Itulah awal mula hancurnya hidupku. Semakin hari semakin terbiasa dengan melakukan dosa kecil. Pakaian yang semula panjang dan tebal dengan kerudung menutup perut sampai pan tat. Mulai terkikis.
"Emang nggak gerah, ya, Nis? Pakai seragam selebar itu?" tanya Dina yang entah kenapa mulai memakai hijab juga. Walau emang nggak selebar punyaku. "Lama-lama terbiasa, kok! Awal-awal emang berasa panas banget. Tapi demi menjaga diri dari yang lebih panas kelak di akhirat. Kenapa nggak bertahan aja, sih? Hidup cuma sebentar ini? Nggak nyampe seratus tahun, kan?" Walau dalam hati ngerasa seperti munafik banget. Gimana enggak? Aku dulu juga ngrasain lebih dari itu. Bahkan sejak usia delapan tahun dipaksa pakai kerudung dan masuk pondok saat lulus SD. Tiga tahun di pesantren, bukannya tambah berilmu dan faham tentang agama. Yang ada malah makin tak terarah. Tak terkendali, seperti 'mblarah' kalau kata orang Jawa. Artinya tak mau diatur, seenaknya sendiri, terlepas tak terkendali. Bayangin aja! Seperti burung yang habitatnya terbang bebas di langit lepas. Dengan teganya dipaksa dan dikurung dalam sangkar. Bener sih, niatnya baik. Biar nggak mati sia-sia di alam bebas dengan diburu manusia atau hewan lain. Dirawat, dikasih makan, sampai dikasih vitamin. Bahkan ada yang sampai dijadikan juara dan dapat sertifikat. Dapet duit karena keindahannya, suaranya, dan berbagai kompetisi lainnya. Sama seperti aku, dari kecil udah dimasukkan sangkar emas di penjara suci bernama pondok pesantren berbasis boarding school. Kadang tuh, ya? Aku merasa seperti burung dalam sangkar. Terlihat cantik bulunya. Merdu suaranya. Terjaga kehormatannya dan punya nilai plus di mata orang luar. Tapi asal kalian semua tahu, nih. Hati dan petunjuk dari Allah itu nggak bisa dipaksakan! Semua itu murni dari Tuhan, hak prerogatif yang nggak bisa diganggu gugat. Dan hanya yang dikehendaki Allah saja yang mendapatkan hidayah itu. Contoh nih, aku! Kurang apa coba, cara Ayah ngedidik? Tapi tetep aja tuh dengan kesombongan dan keras hatiku, hancur karena pergaulan? "Nis ... lo sayang kan ma gue?" Aldo genggam tanganku di atas pangkuannya. Waktu pertama kali masih malu-malu dan sedikit rasa sesal di hati setelah melakukannya. Emang mungkin remeh aja cuma pegangan tangan, 'kan? Aku ingat tentang salah satu hadits yang kurang lebih isinya. 'Masih lebih baik ditusuk dengan tombak dari api neraka yang membara, dari ubun-ubun sampai tembus ke ma lu an, daripada bersentuhan dengan yang bukan mahram.' Riwayat apa aku lupa. Yang jelas setelah pulang ke rumah, aku masih sempat shalat dua rekaat, shalat taubat. Banyak berdzikir dan minta ampunan. "Seneng banget anak ayah? Ada kabar baik apa, Sayang?" tanya ayah saat melihatku mesam-mesem sendirian di sofa ruang tamu. Membayangkan getaran tersengat aliran listrik saat pertama kali merasakan sentuhan lembut jemari Aldo. Dia menggenggam, memainkan kuku jari, hingga menautkannya. Mengecup punggung dan telapak tanganku. "Nggak nyangka gue bisa dapetin bidadari surga selembut dan secantik, lo, Nis ...," bisiknya lembut kembali mengecup tanganku. "Cie ... cie ... yang baru jadian!" "Si Boss mah, sekarang jadi alim, pacaran sama calon Ustazah, kita-kita mah remahan siap buang aja, ya nggak, sih?" "Lo aja kali remahan! Gue best of the best dari yang ter-the best lah ...," Teman-teman Aldo ngecengin di belakang aku dan Aldo. Tiba-tiba ngagetin muncul rame-rame dan bersiul. Reflek kutarik lagi tangan ini masuk ke dalam kerudung panjang di depan perut. Temen-temen geng Aldo dan Dina nyorakin kita yang mojok di kursi taman sekolah. Nggak berani menatap wajah mereka, cuma bisa menunduk malu. Aku merasa telah dihina dengan dibilang calon ustazah. Hati ini rasanya sakit. Sakit banget seperti ditusuk duri ribuan batang. Karena sejatinya aku masih jauh dari kata seorang yang dipedomani, apalagi seorang guru–ustazah. Nggak tau kenapa sesakit ini mengingat satu ayat yang sering dibacakan Ayah sebelum tidur. Yang kurang lebih artinya seperti ini. "Janganlah kalian dekat-dekat dengan zi na, karena sesungguhnya zi na itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan." (Q.S. Al-Isra':32) "Kak ... aku, maksudnya ... gue ... ke kelas dulu, ya Kak? Eh, Al?" Gugup bukan main rasanya. Belajar mengubah kata ganti aku-kamu jadi gue-elo yang pada akhirnya malah jadi kebiasaan sampai sekarang. Ingat dosa pegangan tangan. Ingat ayat larangan mendekati zi na. Sungguh rasanya hati ini gerimis. Apalagi mengingat pasti nggak bakal bisa ketemu Bunda kelak di surga jika aku terus melakukan dosa. Dikit dikit lama-lama jadi setinggi bukit. "Kenapa, Nis? Lo malu ketahuan, kita pegangan tangan doang 'kan?" Aldo kembali menahanku dengan mencengkram pergelangan tangan. "Setdah! Gitu banget idup lo, Nis! Dah kek di penjara aja? Semuanya dilarang, semuanya melanggar aturan? Trus buat apa idup lo di dunia yang indah ini? Kalo nggak lo nikmati?" Tawa salah satu dari mereka membuat yang lain juga ikut menertawakan aku. "Boleh kok, Nis ... asal kita sama-sama saling ridho, ya kan? Lo ridho, kan? Jangan nangis, ya?" Aldo berusaha membujuk biar aku nggak mengambil hati atas ucapan teman-temannya. Padahal pelupuk mata udah berasa mau tumpah aja tuh. Sudah berat, akhirnya jatuh deh tuh air mata tiada henti. Sampai-sampai Aldo memeneri pelukan, nepuk-nepuk bahu dan menyeka air mata di pipi. Yang lain semakin bersorak, tepuk tangan di belakang kita. Dari situ hubunganku makin intens. Berangkat pulang sekolah bareng. Aldo jaga aku banget. Dia tahu kalo bersentuhan aja dosa makanya antar jemput ganti pake mobil. Kalo aku bilang nggak mau, dia nurut. Jadi pacaranku sama sia bisa dibilang pacaran sehat, nggak ada hubungan fisik sama sekali. Bahkan dia juga mulai ikutan kajian-kajian. Nyampein ke aku apa yang barusan didapet dari sang penceramah. Dari situ aku semakin terlena dan percaya bahwa dia sayang sama aku. Bakalan jagain luar dan dalam. Maksudnya agama dan juga tingkah laku yang terlihat oleh orang lain. Tapi ternyata yang namanya iblis, setan laknat jahannam itu semakin gencar nyesatin anak turun Adam hingga keimanan lepas dari dalam hati. Setelah saling genggam tangan hal selanjutnya adalah Aldo kepengin lihat mahkota yang selama ini telah terjaga. Bukan mahkota dalam arti khusus tapi mahkota perempuan yang sebenarnya, rambut. "Nis ... kita cuma berdua di sini, lo udah percaya sama gue, kalo gue nggak bakal ninggalin lo dan nggak bakal buat lo rusak? Gue bakal jagain lo, selamanya ...," "Iya, makasih udah buat gue bisa terbang bebas, melepaskan gue dari sangkar yang dibuat ayah ke gue. Lo jadi penuntun dan pahlawan buat kebebasan gue," "Sama-sama, Sayaaang!" Mendengar kata sayang darinya, berasa jantung ini berhenti berdetak. Tatapan saling beradu, dua tangannya sudah pegang bahuku. Dia masukkan anak-anak rambut yang keluar dari kerudung yang sedikit tersingkap. "Boleh lihat pesona kemilau mahkota lo lagi, Nis?" Perlahan tapi pasti, aku melepas peniti di pangkal dagu. Tanpa mengalihkan tatapan mata ke mata Aldo yang berbinar. Dia elus perlahan, lembut dan sedikit menarik ikatannya. Geraian rambut yang selama ini tak pernah terlihat lelaki selain ayah, dalam hitungan menit tergerai di punggung. Begitu seterusnya setiap kali bertemu. Mulai dari saling menggenggam, menautkan jari. Makin dekat dengan merangkul, lama-lama pelukan. Sampai pada suatu sore, hujan deras dan kebetulan aku ditinggalin sama Dina di apartemen Aldo. Menghindari papa mama mereka yang sedang di Indonesia. Biasanya keliling Eropa dan Asia ngurusin bisnis. Pulang nggak tentu sebulan sekali kadang malah setahun cuma tiga kali, kata Dina. Hingga malam panas itu pertama kalinya dicium Aldo, mulanya di pipi. Merambat turun ke bibir. Hingga tak sadar, blazer yang kupake terlepas. Tubuh Aldo mendadak polos tanpa kaos. Entah siapa yang memulai dan tangan siapa yang melepas kain penutup di tubuh kami. Adegan panas yang harusnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan halal terjadi malam itu. "Apa yang lo lakuin ke gue, Al? Gimana kalo gue sampe hamil? Hiks ..." Kupukul dada polos Aldo dengan menangis histeris. "Lo sendiri yang mau, kan, tadi? Gue pake pengaman, Nis ... santai dong ..., lagian ini 'kan belum larut banget? Masih jam sepuluh? Sana gih beberes, biar gue anterin! Ntar kita pikir di jalan alasan buat bokap, lo!" jawabnya enteng dengan beringsut turun dari ranjang. Penyesalan hanyalah penyesalan yang tak akan pernah bisa memperbaiki kehormatanku ... Hidupku hancur!Tapi anehnya, hiasan yang diberikan makhluk terlak–nat itu bikin ketagihan. Sampai akhirnya terus terulang dan terjadi berkali-kali. Tak terhitung lagi dengan sepuluh jari. Dua tahun di SMA, sebelum Aldo lulus sekolah hubungan kami berjalan. Banyak alasan yang keluar dari mulutku. Jika rasa candu itu kembali pasti mudah sekali mengatakan kebohongan pada Ayah. Sungguh seseorang tidak akan pernah terjatuh karena batu besar, tapi terpeleset hanya dengan sebuah kerikil yang dianggap remeh. Aku telah berani meremehkan dosa kecil berpacaran. Percaya dengan janji manis seorang yang belum halal. Sampai menjalin keharaman. Semua itu bermula dari hal kecil. Tak bisa menjaga aurat. Menginjak tahun ketiga di SMA adalah tahun paling berat. Kami harus jalanin LDR-an karena Aldo memutuskan kuliah di Singapura. Tapi beruntungnya dia nggak mau juga berjauhan lama-lama. Jadi setiap bulan dia pasti balik ke Indonesia buat melepas rindu. Dan jangan tanyakan apa yang kita lakukan jika sudah berjumpa.
"Nggak bisa, Mas! Ucapkan talak sekarang dan kamu bawa Nisa! Karena Nisa perempuan dan akan mencari ayah kandungnya untuk menikah nanti! Aku sudah nggak mau lagi hidup menderita, Mas!" Bunda berteriak di depan wajah Ayah. Pagi itu, Bunda bertengkar hebat dengan Ayah. Entah apa penyebabnya, aku dan Kak Rizal menangis berpelukan. Menyaksikan pertengkaran dua orang tua kami untuk pertama kalinya. Aku tak tahu apa yang tengah dibicarakan keduanya. Belumlah mengerti, usiaku baru delapan tahun. Dan Kak Rizal sepuluh tahun. Mungkin dia sudah mengerti tapi tetap tak bisa berbuat banyak untuk melerai mereka. "Nisa Sayaaang, Bunda sama Kak Rizal pergi dulu, ya? Nisa sama Ayah baik-baik, turuti perintah Ayah dan selalu dengarkan perkataan Ayah, ya, Sayang? Bunda pasti akan merindukanmu, muach! Muach!" Itulah pertemuan terakhirku dengan Bunda dan Kak Rizal. Kenapa aku baru mengingatnya sekarang? Setelah Bunda pergi bersama Kakak, Ayah mengejar karena aku menangis tak mau ditinggal dengan Ayah.
Waktu kecelakaan bersama Ayah aku tak mengenali diri sendiri. Ayah memberi tahuku bahwa bunda dan kakak meninggal. Karena Ayah takut jika mengatakan yang sebenarnya aku akan lebih banyak bertanya lagi.Pertengkaran sepuluh tahun silam sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kaki Ayah diamputasi adalah awal hancurnya biduk rumah tangga orang tuaku. Mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Aku ikut Ayah karena perempuan membutuhkan wali untuk pernikahannya kelak. Bunda membawa Kak Rizal yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.Aku tak mengingatnya sama sekali apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidup berdua dengannya tanpa bunda dan kakak."Apa selama ini Nisa masih berhubungan dekat dengan Kakak, Yah?" Dengan mengangsurkan dompet berisi foto yang kuduga itu kami berdua.'Sepanjang Ayah bercerita, sama sekali tak menyinggung Kak Rizal ataupun Bunda. Tapi kenapa ada potret kebersamaanku dengan kakak di dompet?'Ayah menggeleng dengan menunduk."Bundamu menikah lagi denga
Memasuki kamar, Ayah meninggalkanku setelah mengatakan tak boleh membuka jendela kamar, apapun yang terjadi. Aku mengikuti perintahnya dan duduk di tepi kasur. Mengamati setiap sudut kamarku.Buku tentang agama Islam, akidah, fiqih, tafsir Alhadits, dan tafsir Alquran berderet rapi di rak gantung yang menempel di dinding. Artinya benar kata Ayah bahwa aku selama ini memang perempuan baik-baik. Tak benar jika aku ini selebgram seperti dugaan sopir yang mengantarkan kami tadi.Aku melangkah ke meja belajar yang tertata cantik dengan tempelan berbagai ornamen origami di setiap pojokan. Buku pelajaran sekolah dan beberapa kamus Bahasa tertumpuk memenuhi meja.Sedikit membungkuk berusaha membuka laci bawah. 'Terkunci? Di mana aku biasa meletakkan kuncinya, ya?'Kutuang tempat pensil dari botol bekas yang dihiasi lukisan tangan warna-warni. Segala macam alat tulis berserak dan beberapa kunci ada di sana. Satu per satu
"Ayah ... sekarang, Ayah kerja apa?" Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi darinya."Bekerja di koperasi di Pondok Putra, Nis ..., Besok Ayah berangkat sekalian shalat Subuh di masjid dan pulang setelah Ashar. Apa kamu keberatan, harus ditinggal Ayah selama itu, besok?"Aku menggeleng, "apa Nisa boleh ikut ke Pondok bersama Ayah?" tanyaku lagi membuat Ayah sedikit terkejut.'Apa ini adalah hal baru untuk Ayah? Apa sebelumnya aku tak pernah ke Pondok?'"Tentu saja, Ayah senang kamu mau kembali ke sana lagi setelah sekian lama kamu mengatakan bosan di Pondok. Ah ... maafkan Ayah! Lupakan hal negatif mulai sekarang, sekalian mau berjamaah Subuh, ya?" Ayah menepis angin di depan wajahnya dan tersenyum menyambut baik niatanku.Aku hanya mengangguk dengan tersenyum menjawab ajakan Ayah untuk shalat Subuh berjamaah di masjid Pondok.Usai shalat Maghrib dilanjutkan Isya di kamar yang sengaja dijad
"Nisa!" Seseorang berlari dan tiba-tiba memeluk bahkan sedikit mengangkat tubuhku ke atas."Gue kangen banget sama lo, Sayang ... syukurlah lo nggak kenapa-napa karena kecelakaan itu-" Dia berbisik dan mencium kepalaku.Dengan kuat aku mendorongnya hingga sedikit jauh dan ucapannya tertahan."Siapa kamu? Mulai sekarang, jangan pernah lagi menemuiku! Atau aku akan teriak sekarang?" gertakku memberi ancang-ancang ingin berteriak, membuka mulut sedikit dan menoleh pada kerumunan tukang ojek di seberang jalan.Lelaki yang lebih tinggi dariku itu mundur dan mengangkat tangannya setinggi perut. Seolah mengisyaratkan agar aku tetap tenang dan diam."Nis? Lo nggak ngenalin gue? Lo nggak kangen sama gue?"Aku hanya menggeleng dan tak berani menatap wajahnya lagi. Perlahan mundur dan berbalik ke arah Pondok lagi sedikit berlari. Aku merasa lega dia bergeming di tempatnya dan tak mengejarku.Untuk
"Nisa! Alhamdulillah ... ternyata lo selamat dan masih hidup!" Seorang perempuan memelukku sambil menangis saat pintu terbuka.'Siapa lagi dia? Aku tak ingat!'"Kamu siapa? Maaf, aku nggak ingat sama sekali," ucapku melepaskan pelukannya.Aku memindai sosok di ambang pintu dari atas hingga bawah. Perempuan cantik berhijab tipis dan ujungnya diikat ke belakang tengkuk. Menampilkan lekuk dadanya yang tertutup kaos. Memakai celana yang menempel lekat di dua kaki jenjangnya. Tas selempang yang memperjelas belahan miliknya tak tertutup hijab.'Astagfirullah! Inikah yang dikatakan golongan Al-mutabarrijat itu? Berpakaian tapi te lan jang?'"Oh Em Ji!! Lo amnesia, Nis? Jadi lo nggak inget siapa gue?" pekiknya terkejut menutup mulut yang menganga lebar, dengan mata melotot menahan dua bahuku.Aku hanya meresponnya dengan gelengan. Ayah mempersilakan dia masuk dan duduk di kursi tamu. Dia bercerita tentang te
Aku meletakkan buku harian di atas meja dan mendongak berdiri di bawah rak yang menggantung. Kuambil salah satu judul tentang fiqih perempuan. Dari sela-sela barisan depan ternyata ada beberapa baris di belakangnya. Aku menutupi buku berjudul ....Nafasku tercekat melihat cover yang baru saja kutarik dari balik tafsir Alhadits. Sebuah novel dengan model wanita dan pria dewasa sedang, ah ... rasanya aku tak berani menatapnya. Novel berbahasa Inggris, kubuka sampulnya dan tertulis dari seseorang bernama Nathan, sahabat Aldo Sanjaya.Kuturunkan semua buku tentang ilmu agama dari rak, lalu mengeluarkan semua novel, buku, majalah bahkan kaset video compact disk dari baris belakang. Semuanya kuserakkan di lantai kamar. Lalu menata kembali jendela dunia bermanfaat ilmu bekal di akhirat kembali ke tempat semula.Menatap berbagai macam alat yang merusak diriku selama bertahun- tahun lalu, berhamburan di lantai. Aku hanya bisa menggeleng. Kucoba berjo