"Ayah ... Nisa pengen jenguk bunda di makam ...," pamitku pada lelaki yang sudah sejak dulu menggunakan kursi roda. Namaku Annisa Khairani, saat ini usiaku lima belas tahun, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama di boarding school. Tragedi maut enam tahun silam membuat keluarga kami hancur berantakan. Bunda dan kakakku tew*s seketika dalam kecelakaan itu. Ayah harus kehilangan dua kakinya yang terjepit body mobil. Dan aku selamat dalam dekapan bunda, hanya luka goresan ringan di kepala. "Iya ... pulangnya hati-hati ya, Nis? Jangan sampai Maghrib. Kamu harus kembali ke boarding school sebelum waktu Isya, kan?" pesan Ayah saat mencium tangannya dan diusap kepalaku. "Nisa!" suara seseorang memanggilku dari arah seberang jalan. Seketika aku menoleh dan sosok lelaki berperawakan tinggi, gagah berseragam SMA melambaikan tangannya. "Kak Aldo?" Aku sedikit terkejut dengan kemunculannya, lagi. Dia menyebrang dengan cepat menghampiriku. Senyumannya manis sekali. Dia kakak dari sa
"Biasa aja kali ... panggil nama gue? Nggak usah pake embel-embel Kak, berasa tuwir gue!" "Wkwkwk ..." Tawa seluruh siswa di kantin sekolah menggelegar bersamaan dengan wajahku yang memerah dan menahan tangis. "Minggir nggak, lo? Sekali lagi lo berani ganggu Nisa? Lo berurusan sama gue!! Ingat itu!" Tiba-tiba suara Kak Aldo menghentikan gelak tawa kakak kelas dua dan lengannya melingkar di pundakku. Menggiringku ke tempat sepi di belakang sekolah. Dia menghapus air mataku yang berhasil menetes. "Makanya lo jangan jauh dari gue, Nis ... kalo mau ke kantin tunggu gue di kelas, Oke?" bisiknya lembut di telingaku. Aku hanya bergeming menunduk semakin tajam. Rasanya seperti ada desiran aneh yang menjalari hatiku. Apa ini? Aneh tapi nyaman. "Lo gakpapa 'kan, Nis?" tanya Dina menghampiriku di depan kelas. Dia adik Kak Aldo yang kebetulan sekelas denganku. "Gue kan udah bilang sama lo, Na? Jangan biarin Nisa ke kantin sendirian! Lo ke mana tadi?" omel Kak Aldo masih merangkulku ma
Itulah awal mula hancurnya hidupku. Semakin hari semakin terbiasa dengan melakukan dosa kecil. Pakaian yang semula panjang dan tebal dengan kerudung menutup perut sampai pan tat. Mulai terkikis."Emang nggak gerah, ya, Nis? Pakai seragam selebar itu?" tanya Dina yang entah kenapa mulai memakai hijab juga. Walau emang nggak selebar punyaku."Lama-lama terbiasa, kok! Awal-awal emang berasa panas banget. Tapi demi menjaga diri dari yang lebih panas kelak di akhirat. Kenapa nggak bertahan aja, sih? Hidup cuma sebentar ini? Nggak nyampe seratus tahun, kan?"Walau dalam hati ngerasa seperti munafik banget. Gimana enggak?Aku dulu juga ngrasain lebih dari itu. Bahkan sejak usia delapan tahun dipaksa pakai kerudung dan masuk pondok saat lulus SD.Tiga tahun di pesantren, bukannya tambah berilmu dan faham tentang agama. Yang ada malah makin tak terarah. Tak terkendali, seperti 'mblarah' kalau kata orang Jawa. Artinya tak mau diatur, seenaknya sendiri, terlepas tak terkendali.Bayangin aja! Se
Tapi anehnya, hiasan yang diberikan makhluk terlak–nat itu bikin ketagihan. Sampai akhirnya terus terulang dan terjadi berkali-kali. Tak terhitung lagi dengan sepuluh jari. Dua tahun di SMA, sebelum Aldo lulus sekolah hubungan kami berjalan. Banyak alasan yang keluar dari mulutku. Jika rasa candu itu kembali pasti mudah sekali mengatakan kebohongan pada Ayah. Sungguh seseorang tidak akan pernah terjatuh karena batu besar, tapi terpeleset hanya dengan sebuah kerikil yang dianggap remeh. Aku telah berani meremehkan dosa kecil berpacaran. Percaya dengan janji manis seorang yang belum halal. Sampai menjalin keharaman. Semua itu bermula dari hal kecil. Tak bisa menjaga aurat. Menginjak tahun ketiga di SMA adalah tahun paling berat. Kami harus jalanin LDR-an karena Aldo memutuskan kuliah di Singapura. Tapi beruntungnya dia nggak mau juga berjauhan lama-lama. Jadi setiap bulan dia pasti balik ke Indonesia buat melepas rindu. Dan jangan tanyakan apa yang kita lakukan jika sudah berjumpa.
"Nggak bisa, Mas! Ucapkan talak sekarang dan kamu bawa Nisa! Karena Nisa perempuan dan akan mencari ayah kandungnya untuk menikah nanti! Aku sudah nggak mau lagi hidup menderita, Mas!" Bunda berteriak di depan wajah Ayah. Pagi itu, Bunda bertengkar hebat dengan Ayah. Entah apa penyebabnya, aku dan Kak Rizal menangis berpelukan. Menyaksikan pertengkaran dua orang tua kami untuk pertama kalinya. Aku tak tahu apa yang tengah dibicarakan keduanya. Belumlah mengerti, usiaku baru delapan tahun. Dan Kak Rizal sepuluh tahun. Mungkin dia sudah mengerti tapi tetap tak bisa berbuat banyak untuk melerai mereka. "Nisa Sayaaang, Bunda sama Kak Rizal pergi dulu, ya? Nisa sama Ayah baik-baik, turuti perintah Ayah dan selalu dengarkan perkataan Ayah, ya, Sayang? Bunda pasti akan merindukanmu, muach! Muach!" Itulah pertemuan terakhirku dengan Bunda dan Kak Rizal. Kenapa aku baru mengingatnya sekarang? Setelah Bunda pergi bersama Kakak, Ayah mengejar karena aku menangis tak mau ditinggal dengan Ayah.
Waktu kecelakaan bersama Ayah aku tak mengenali diri sendiri. Ayah memberi tahuku bahwa bunda dan kakak meninggal. Karena Ayah takut jika mengatakan yang sebenarnya aku akan lebih banyak bertanya lagi.Pertengkaran sepuluh tahun silam sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kaki Ayah diamputasi adalah awal hancurnya biduk rumah tangga orang tuaku. Mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Aku ikut Ayah karena perempuan membutuhkan wali untuk pernikahannya kelak. Bunda membawa Kak Rizal yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.Aku tak mengingatnya sama sekali apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidup berdua dengannya tanpa bunda dan kakak."Apa selama ini Nisa masih berhubungan dekat dengan Kakak, Yah?" Dengan mengangsurkan dompet berisi foto yang kuduga itu kami berdua.'Sepanjang Ayah bercerita, sama sekali tak menyinggung Kak Rizal ataupun Bunda. Tapi kenapa ada potret kebersamaanku dengan kakak di dompet?'Ayah menggeleng dengan menunduk."Bundamu menikah lagi denga
Memasuki kamar, Ayah meninggalkanku setelah mengatakan tak boleh membuka jendela kamar, apapun yang terjadi. Aku mengikuti perintahnya dan duduk di tepi kasur. Mengamati setiap sudut kamarku.Buku tentang agama Islam, akidah, fiqih, tafsir Alhadits, dan tafsir Alquran berderet rapi di rak gantung yang menempel di dinding. Artinya benar kata Ayah bahwa aku selama ini memang perempuan baik-baik. Tak benar jika aku ini selebgram seperti dugaan sopir yang mengantarkan kami tadi.Aku melangkah ke meja belajar yang tertata cantik dengan tempelan berbagai ornamen origami di setiap pojokan. Buku pelajaran sekolah dan beberapa kamus Bahasa tertumpuk memenuhi meja.Sedikit membungkuk berusaha membuka laci bawah. 'Terkunci? Di mana aku biasa meletakkan kuncinya, ya?'Kutuang tempat pensil dari botol bekas yang dihiasi lukisan tangan warna-warni. Segala macam alat tulis berserak dan beberapa kunci ada di sana. Satu per satu
"Ayah ... sekarang, Ayah kerja apa?" Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi darinya."Bekerja di koperasi di Pondok Putra, Nis ..., Besok Ayah berangkat sekalian shalat Subuh di masjid dan pulang setelah Ashar. Apa kamu keberatan, harus ditinggal Ayah selama itu, besok?"Aku menggeleng, "apa Nisa boleh ikut ke Pondok bersama Ayah?" tanyaku lagi membuat Ayah sedikit terkejut.'Apa ini adalah hal baru untuk Ayah? Apa sebelumnya aku tak pernah ke Pondok?'"Tentu saja, Ayah senang kamu mau kembali ke sana lagi setelah sekian lama kamu mengatakan bosan di Pondok. Ah ... maafkan Ayah! Lupakan hal negatif mulai sekarang, sekalian mau berjamaah Subuh, ya?" Ayah menepis angin di depan wajahnya dan tersenyum menyambut baik niatanku.Aku hanya mengangguk dengan tersenyum menjawab ajakan Ayah untuk shalat Subuh berjamaah di masjid Pondok.Usai shalat Maghrib dilanjutkan Isya di kamar yang sengaja dijad