"Ayah ... Ayah? Ayaaah!! Bangun Ayah! Ayaaah!!!" kuguncang lengan Ayah yang dingin di kamarnya Subuh ini.Tanpa berpikir panjang aku berlari menuju Pondok mencari bantuan. Di pos keamanan ada dua santri dan seorang Ustadz yang berjaga dan langsung mengikutiku berlari kembali ke rumah.Aku menangis sepanjang jalan tanpa mengenakan cadar, saking paniknya. Tubuh Ayah dingin dan kaku, matanya terpejam dan aku tak merasakan detak jantungnya lagi."Ayah ... Nisa mohon bangunlah! Ayah! Nisa membutuhkan Ayah ...," tangisku pecah saat seorang Ustadz memeriksa keadaannya dan menggeleng sedih."Innalillahi wa inna ilaihi roji' un. Beliau telah tiada, Ukhti," kata Ustadz bernama Fahdillah itu."Tidak ... Ayah!" teriakku tak mampu lagi menahan raungan.Mengguncang tubuhnya yang kaku tak bergerak. Memeluk dan menempelkan telingaku di dadanya yang tak lagi berdenyut. Mencium dua matanya yang tak lagi memb
Suara adzan berkumandang menandakan hari berganti malam. Alunan panggilan Allah untuk hamba-Nya yang beriman itu terdengar seperti lagu duka untukku. Bagai mimpi di siang bolong, Ayah pergi setelah dia tahu hinanya perbuatanku. Dia pergi membawa corengan aib di wajah dari putrinya sendiri. Allah ... 'Mengapa harus Ayah yang Engkau panggil lebih dulu? Apa yang bisa kulakukan tanpa dia di sisiku dalam keadaan seperti ini?' "Maafkan Ayah, Nis ... Sejak berpisah dengan Bunda, Ayah tak lagi banyak menemani dan mendengarkan keluh kesahmu, Sayang ... maafkan Ayah, ya?" Kalimat terakhir Ayah semalam sebelum aku kembali ke kamar untuk tidur. "Kamu sudah mengantuk, Nis? Bisa temani Ayah sebentar lagi?" cegahnya menahan lenganku yang baru saja mencium punggung tangan keriput itu. Aku hanya mengangguk dan Ayah meminta dipeluk lalu menge
"Apa? Aauuwh!" Gerakan dudukku yang tiba-tiba membuat infus di tangan terasa nyeri dan darah merembes ke perban perekatnya."Hati-hati, Nisa ...," omel santri tadi melongok ke tirai memanggil perawat yang didatangkan khusus dari tenaga medis terlatih dengan bayaran sukarela."Mbak tahu pasti kamu lagi kacau banget, ya? Habis kecelakaan, kehilangan Ayah, sekarang malah harus menikah buru-buru? Tapi itu semua demi almarhum Ayah kamu, Nis ... Mbak dengar itu salah satu wasiatnya agar disegerakan menikahi kamu. Ustadz Fahd faham bahwa tak baik menunda wasiat untuk dikerjakan, jadi jalani dengan niat karena ibadah, ya? Allah pasti memberi kemudahan untuk kalian, Mbak yakin, Nis!" ujar perawat yang biasa dipanggil Mbak Gadis itu panjang lebar sambil melepaskan infus di tanganku.Aku terdiam mencerna kalimatnya dengan menatap kosong.'Apakah aku harus menjalani pernikahan ini? Sedangkan sepemahamanku hukumnya tidaklah sah bahkan batal
"Janin dalam rahim Nisa adalah benih dari Aldo Sanjaya, orang yang sama dengan yang Kak Fahd kenalkan sebagai Kakak kandung Nisa dua hari yang lalu," Aku mencoba bicara jujur pada Ustadz Fahdilah pagi ini.Setelah mengatakannya pikiranku sibuk dengan ingatan dua hari lalu.Saat ijab kabul akhirnya dilakukan sore hari menjelang waktu Maghrib. Sederhana saja, hanya menikah secara agama sekaligus negara dengan mengisi keterangan untuk sidang di pengadilan agama esok harinya, karena aku masih di bawah umur. Katanya minimal batas usia perempuan adalah sembilan belas tahun. Aku baru menginjak delapan belas tahun lebih satu bulan, tepat saat aku mengalami kecelakaan.Semua prosesi selesai hanya dalam satu jam dan Ustadz Fahd membawaku kembali ke rumah ayah. Dia mengatakan bahwa ini adalah untuk melindungi dan menutup aibku, agar tidak ada yang mengalami kisah sama sepertiku lagi nantinya."Bagaimana bisa mencegah hal ini kembali terja
POV FAHDILLAHTiga tahun belajar di Madinah untuk memperdalam ilmu Alquran dan Alhadits, Alhamdulilah sekarang saatnya aku bisa kembali ke Indonesia, tanah air tercinta. Meski begitu aku tidak tahu terlahir dari keluarga mana. Karena dari penuturan Abah Ridwan dan Umma Aminah, aku diserahkan oleh seorang pemulung yang menemukan bayi di atas tumpukan kardus sampah miliknya.Dibesarkan tanpa orang tua kandung bersama yatim piatu lainnya di Pondok Pesantren membuat aku merasa begitu beruntung. Selain dapat menempuh pendidikan secara cuma-cuma di luar negeri, untuk menunjang kehidupan dunia. Otomatis mendapatkan ilmu sebagai bekal menghadapi akhirat nanti.Allah menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah pada-Nya semata. Dunia itu adalah permainan. Dunia adalah kesenangan yang fana' tidak kekal dan hanya sementara. Begitu kira-kira yang ada dalam pemikiranku selama ini. Bahkan untuk memandang sesuatu yang bukan milikku. Selalu menund
POV FAHDILLAH"Kak, Nisa pengen serahkan semua barang pribadi Nisa pada Kak Fahd untuk dibakar saja," Tiba-tiba saja dia berlari ke kamar dan keluar membawa tas besar."Apa ini?" tanyaku mengernyitkan dahi, karena dia mengangkat tas besar yang sepertinya sangat berat."Semua barang haram yang menjerumuskanku selama ini, Kak! Musnahkanlah, aku ikhlas!" katanya tertatih mengangkat dan sedikit menyeret di lantai. Tak tega rasanya melihat dia susah payah, sontak aku mendekat dan mengambil alih tali tas dalam genggamannya. Tangan kami saling bertumpu, dia menolak melepaskan pegangan tas berwarna hitam itu."Nisa ... ini berat, biar saya yang bawa!" sergahku melirik wajahnya, bibirnya mengerucut. Menggemaskan!"Tapi jangan dibuka! Langsung dibakar di halaman belakang, ya? Aku akan ikut!" rengeknya melepaskan tangan dan menarik ujung kaos yang kukenakan.Mengikuti ke halaman belakang rum
"Astagfirullah ... Nisa! Buka matamu, Nisaaa?!" teriakku sambil keluar rumah menggendong dan terus mengguncang tubuhnya agar sadar kembali. Tapi dia tetap tak merespon.'Nisa ... bangunlah! Sadarlah! Allah ... selamatkan dia! Ampuni dosanya dan berilah dia kesempatan bertaubat dengan umur yang Kau panjangkan, Yaa Allah.' Tiada henti kulangitkan doa untuknya sambil terus membopong berlari mencari bantuan.Sebuah mobil berhenti tepat di depan gang, seorang berjaket hitam dan masker wajah keluar dari pintu kemudi. Sekilas melihat mobilnya saja aku sudah hafal siapa yang berada di balik hoodie itu.Seseorang yang berjabat tangan denganku untuk menyerahkan tanggung jawab atas adik perempuannya. Aldo Sanjaya atau dulu bernama Rizal Khoiruddin putra sulung Pak Dimas, almarhum ayah mertuaku."Ada yang bisa kubantu, Pak?" tanyanya sedikit panik melihatku membopong sosok yang tergolek lemah.Sebenarnya rasa empati dan
"Kaaaak?" suaranya lirih mengulurkan tangan menggapaiku.Aldo menyerobot mendahuluiku membuatku sedikit terhuyung ke kiri."Nisa ... Sayang! Lo nggak papa, 'kan? Apa yang dia lakuin sampai bisa kayak gini?!" tanyanya tak sabar hampir memeluk dan mencium perempuan yang kini melirikku dan melengoskan wajah menghindarinya."Keluar Lo! Mulai sekarang pergi sejauh mungkin dari hidup GUE! PERGI?! GUE BENCI AMA LO, AL ...." teriaknya sedikit meninggi dan menghempaskan tangan Aldo dari lengan."Nisa ... tenanglah dulu," Aku mendekat dan berdiri tepat di samping Aldo yang melirikku tajam."Lo! Jangan ikut campur urusan gue sama Nisa! Lo yang keluar! Nisa pacar gue, asal Lo tau!" teriaknya mendorongku."Aldo!! Lo bukan pacar ... Aauuwh!" Nisa meringis memegang perutnya yang baru saja menjalani kuretase. Pembersihan sisa jaringan bakal janin di rahimnya."Jangan banyak bergerak dulu, Nis