Share

Dinikahi Milyarder, Diganggu Mantan Suami
Dinikahi Milyarder, Diganggu Mantan Suami
Penulis: Diosa

01. Diusir Suami

Mata Vena terbelalak saat memasuki rumah. Di sana, duduk di sofa ruang tamu, ada Bianka, selingkuhan suaminya. Itu merupakan pemandangan yang kejam, terutama setelah dia baru saja kembali dari pemakaman bayi perempuannya.

Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca, Vena bertanya, "apa-apaan ini? Mau apa kamu ada di sini?"

"Suami kamu yang memintaku datang," jawab Bianka acuh tak acuh.

Amarah dalam hati Vena bergolak. Dia tidak pernah membayangkan kekejaman seperti ini, pulang ke rumah dan disambut oleh wanita perusak rumah tangganya. "Kenapa? Buat apa suamiku menemui kamu lagi?"

"Mungkin dia kesepian karena istrinya sibuk keluyuran di luar sana," sindir Bianka, nada suaranya masih datar tanpa emosi.

Kepala Vena seakan berputar-putar. Bagaimana bisa suaminya melakukan ini, membawa wanita selingkuhan ke rumah setelah mereka kehilangan anak? Dia tidak percaya begitu dalam pengkhianatannya.

Kedua tangan wanita itu mengepal erat sambil menahan tangis. Suaranya gemetar ketika berteriak, "cukup! Pergi dari sini sekarang juga!"

"Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?" Bianka menatapnya dengan dingin, tidak sedikit pun menyesali atas rasa sakit yang dia timbulkan.

Vena mendekati wanita tersebut, lalu dicengkram lengannya, dipaksa untuk berdiri. Dia menegaskan, "aku bilang pergi dari sini sekarang juga! Aku nggak mau lihat kamu lagi!"

"Jangan pegang-pegang, ya!" Bianka mulai risih. Dia menarik lengannya sampai lepas dari genggaman Vena. "Harusnya kamu yang pergi dari sini. Aku yang diminta datang ke sini, kok."

"Berani banget wanita murah—"

"Hei!" sela Bianka sudah tahu kata yang akan disebut. Kemarahan berangsur naik ke ubun-ubun. "Jaga mulut kamu! Memangnya siapa kamu berani menghinaku?"

"Bagaimana pun, aku masih istri sah Dani! Aku nggak mau wanita selingkuhan suamiku ada di rumah ini!"

"Terus kenapa kalau kamu istrinya? Bentar lagi juga dicerai! Kamu nggak berhak mengusirku! Kalau kamu nggak mau aku ada di sini, harusnya ngomong sana sama suami kamu! Berani nggak?"

"Cepat pergi sebelum aku—"

"Tolong jangan berisik!" Suara seorang wanita paruh baya terdengar. Dia tampak keluar dari dalam rumah sambil memijit kening. Perhatiannya tertuju kepada Vena. "Oh, kamu sudah pulang? Pantas kepala saya pusing— bisa nggak sehari saja kamu nggak drama di rumah?"

"Mama Ritta~" nada suara Bianka terdengar manja. Dia mendekati wanita dengan wajah pura-pura takut. "Ma, dia ngancam mau pukul kalau Bianka nggak pergi, padahal Bianka ke sini juga atas permintaan Mas Dani."

"Siapa yang mau pukul kamu?" balas Vena jengkel. Dia mengalihkan pandangan ke sang ibu mertua. "Ma, kenapa Mama membiarkan wanita ini ada di rumah kita?"

"Memangnya kenapa? Kamu dari kemarin-kemarin keluyuran terus, nggak becus jadi istri, mending Bianka di sini— bisa buat Dani bahagia."

"Mama tega banget ngomong kayak gitu, Vena sibuk mengurus pemakaman cucu Mama."

"Jangan bilang cucu!" sentak Ibu Ritta melototi Vena. "Saya sudah nahan-nahan malu ke keluarga besar sejak anak itu lahir. Saya nggak pernah anggap dia sebagai cucu saya. Masa mungkin anak yang lahir di keluarga Adinata yang terhormat itu penyakitan?"

Seolah-olah sebilah pisau telah ditusukkan tepat ke jantung Vena. Bayi manisnya yang terlahir dengan kelainan genetik langka dihina seperti itu. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, dia tak diakui sebagai cucu oleh mertuanya.

Belum sempat berkata apa-apa, suaminya ikut keluar dari dalam rumah seraya menggeret koper hitam. Culas dan malas adalah gambaran wajahnya saat ini.

Tanpa basa-basi, dia berterus terang, "dari tadi aku dengar, kamu makin berisik. Jadi, daripada kamu ganggu, lebih baik kamu yang pergi dari sini, Vena. Ini sudah aku masukkan baju-baju kamu."

"Kamu ngusir aku?"

"Iya."

Jawaban dingin itu melukai Vena. Kedua matanya dipenuhi campuran kemarahan dan rasa sakit hati.

Suami yang telah dinikahi selama dua tahun sekarang berubah drastis. Masa di mana pria itu menggandeng tangannya, membisikkan kata-kata manis— semua sudah usai. Dia bahkan tak mau repot datang ke pemakaman bayi mereka.

"Teganya kamu melakukan ini?" Suara Vena pecah saat menatap suaminya dengan pedih. "Aku nggak percaya kamu meninggalkanku demi wanita lain, bahkan nggak datang ke pemakaman anak kita ... Ini keterlaluan."

Daniel tetap berdiri tegak, ekspresinya tidak dapat dibaca. Dia merespon, "jangan mulai drama. Aku harus melakukan yang terbaik untukku. Kamu susah ngasih aku anak, artinya kamu nggak ada gunanya lagi di hidupku. Aku butuh anak laki-laki dan yang kamu berikan hanya anak perempuan, itupun lahir dengan penyakit langka. Aku harus move on, dan mencari istri lagi."

"Dani ..."

"Satu-satunya alasan kenapa aku masih membiarkan kamu tinggal di sini karena anak itu. Aku nggak mau dituduh menelantarkan anak. Sekarang anak itu nggak ada, jadi aku berhak mengusir kamu."

Bianka semakin gembira melihat situasi ini. Dia masih diam di sebelah Ibu Ritta sembari menyunggingkan seringai.

"Lagian—" tambah Daniel bersuara angkuh, "aku nggak mau punya istri yang modelan pembantu sepertimu. Kamu berubah, Vena, kamu sudah nggak cantik lagi."

Rasa percaya diri Vena menurun drastis usai mendengar perkataan tersebut. Keberaniannya pun telah lenyap. Dia merasa sangat rendah.

Dua tahun yang lalu, di awal-awal pernikahan mereka, Daniel selalu memuji kecantikan yang dia miliki, selalu berjanji akan selalu mencintainya. Nyatanya, semua itu hanya rayuan manis dan tipu daya belaka.

Tak puas menghinanya, Daniel melanjutkan, "kamu harusnya bangga bisa nikah sama aku. Kamu itu siapa sebelum nikah sama aku? Cuma anak pengangguran yang mati mengenaskan karena ditabrak pemabuk."

"Jangan menghina ayahku!" Napas Vena tertahan. Perasaannya menjadi kian tak karuhan mendengar mendiang ayahnya pun ikut direndahkan. Sekali lagi, dia menekankan, "jangan pernah menghinanya seperti itu!"

"Atau apa? Aku berhak menghina siapapun, terutama kamu yang cuma buang-buang waktuku. Menikah sama kamu memang sebuah kesalahan."

"Kamu benar-benar keterlaluan!"

"Aku nggak peduli. Surat cerai akan aku kirim ke rumah kamu secepatnya. Aku peringatkan, jangan berani mempermalukanku di depan publik dengan tuduhan tukang selingkuh. Pernikahan kita berakhir itu bukan salahku— pulang sana dan lihat ke cermin. Apa pantas bos besar sepertiku bersama kamu?"

"Sudahlah, Dani, Cepat seret wanita miskin ini keluar," pinta Ibu Ritta yang sudah muak melihat wajah Vena. "Mama nggak tahan serumah sama wanita yang nggak sederajat dengan kita. Udara rumah kita jadi makin busuk."

Tanpa basa-basi lagi, Daniel mencengkram lengan Vena, lalu diseret sampai ke teras rumah. Setelahnya, dia masuk rumah lagi sambil menutup pintu dengan bantingan keras.

"Ternyata kamu sejahat ini sama aku ..." Suara Vena lemas nan lirih. Air mata terus mengalir di pipi saat memegang koper. Hati serasa hancur berkeping-keping.

Dia berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun, tak tahu kalau sang mertua memperhatikan dari balik jendela rumah.

"Akhirnya setelah dua tahun, pergi juga menantu miskin itu," gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status