"Mungkin kita sepupuan, Kak! Papanya Dina nggak mungkin punya dua istri selain almarhumah Mamanya, kan?" isak Nisa saat Fahd menjelaskan bagaimana hukum pernikahannya jika mereka adalah saudara.
"Tapi bisa jadi Agung Sanjaya adalah duda ketika menikahi Mamanya Dina. Dan aku anak hasil hubungan gelap, karena itu dibuang." balas lelaki yang mengepalkan tangannya dan menarik napas dalam sambil perlahan melemahkan kepalan."Kak ... bukankah semuanya pasti akan ada hikmah dan tujuannya kenapa Allah membuat kisah seperti ini untuk kita?" Nisa berusaha menghibur suaminya meski dia merasa sakit dan tersindir dengan kalimat Fahd tentang hubungan gelap."Maafkan saya, Nisa ...." Tangan itu mengusap pipi basah istrinya lalu membawa dalam dekapan.Hanya anggukan disertai isakan halus dari Nisa yang semakin menenggelamkan kepala di dada Fahdillah."Kak Fahd yakin meneruskan pernikahan kita tanpa mencari kejelasan identitas ora'Perempuan tanpa identitas ditemukan meninggal dunia di kolong jembatan dengan bersimbah darah. Tidak ditemukan tanda kekerasan di tubuhnya. Diduga seorang tuna wisma yang kehilangan mengalami pendarahan usai melahirkan. Namun di mana janin yang dilahirkannya tidak ditemukan di sekitar lokasi. Kemungkinan sudah diambil atau diserahkan pada seseorang, karena tidak ditemukan bukti dari pantauan CCTV sama sekali.'Sebuah paragraf koran tiga puluh tahun silam, tepatnya tanggal saat ditemukannya bayi kecil di sebuah gerobak sampah milik pondok pesantren. Ustadz Fahdillah memejamkan mata saat menemukan satu bukti di perpustakaan Pondok pada kliping koran lama di tangannya."Belum tentu itu Mama Nandini, Kak! Coba cari berita lain? Em ... mungkin terekam jejak digital waktu itu?" Annisa yang mendampingi sang suami mencoba mengalihkan kesedihannya."Tiga puluh tahun lalu belum banyak berita online seperti sekarang Nisa .... Sudahlah, setid
"Kamu sudah menemukan suami dari Mbak Andin, Mas?" tanya Nastiti pada suaminya setelah amarahnya mereda beberapa saat lalu."Entahlah ... biarkan saja, toh mereka lebih memilih jalan hidup susah ketimbang tetap di keluarga Sanjaya. Ayah sudah nggak peduli lagi, dan memang itu yang diharapkan agar aku menjadi pewaris tunggal Sanjaya." kekeh Agung memeluk istrinya di pembaringan."Trus kenapa meninggalkan aku dan menikahi Nafa waktu itu?" ketusnya melengos saat akan dicium suaminya."Sayaaaang, kamu kan tahu Ayah bangkrut setelah kebakaran hebat yang melahap habis perusahaan miliknya? Dan jalan satu-satunya agar kembali kaya adalah menikahi Nafa dan mewarisi perusahaannya, terbukti, kan? Itu demi kamu, Sayangku!" Agung meraup habis bibir sang istri tanpa ampun.Keduanya kembali tenggelam dalam lautan asmara. Setelah satu jam sebelumnya baru saja berlabuh dan berhasil meredakan amarah Nastiti. Karena sempat salah faham menemukan s
"Papa, hentikan, Pa! Hentikan dan dengarkan Na, Pa!" teriak Aldina keras memegang lengan ayahnya yang sudah terangkat siap memukul Aldo."Papa juga tidak akan mendapatkan sepeser pun dari harta Mama Nafa! Na sudah mengambil alih semuanya tanpa sepengetahuan Papa! Jadi hentikan semua ini!" lanjutnya menatap tajam mata sang Papa yang mengerutkan dahi."Apa maksud kamu, Sayang?" tanya Agung berubah lembut pada putrinya. "Nisa, Kak Ustadz! Silakan masuk dulu! Al, bantu Mama masuk! Bi, jamu mereka seperti tamu istimewa kita!" Aldina memerintah semua orang di sekitarnya satu per satu seolah dialah ratu di istana Prameswari.Dia masuk terakhir kali dan langsung melakukan panggilan melalui telepon rumah. Tak ada yang tahu siapa yang dihubunginya. Semua orang telah berkumpul di ruang keluarga tanpa percakapan satu sama lain. Hanya terdiam menyelami pikiran mereka masing-masing. "Kak, em ... lebih tepatnya, Om Ustadz
"Ma! Mama!!" teriak Aldo panik, saat tiba-tiba tubuh Nastiti terkulai lemas di bahunya."Hhh ...." Embusan napas panjang Dina membuatnya muak, "dia cuma pingsan Al ... dua hari nggak makan, ini?" ucap Dina, melengos tak peduli dengan kondisi ibu tirinya itu. Wajahnya dingin dan bengis sangat kentara dari sorot mata."Bi! Tolong ambilkan minyak angin dan air hangat!" titahnya pada pelayan rumah yang biasa dipanggil Bibi di rumah itu.Nisa membisikkan sesuatu pada suaminya, dia meminta ijin berpendapat dan menenangkan Dina. Sahabatnya itu seperti telah kehilangan hati dan rasa empati pada sosok ibu yang sedang kesakitan itu.Lelaki bersorban itu mengangguk dengan senyuman. Nisa berdiri dan mendekat pada Dina yang mengerutkan dahi."Bisa kita bicara sebentar, Na? Empat mata," bisik perempuan bercadar itu tepat di telinga Aldina.Keduanya menjauh dari ruang keluarga dan menaiki tangga menuju salah satu
"Na!" pekiknya beriringan dengan suara letusan dan tubuh Dina terpental ke lantai.Nisa bersimpuh, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pun tak bisa dibendung lagi. Aldina tergeletak tak bergerak dengan mata terpejam. Pis tol yang dipegangnya bersama terlempar mengenai lemari dan masih mengepulkan asap tipis di ujungnya.Tubuh kekar sang Ustadz merengkuh penuh tubuh istrinya yang berguncang. Menghalanginya dari pemandangan yang membuatnya menggigil ketakutan. Tak ada kata yang diucapkannya, hanya sebuah sentuhan berulang di kepala Nisa.Orang-orang berdatangan setelah mendengar suara letusan dari dalam kamar. Mereka menatap sedih pada tubuh Dina yang tergolek di lantai."Dina! Sayang ... bangun Naaak! Buka matamu! Ini Papa, bangunlah, Sayaaang!" teriak Agung memeluk kepala putrinya dengan mengguncang tubuh lemah itu berulang."Apa yang kamu lakukan padanya?!" Se0asang mata menatap nyalang pada Nisa yang masih sesenggukan
'Tunggu rencana gue buat Lo, Nis ... Lo harus ngrasain apa yang gue rasain!' batinnya tersenyum miring."Gu–a–aku minta maaf Nis ...," ucap Aldo ragu memilih kata ganti yang tepat.Gadis yang terlihat sepasang mata saja itu mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya."Berarti gue boleh panggil Kak Fahd aja, kan, Nis? Kayak lo?" sahut Dina hendak mendekat ke arah pria yang dengan sigap menghindarinya."Maaf," ucapnya mengatupkan tangan dan menunduk. Berpindah berdiri di belakang Annisa."Eh? Kita kan saudara? Masa sih nggak boleh sentuhan? Bukankah kita punya darah yang sama?" Dahi Dina berkerut kebingungan dengan sika0 Fahdillah yang seperti sangat menghindari kontak fisik dengannya.Ya, setelah semua kisah diungkapkan oleh Pak Johan selaku pengacara keluarga Prameswari. Baik Dina, Ustadz Fahdillah dan juga Aldo serta Nisa melakukan tes DNA demi membuktikan asal usul masing-masing dari mereka.Fahdillah benar adalah anak dari Nandini Sanjaya–kakak perempuan Agung Sanjaya. Setelah ter
"Nisa? Kenapa kamu tiba-tiba dari jendela?" racau Fahdillah menoleh ke arah samping. Dia tengah memijit kepalanya yang terasa pening.Setelah berpamitan dengan istrinya, tak lama sesirang gadis cilik menawarkan botol air mineral yang diajajakan. Katanya sang ibu butuh biaya pengobatan. Rasa simpati Fahdillah membuatnya membeli semua air mineral yang dibawa gadis itu. Kemudian memberikannya secara cuma-cuma pada santri.Dia sempat meminum sedikit salah satunya yang diserahkan langsung khusus untuknya dari gadis kecil berhijab. Namun kemudian sang ustadz merasakan pusing dan tubuhnya memanas. Sebelum bertambah parah dan menyusahkan santri nantinya, dia memutuskan pulang. Dan ternyata Annisa baru saja memasuki halaman rumah usai belanja di warung.Melihat bidadari dunianya, pandangan dan jiwa kelelakian Fahdillah meningkat drastis. Terlebih sempat melihat kemesraan tetangga sebelah rumah yang sedang berciuman panas. Sang ustadz semakin tersulut apa yang sedari tadi terpantik. Entah kena
"Ayah ... Nisa pengen jenguk bunda di makam ...," pamitku pada lelaki yang sudah sejak dulu menggunakan kursi roda. Namaku Annisa Khairani, saat ini usiaku lima belas tahun, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama di boarding school. Tragedi maut enam tahun silam membuat keluarga kami hancur berantakan. Bunda dan kakakku tew*s seketika dalam kecelakaan itu. Ayah harus kehilangan dua kakinya yang terjepit body mobil. Dan aku selamat dalam dekapan bunda, hanya luka goresan ringan di kepala. "Iya ... pulangnya hati-hati ya, Nis? Jangan sampai Maghrib. Kamu harus kembali ke boarding school sebelum waktu Isya, kan?" pesan Ayah saat mencium tangannya dan diusap kepalaku. "Nisa!" suara seseorang memanggilku dari arah seberang jalan. Seketika aku menoleh dan sosok lelaki berperawakan tinggi, gagah berseragam SMA melambaikan tangannya. "Kak Aldo?" Aku sedikit terkejut dengan kemunculannya, lagi. Dia menyebrang dengan cepat menghampiriku. Senyumannya manis sekali. Dia kakak dari sa