"Nisa! Alhamdulillah ... ternyata lo selamat dan masih hidup!" Seorang perempuan memelukku sambil menangis saat pintu terbuka.
'Siapa lagi dia? Aku tak ingat!'"Kamu siapa? Maaf, aku nggak ingat sama sekali," ucapku melepaskan pelukannya.Aku memindai sosok di ambang pintu dari atas hingga bawah. Perempuan cantik berhijab tipis dan ujungnya diikat ke belakang tengkuk. Menampilkan lekuk dadanya yang tertutup kaos. Memakai celana yang menempel lekat di dua kaki jenjangnya. Tas selempang yang memperjelas belahan miliknya tak tertutup hijab.'Astagfirullah! Inikah yang dikatakan golongan Al-mutabarrijat itu? Berpakaian tapi te lan jang?'"Oh Em Ji!! Lo amnesia, Nis? Jadi lo nggak inget siapa gue?" pekiknya terkejut menutup mulut yang menganga lebar, dengan mata melotot menahan dua bahuku.Aku hanya meresponnya dengan gelengan. Ayah mempersilakan dia masuk dan duduk di kursi tamu. Dia bercerita tentang teAku meletakkan buku harian di atas meja dan mendongak berdiri di bawah rak yang menggantung. Kuambil salah satu judul tentang fiqih perempuan. Dari sela-sela barisan depan ternyata ada beberapa baris di belakangnya. Aku menutupi buku berjudul ....Nafasku tercekat melihat cover yang baru saja kutarik dari balik tafsir Alhadits. Sebuah novel dengan model wanita dan pria dewasa sedang, ah ... rasanya aku tak berani menatapnya. Novel berbahasa Inggris, kubuka sampulnya dan tertulis dari seseorang bernama Nathan, sahabat Aldo Sanjaya.Kuturunkan semua buku tentang ilmu agama dari rak, lalu mengeluarkan semua novel, buku, majalah bahkan kaset video compact disk dari baris belakang. Semuanya kuserakkan di lantai kamar. Lalu menata kembali jendela dunia bermanfaat ilmu bekal di akhirat kembali ke tempat semula.Menatap berbagai macam alat yang merusak diriku selama bertahun- tahun lalu, berhamburan di lantai. Aku hanya bisa menggeleng. Kucoba berjo
Satu bulan berlalu dengan begitu cepat. Semuanya yang berhubungan dengan keburukan telah aku musnahkan. Hanya belum bisa menemukan kunci pintu lemari sisi kiri. Dan tentang ponsel itu masih tersimpan rapi di dalam slingbag itu.Setiap pagi hingga sore seperti jam kerja Ayah, aku selalu berada di Pondok Putri. Mengikuti kajian di kelas umum dan ikut makan bersama santri yang lain juga. Mencari pelebur dosa-dosa yang aku perbuat sebelumnya. Sadar semua ilmu yang kuperoleh tak sebanding dengan amalanku selama ini.Aku putuskan memulai dari nol dan menutup wajahku agar tak terlihat orang lain dengan bercadar. Karena semakin sering aku berjalan di lingkungan masyarakat luar Pondok. Mereka semakin yakin bahwa aku adalah selebgram yang mereka cari selama ini, An Kha.Dalam salah satu catatan harianku di buku. Aku menuliskan bahwa memang benar, menerima tawaran menjadi terkenal melalui brand busana muslim. Nama An Kha sendiri adalah gabungan da
Dengan bergetar hebat, tanganku memegang strip yang telah kucelupkan dalam wadah uri ne. Sedikit memejamkan mata dan menarik nafas panjang sembari berdoa dalam hati semoga hasilnya negatif. Mengintip perlahan lalu mengerjap menatap dua garis merah yang jelas di tanganku.Tubuhku rasanya seperti tak bertulang lagi. Jantung bergemuruh hebat, gerimis membasahi pipi semakin deras dengan isakan tertahan. Aku putar keran air di bak kamar mandi untuk meredam suara tangisku yang meraung keras. Kepalaku terus menggeleng dan tangan kupukulkan ke perut berkali-kali. Semua gerakanku terhenti kala sebuah cuplikan nasehat terlintas di kepalaku. Sedikit lupa bagaimana yang benar, tapi ....'Kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan.''Tapi perempuan sebenarnya adalah makhluk Allah yang diberi banyak kemurahan dan kefadholan oleh-Nya yang tidak diberikan pada seorang lelaki.''Kebanyakan perempuan tidak mensyukurinya, dan just
"Ayah ... Ayah? Ayaaah!! Bangun Ayah! Ayaaah!!!" kuguncang lengan Ayah yang dingin di kamarnya Subuh ini.Tanpa berpikir panjang aku berlari menuju Pondok mencari bantuan. Di pos keamanan ada dua santri dan seorang Ustadz yang berjaga dan langsung mengikutiku berlari kembali ke rumah.Aku menangis sepanjang jalan tanpa mengenakan cadar, saking paniknya. Tubuh Ayah dingin dan kaku, matanya terpejam dan aku tak merasakan detak jantungnya lagi."Ayah ... Nisa mohon bangunlah! Ayah! Nisa membutuhkan Ayah ...," tangisku pecah saat seorang Ustadz memeriksa keadaannya dan menggeleng sedih."Innalillahi wa inna ilaihi roji' un. Beliau telah tiada, Ukhti," kata Ustadz bernama Fahdillah itu."Tidak ... Ayah!" teriakku tak mampu lagi menahan raungan.Mengguncang tubuhnya yang kaku tak bergerak. Memeluk dan menempelkan telingaku di dadanya yang tak lagi berdenyut. Mencium dua matanya yang tak lagi memb
Suara adzan berkumandang menandakan hari berganti malam. Alunan panggilan Allah untuk hamba-Nya yang beriman itu terdengar seperti lagu duka untukku. Bagai mimpi di siang bolong, Ayah pergi setelah dia tahu hinanya perbuatanku. Dia pergi membawa corengan aib di wajah dari putrinya sendiri. Allah ... 'Mengapa harus Ayah yang Engkau panggil lebih dulu? Apa yang bisa kulakukan tanpa dia di sisiku dalam keadaan seperti ini?' "Maafkan Ayah, Nis ... Sejak berpisah dengan Bunda, Ayah tak lagi banyak menemani dan mendengarkan keluh kesahmu, Sayang ... maafkan Ayah, ya?" Kalimat terakhir Ayah semalam sebelum aku kembali ke kamar untuk tidur. "Kamu sudah mengantuk, Nis? Bisa temani Ayah sebentar lagi?" cegahnya menahan lenganku yang baru saja mencium punggung tangan keriput itu. Aku hanya mengangguk dan Ayah meminta dipeluk lalu menge
"Apa? Aauuwh!" Gerakan dudukku yang tiba-tiba membuat infus di tangan terasa nyeri dan darah merembes ke perban perekatnya."Hati-hati, Nisa ...," omel santri tadi melongok ke tirai memanggil perawat yang didatangkan khusus dari tenaga medis terlatih dengan bayaran sukarela."Mbak tahu pasti kamu lagi kacau banget, ya? Habis kecelakaan, kehilangan Ayah, sekarang malah harus menikah buru-buru? Tapi itu semua demi almarhum Ayah kamu, Nis ... Mbak dengar itu salah satu wasiatnya agar disegerakan menikahi kamu. Ustadz Fahd faham bahwa tak baik menunda wasiat untuk dikerjakan, jadi jalani dengan niat karena ibadah, ya? Allah pasti memberi kemudahan untuk kalian, Mbak yakin, Nis!" ujar perawat yang biasa dipanggil Mbak Gadis itu panjang lebar sambil melepaskan infus di tanganku.Aku terdiam mencerna kalimatnya dengan menatap kosong.'Apakah aku harus menjalani pernikahan ini? Sedangkan sepemahamanku hukumnya tidaklah sah bahkan batal
"Janin dalam rahim Nisa adalah benih dari Aldo Sanjaya, orang yang sama dengan yang Kak Fahd kenalkan sebagai Kakak kandung Nisa dua hari yang lalu," Aku mencoba bicara jujur pada Ustadz Fahdilah pagi ini.Setelah mengatakannya pikiranku sibuk dengan ingatan dua hari lalu.Saat ijab kabul akhirnya dilakukan sore hari menjelang waktu Maghrib. Sederhana saja, hanya menikah secara agama sekaligus negara dengan mengisi keterangan untuk sidang di pengadilan agama esok harinya, karena aku masih di bawah umur. Katanya minimal batas usia perempuan adalah sembilan belas tahun. Aku baru menginjak delapan belas tahun lebih satu bulan, tepat saat aku mengalami kecelakaan.Semua prosesi selesai hanya dalam satu jam dan Ustadz Fahd membawaku kembali ke rumah ayah. Dia mengatakan bahwa ini adalah untuk melindungi dan menutup aibku, agar tidak ada yang mengalami kisah sama sepertiku lagi nantinya."Bagaimana bisa mencegah hal ini kembali terja
POV FAHDILLAHTiga tahun belajar di Madinah untuk memperdalam ilmu Alquran dan Alhadits, Alhamdulilah sekarang saatnya aku bisa kembali ke Indonesia, tanah air tercinta. Meski begitu aku tidak tahu terlahir dari keluarga mana. Karena dari penuturan Abah Ridwan dan Umma Aminah, aku diserahkan oleh seorang pemulung yang menemukan bayi di atas tumpukan kardus sampah miliknya.Dibesarkan tanpa orang tua kandung bersama yatim piatu lainnya di Pondok Pesantren membuat aku merasa begitu beruntung. Selain dapat menempuh pendidikan secara cuma-cuma di luar negeri, untuk menunjang kehidupan dunia. Otomatis mendapatkan ilmu sebagai bekal menghadapi akhirat nanti.Allah menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah pada-Nya semata. Dunia itu adalah permainan. Dunia adalah kesenangan yang fana' tidak kekal dan hanya sementara. Begitu kira-kira yang ada dalam pemikiranku selama ini. Bahkan untuk memandang sesuatu yang bukan milikku. Selalu menund