Share

#4

Tapi anehnya, hiasan yang diberikan makhluk terlak–nat itu bikin ketagihan. Sampai akhirnya terus terulang dan terjadi berkali-kali. Tak terhitung lagi dengan sepuluh jari. Dua tahun di SMA, sebelum Aldo lulus sekolah hubungan kami berjalan.

Banyak alasan yang keluar dari mulutku. Jika rasa candu itu kembali pasti mudah sekali mengatakan kebohongan pada Ayah.

Sungguh seseorang tidak akan pernah terjatuh karena batu besar, tapi terpeleset hanya dengan sebuah kerikil yang dianggap remeh.

Aku telah berani meremehkan dosa kecil berpacaran. Percaya dengan janji manis seorang yang belum halal. Sampai menjalin keharaman. Semua itu bermula dari hal kecil. Tak bisa menjaga aurat.

Menginjak tahun ketiga di SMA adalah tahun paling berat. Kami harus jalanin LDR-an karena Aldo memutuskan kuliah di Singapura. Tapi beruntungnya dia nggak mau juga berjauhan lama-lama. Jadi setiap bulan dia pasti balik ke Indonesia buat melepas rindu.

Dan jangan tanyakan apa yang kita lakukan jika sudah berjumpa. Bahkan dia sudah beli apartemen untukku dari hasil tabungannya. Seharian penuh kita habiskan seperti pasangan suami istri di sana.

Karena sempat terima tawaran jadi selebgram hijaber yang kekinian. Lambat laun gaya berpakaianku pun mengikuti tren remaja jaman now. Tapi jangan salah? Itu cuma kalo ada job keluar dan dapet ijin dari Ayah. Dari rumah tetap panjang kali lebar yang ditampakkan. Setelah itu? Tahu sendirilah gimana?

"Kamu sekarang sepertinya banyak baju baru, ya, Nis? Apa kamu kerja part time?" tanya Ayah mulai curiga dengan barang-barang yang selalu baru dan tampak glamour. 

Cari aman, kujawab aja sekenanya yang masuk akal.

"Iya, Ayah ... ngajar ngaji keponakannya Dina. Alhamdulillah dikasih lebih, kadang malah diajak belanja juga sama Mamanya Dina, Yah ...," bohongku yang kesekian kalinya.

Makin ke sini makin banyak membual dan makin numpuk dosa-dosa kecil. Bahkan numpuk dosa besar juga, zi-na.

"Alhamdulillah ... semoga berkah untuk kamu, Nis ...," kata Ayah. Berhasil membuatku meringis kaku mengaminkan sambil berpamitan.

Merasa tertampar dengan perkataan ayah yang tetap berdoa kebaikan untukku. Padahal aku telah banyak melenceng dari agama yang kupelajari selama ini.

"Dijemput Dina lagi, kan, Nis?" tanya Ayah lagi sebelum aku bener-bener keluar pintu gerbang.

"Iya, Ayah ... Dina nunggu di gang! Assalamualaikum!" balasku cepet-cepet jalan ke arah gang depan rumah.

Kalo biasanya aku dijemput Aldo selama ini. Maka setelah dia nggak di sini lagi, Dina yang selalu anter jemput. Tapi kali ini beda, dia jemput karena akan ke Bandara. Aku berencana terbang ke Singapura nyusulin Aldo. Katanya dia tengah ujian, jadi bulan ini gantian aku yang ke sana buat temu kangen.

Aku semakin merasa bebas dan benar-benar lepas dari yang namanya penjara aturan Ayah. Dan sudah lama juga nggak jenguk makam Bunda. Anehnya justru aku nggak sesedih waktu dulu. Mungkin karena udah tambah umur kali ya? Jadi nggak kekanakan lagi dan udah nggak butuh kasih sayang sosok Bunda. Kan udah ada Aldo yang selalu beri kasih sayang berlebih dibanding Ayah Bunda?

Sweet seventeen yang katanya usia paling manis dan menyenangkan. Saatnya foya-foya, hura-hura, dan happy-happy menikmati semua yang dulunya dilarang jadi diperbolehkan saat usia sudah tujuh belas tahun.

Salah satunya ini tuh, bisa bikin passpor dan visa ke luar negeri tanpa dampingan orang tua. Dan aku mulai belajar nyetir dari Dina. Rencananya duit hasil bikin konten mau kupake beli mobil nanti setelah pulang dari Singapura. Mobil diparkir di apartemen, trus pulang pergi naik taksi online atau nebeng Dina, deh. Jadi aman, Ayah nggak bakalan curiga.

"Bener ini nomornya, Na?" Aku dan Dina udah nyari alamat apartemen tempat Aldo tinggal di kota berlambang Merlion ini, tapi udah hampir sepuluh tempat, nggak ada yang bernama Aldo Sanjaya.

"Coba Lo telpon nomor dia, deh? Masih belum aktif, juga?"

Nggak hentinya aku bertanya sepanjang jalan kota Singapura naik taksi dari Bandara Changi, sepanjang siang. Alamat yang diberikan Aldo kata si sopir taksi nggak ada. Terpaksa deh aku samperin aja di kampusnya. Dia bilang lagi ujian, kan?

Niatnya sih bikin surprise, tapi malah nyasar nyari alamat. Dah kayak lagu aja 'kan hidup ini. Hahaha. Di bawa seneng aja, deh. Lagipula mau ketemu ayang beb masak bete, sih? Ciieeee ...

Kemeja ketat, ditutup blazer tanpa lengan yang panjangnya selutut. Celana jeans belel berpadu dengan sneakers biru cerah. Kerudung pasmina yang diiket ke leher jenjangku sampai kelihatan lekukannya. Ditambah bahu  berhias slingbag merk brand terkenal hadiah dari Aldo. Berasa perfect penampilanku, nggak terkalahkan. Pasti my Ayang Beb bakal gamon sama aku. Cihuuui.

"Na, dia jurusan apa, sih?"

"Nah loh! Lo yang pacarnya aja ampe nggak tau? Skidipapap aja sih, Lo kerjaannya! Noh si Doi!" tunjuknya dengan dagu menatap satu objek jauh di depan.

Pandanganku mengikuti ke mana arahnya. Dari belakang sih gesturnya emang sama. Tapi di depannya seorang bule cantik berambut coklat sedang ketawa ketiwi. Siapa cewek blasteran negeri panda itu?

Aku terbengong dan diam di tempat. Tak berani melangkah lebih dekat. Lihat aja dulu, apa yang sebenernya mereka berdua lakukan di tempat sedikit sepi ini?

Menjorok ke lorong sempit, di ujung perpustakaan kampus. Sejauh mata memandang dari tempatku berdiri nggak ada orang lain lagi.

"What the ..., Shit!!!" umpatan kasar keluar gitu aja.

Aldo menyelipkan rambut coklat cewek bule itu ke belakang telinga. Si bule tersipu malu dah kayak kulit ba bi aja tuh kulit! Tanganku mngepal erat. Gigi gemeletuk dan emosiku udah nyampe ubun-ubun siap diledakkan.

"Tenang dulu, Nis ... mungkin aja mereka cuma temen, kan? Kita liat dulu apa selanjutnya. Kita dah jauh-jauh bikin kejutan ke sini. Jangan sampai gagal karena kita tersulut emosi yang belum pasti. Oke? Tarik nafas ... hembuskan!"

Sialan nih temen satu! Dikira mau lahiran apa? Tarik nafas buang tarik nafas buang?

Tapi tak urung kulakuin juga sih, karena adegan dua cecunguk itu nggak kayak bayanganku. Bakal ada kissing or lainnya yang lebih bikin eneg banget!

Cowok berkemeja putih dengan corak brand mahal itu merogoh saku celananya. Menempelkan ponsel di telinga dan menoleh ke arahku.

Dengan cepat Dina nutupin pandanganku di belakang dia yang membelakangi Aldo. Seolah kita sekarang berjalan menjauhi mereka berdua. Mencari jalan lain.

"Nisaaaa?"

Terlambat! Dia terengah menghentikan langkahku. Menahan bahu lalu memeluk erat dengan tawanya kegirangan.

Kudorong tubuhnya kuat-kuat lalu satu tamparan keras tepat di pipinya.

"Gue benci sama lo, Al! Kita PUTUS!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status