Intan bingung melihat suaminya seperti itu."Mas pake baju dulu, ya? Kalau begitu nanti malah semakin dingin," ucap Intan."Sebentar, Sayang. Mas masih lemas. Ini juga dingin banget. AC-nya udah dimatiin belum?" tanya Zein sambil selimutan.Intan menoleh ke arah AC. "Udah, kok. Emangnya masih dingin?" tanya Intan, heran."Dingin banget, Sayang," jawab Zein, sambil menggigil."Ke rumah sakit aja, yuk! Aku khawatir Mas drop karena kelelahan," ajak Intan. Ia tidak tega melihat suaminya yang biasa strong itu tiba-tiba lemah.Zein menggelengkan kepala. "Mas cuma butuh istirahat. Gak kuat kalau pergi ke rumah sakit. Pusing," jawab Zein."Ya udah, tapi makan dulu, ya! Kalau perutnya kosong, nanti malah makin dingin," ucap Intan.Zein mengangguk. Ia pun merasa lapar karena sudah muntah beberapa kali."Ya udah, tunggu sebentar!" ucap Intan. Kemudian ia pun meninggalkan Zein dan menuju ke dapur untuk mengambil makanan."Kira-kira dia sakit apa, ya? Apa iya kecapekan, atau karena stress? Tapi st
"Mas pingin kamu berhijab. Mas gak rela aurat kamu dilihat oleh orang lain," ucap Zein sambil menatap Intan. Ia semakin posessive pada istrinya.Intan tak menyangka suaminya akan meminta hal itu. "Eum ... emangnya kenapa, Mas?" tanya Intan sambil menatap Zein."Berhijab itu kan kewajiban muslimah, Sayang. Selain itu aku juga gak mau tubuh kamu dilihat oleh orang lain. Karena tubuhmu hanya milik aku," ucap Zein sambil memegangi kedua lengan istrinya."Iya aku paham. Tapi masalahnya Mas tau sendiri kan aku gak punya banyak pakaian untuk berhijab? Bisa sih aku mix and match pake baju yang panjang-panjang. Tapi kayaknya kurang pantes ya kalau pake jeans gitu?" tanya Intan."Iya gak apa-apa. Untuk sementara kamu pakai yang ada aja dulu! Nanti kalau ada waktu kita beli pakaian buat kamu, ya?" sahut Zein.Ia memaklumi jika istrinya tidak memiliki banyak pakaian untuk berhijab. Sebab sebelum menikah memang Intan tidak berhijab meski pakaiannya tidak terlalu terbuka."Ya udah kalau begitu seka
"Serius kamu?" tanya Muh dan Rani. Mereka sangat terkejut saat mengetahu bahwa Zein yang mengalami morning sickness."Iya, Mah. Justru kami tahu aku hamil karena tadi pagi Mas Zein muntah-muntah. Kalau enggak sih, mungkin gak akan ngeuh," jawab Intan sambil tersenyum.Ia sangat bagahia karena suaminya yang merasakan penderitaan seperti itu."Ya ampun, Zein. Kamu bucin akut, ya?" ledek Rani. Menurutnya jika Zein sampai mengalami hal seperti itu, artinya ia terlalu cinta pada Intan."Apaan sih, Mah. Itu kan gak ada hubungannya," sahut Zein, kesal."Lho, gak ada gimana? Itu kan karena kamu terlalu cinta. Jadi secara tidak sadar batin kalian ini saling melengkapi satu sama lain. Mungkin kamu terlalu mengkhawatirkan istrimu. Jadi kamu merasakan apa yang Intan rasakan," ucap Rani. Sebenarnya itu hanya analisa Rani saja."Bisa jadi ini karma karena kamu merasa bersalah pada Intan," ledek Muh."Pah!" Zein protes. Ia sebal karena Muh selalu membahas kesalahannya."Hehehe, tapi apa yang mamah k
Setelah mendapat tugas, akhirnya Intan pun pegi ke IGD untuk memulai kerjanya.Beruntung sebelumnya ia pernah bertugas di sana. Sehingga Intan tidak terlalu bingung ketika praktek di sana lagi."Pagi dokter Intan," sapa salah seorang perawat yang sudah mengenal Intan."Pagi, Sus," sahut Intan. Ia senang karena disambut dengan baik saat tiba di sana."Duh, seneng banget deh kalau dokter Intan praktek di sini," ucap suster."Suster bisa aja. Gimana pagi ini, banyak pasien gak?" tanya Intan."Lumayan, Dok. Tapi semua udah ditanganin, kok. Tinggal observasi aja. Ini laporannya," sahut suster."Oh, kamu yang kerja di sini?" tanya salah seorang dokter yang berjaga di IGD."Iya, Dok," sahut Intan sambil tersenyum."Duh, repot deh kalau gantian sama dokter magang. Nanti kalau ada apa-apa aku juga yang kena," gumam dokter itu. Ia terlihat kurang menyukai Intan."Maaf, Dok. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak merepotkan dokter," jawab Intan."Harus itu! Tolong lebih teliti, ya! Say
"Sabar ya, Dok. Dia emang begitu," ucap suster saat dokter kepala itu pergi."Gak apa-apa kok, Sus. Aku juga udah gak kaget, hehe," jawab Intan. Kemudian ia lanjut membahas pekerjaannya lagi."Gimana, tadi ada pasien darurat lagi, gak?" tanya Intan sambil melihat laporan."Gak ada kok, Dok. Yang tadi observasi juga sebagian ada yang udah pulang. Tinggal pasien rawat inap lagi nunggu kamar ready," jawab suster."Ooh, syukurlah kalau begitu. Berarti hari ini gak terlalu penuh, hehe," sahut Intan sambil mengusap perutnya."Aku kok baru sadar ya kalau penampilan dokter Intan ini berubah," ucap suster."Oya?" tanya Intan sambil tersenyum. Saat ini ia mengenakan hijab berwarna mustard dan rok rempel dengan warna senada."Iya. Dulu dokter gak pake hijab, kan?" tanya suster itu."Hehehe, iya.""Wah, alhamdulillah ... jadi makin anggun dan cantik, Dok. Tapi maaf ya, Dok. Kayaknya sekarang dokter agak cubby. Tapi malah makin cantik, lho," ucap suster itu, hati-hati.Intan pun tersenyum. "Maklum
Semua mata menoleh ke arah Zein yang tiba-tiba meninggalkan ruangan prakteknya. Ia berlari ke poli kandungan yang lokasinya tidak terlalu jauh itu."Prof kenapa?" tanya suster yang ada di luar."Gak tau tuh, aneh banget. Tadi aku cuma info kalau dokter Intan pingsan. Secara beliau kan mantan konsulennya. Tapi Prof kayak kaget banget gitu. Terus langsung lari," jelas suster yang baru keluar dari ruangan Zein."Lha, udah kayak suaminya aja," ucap salah satu suster."Tau tuh," sahut yang lain.Namun kemudian mereka langsung saling menatap. "Jangan bilang kalau Prof emang ...?" Mereka tidak melanjutkan ucapannya. Namun mereka yakin apa yang mereka pikirkan sama."Woah, kalau sampe bener, bisa heboh banget, sih. Secara kalian tau sendiri gimana galaknya Prof ke dokter Intan dulu, kan?""Daebak. Itu sih namanya ketula. Udah diomel-omelin, malah jadi istri," timpal yang lain."Duh, aku jadi penasaran banget, nih. Pingin tau kelanjutannya.""Udah kayak baca novel aja!""Hehehe, abisnya seru."
Napas Zein terlihat menggebu. Di tangannya ada beberapa file dan tab yang ia bawa dari mejanya itu.Ceklek!Zein membuka pintu ruangan dokter tanpa permisi. Hingga semua dokter yang ada di ruangan itu menoleh dan mereka langsung berdiri saat menyadari bahwa Zein lah yang datang ke ruangan mereka."Selamat sore, Prof," ucap mereka, begitu sopan.Zein tidak menjawab. Wajahnya seperti orang hendak perang. Matanya memindai seluruh ruangan itu dan langsung tertuju ke orang yang tadi ada di video.Deg!Orang itu gugup saat Zein menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Ia mengatur napas karena yakin Zein sedang emosi.Semua yang ada di ruangan itu saling melempar pandangan. Mereka bertanya-tanya apa yang membuat Zein sampai datang ke sana. Sebab, selama ini pria itu hampir tidak pernah datang ke tempat tersebut.Awalnya Zein ingin mengamuk. Bahkan menghajar dokter kepala itu. Namun ia masih berusaha menjaga wibawanya. Sehingga Zein marah dengan cara yang cukup elegant.Tap!Zein
"Sore, Dok!" sapa Intan. Ia masih menghormati dokter itu sebagai atasannya. Ia pun tidak tahu bahwa Zein sudah menemui dokter itu.Tentu saja hal itu membuat dokter kepala tersebut semakin ketar-ketir. Apalagi saat Zein melirik ke arahnya dengan tatapan sinis."Dok! Saya mau minta maaf karena sudah bersikap kurang baik pada dokter Intan. Saya tidak bermaksud seperti itu," ucap dokter itu, gugup."Lho, gak perlu minta maaf, Dok. Emang sayanya yang masih amatir. Justru saya yang harus minta maaf karena sudah membuat semuanya jadi berantakan," jawab Intan.Ucapan Intan barusan membuat dokter itu tidak enak hati."Tidak, Dok. Saya yang salah karena telah menempatkan dokter Intan di IGD. Besok saya akan atur lagi penempatannya. Dokter Intan sedang mengandung, jadi akan saya tempatkan di ruangan yang tidak terlalu sibuk," ucap dokter itu, gugup."Tidak perlu. Nanti saya sendiri yang akan memilih posisinya," ucap Zein. Setelah itu ia mengajak Intan pergi.Zein masih kesal pada orang itu. Seh