Daniel dan Bianka terhadap sang istri di masa lalu.Ia melanjutkan, "jadi, ada urusan apa kalian sama istri saya? Berani-beraninya kalian bicara kasar sama dia di tempat umum begini? Apa salahnya?"Tak hanya Daniel, Bianka pun tidak percaya kalau Vena bukan janda lagi, padahal baru berpisah beberapa bulan. Dia menyindir Vena, "baru juga jadi janda, sudah nikah lagi?""Apa urusannya sama kamu aku sudah nikah atau belum? Aku sama Dani juga sudah resmi cerai," sergah Vena cepat."Nggak apa-apa, tapi itu suda
Daniel tetap percaya diri. Dia masih mengira kalau memang Vena terobsesi padanya sehingga mengikuti kemana-mana. Dia melirik Mario sambil tersenyum, lalu menyindir halus, "sudah, Ma, nggak usah ngomong apa-apa lagi, kasihan loh suaminya— sekarang jadi tahu kalau istri yang baru dinikahi belum bisa move on dari mantan suami."Vena menggeleng. Dia membantah, "kamu keterlaluan, Dani! Tolong jangan terlalu narsis! Siapa yang belum move on sama tukang selingkuh kayak kamu?""Tukang selingkuh kamu bilang? Kamu masih berani playing victim? Nggak sadar kamu itu nggak bisa ngasih keturunan, lagian kata Bianka juga pasti benar, pria ini—“ Daniel menuding wajah Mario dengan perasaan jengkel. Dia lanjut menghina, ”pasti selingkuhan kamu 'kan? Pantas dulu kamu sering keluyuran, lupa sama pekerjaan rumah.""Aku nggak keluyuran tanpa alasan, aku sibuk mengurus pemakaman anakku!"Ibu Rita ikut bicara, "benar kata Dani. Pokoknya, mulai sekarang stop muncul di kehidupan anak saya, awas kalau kamu masi
Mario terlanjur kesal dengan apa yang terjadi di hotel sehingga dia membawa istrinya untuk pulang. Kediaman Winata adalah berdiri di daerah perumahan elite. Bangunan tiga lantai tersebut termasuk salah satu yang paling megah di sana. Sejak menikah, Vena sudah menjadi sang nyonya rumah itu. Dia tinggal bersama Mario serta lima orang asisten rumah tangga. Orangtua Mario sudah lama meninggal dunia, jadi dia tak memiliki mertua. Meski demikian, ada bibi yang selalu tiba-tiba ada di rumah untuk memantau keadaan mereka. "Akhirnya pulang juga kamu, Mario!" sambutnya begitu melihat Mario masuk rumah. Wanita empat puluh tahunan itu lantas memluknya seraya berkata lagi, "tante sudah capek nunggu kamu pulang dari jam sepuluh." "Maaf, Tante Ruth, tadi di hotel ada masalah sedikit," sahut Mario letih. "Iya tante tahu, barusan dikabari sama Pak Henry, gara-gara istri baru kamu ini buat keributan di hotel, kan?" "Nggak, gara-gara keluarga narsis yang cari keributan di restoran hotel." "Kel
Mario mendekati sang istri dengan pandangan cemas. Ketika sadar wajah wanita itu murung, dia jadi ikutan sedih."Sayang ..." pria itu meraih telapak tangan Vena, "kamu nggak apa-apa?""Enggak apa-apa, kok.""Tolong jangan diambil hati omongan Tante barusan. Walau suka ngomel, Tante sebenarnya baik. Tante agak sensitif ke orang baru soalnya pernah ketipu. Kita belum lama kenal terus langsung memutuskan menikah, jadinya curiga mulu ke kamu."”Tapi, Tante Ruth benar, nikah sama janda itu bawa banyak masalah buat kamu.""Kita sudah nikah, masalah kamu itu masalahku juga. Terserah orang-orang mau ngomong apa, yang menjalani hidup rumah tangga ini 'kan kita."Rasa tenang nan haru menyelimuti diri Vena. Dia menatap kedua mata Mario dalam-dalam. Setelah menguatkan diri, dia berani bertanya, ”kamu kenapa mau nikah sama aku? Karena ayah? Apa ini balas budi? Kamu kasihan soalnya sekarang aku nggak punya siapa-siapa?""Kamu dengar i
"Mas! Kamu ini apa-apaan sih? Ngapain ngundang mantan istri kamu!" Omelan Bianka tak berhenti semenjak Daniel menutup sambungan telepon.Raut wajah Daniel masih tegang. Tangannya tampak meremas ponsel. Emosi naik usai mendengar suara suami baru Vena yang menjawab.Bukannya merespon omelan istrinya, dia malah menggerutu, "kurang ajar, berani banget dia mutus telponku begitu saja. Dia pikir dia itu siapa? Hanya karena dia owner hotel bintang lima, dia bisa menginjakku, hah?"Sudah terlihat jelas, dia merasa tersaingi dan terluka. Sejak pulang dari hotel karena diusir, kebanggaannya seolah tercabik-cabik.Bianka makin kesal karena diabaikan. Dia menyambar lengan sang suami, lalu berkata lebih keras, "Mas Dani, jangan diam saja! Kamu kenapa ngundang wanita itu ke acara syukuran kita? Aku nggak mau! Aku sudah menahan malu tadi diusir dari hotel, nggak sudi ketemu wanita udik itu lagi!""Kamu ini bisa diam dulu nggak?! Dari tadi ngomel terus! A