POV FAHDILLAH
Tiga tahun belajar di Madinah untuk memperdalam ilmu Alquran dan Alhadits, Alhamdulilah sekarang saatnya aku bisa kembali ke Indonesia, tanah air tercinta. Meski begitu aku tidak tahu terlahir dari keluarga mana. Karena dari penuturan Abah Ridwan dan Umma Aminah, aku diserahkan oleh seorang pemulung yang menemukan bayi di atas tumpukan kardus sampah miliknya.Dibesarkan tanpa orang tua kandung bersama yatim piatu lainnya di Pondok Pesantren membuat aku merasa begitu beruntung. Selain dapat menempuh pendidikan secara cuma-cuma di luar negeri, untuk menunjang kehidupan dunia. Otomatis mendapatkan ilmu sebagai bekal menghadapi akhirat nanti.Allah menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah pada-Nya semata. Dunia itu adalah permainan. Dunia adalah kesenangan yang fana' tidak kekal dan hanya sementara. Begitu kira-kira yang ada dalam pemikiranku selama ini. Bahkan untuk memandang sesuatu yang bukan milikku. Selalu menundPOV FAHDILLAH"Kak, Nisa pengen serahkan semua barang pribadi Nisa pada Kak Fahd untuk dibakar saja," Tiba-tiba saja dia berlari ke kamar dan keluar membawa tas besar."Apa ini?" tanyaku mengernyitkan dahi, karena dia mengangkat tas besar yang sepertinya sangat berat."Semua barang haram yang menjerumuskanku selama ini, Kak! Musnahkanlah, aku ikhlas!" katanya tertatih mengangkat dan sedikit menyeret di lantai. Tak tega rasanya melihat dia susah payah, sontak aku mendekat dan mengambil alih tali tas dalam genggamannya. Tangan kami saling bertumpu, dia menolak melepaskan pegangan tas berwarna hitam itu."Nisa ... ini berat, biar saya yang bawa!" sergahku melirik wajahnya, bibirnya mengerucut. Menggemaskan!"Tapi jangan dibuka! Langsung dibakar di halaman belakang, ya? Aku akan ikut!" rengeknya melepaskan tangan dan menarik ujung kaos yang kukenakan.Mengikuti ke halaman belakang rum
"Astagfirullah ... Nisa! Buka matamu, Nisaaa?!" teriakku sambil keluar rumah menggendong dan terus mengguncang tubuhnya agar sadar kembali. Tapi dia tetap tak merespon.'Nisa ... bangunlah! Sadarlah! Allah ... selamatkan dia! Ampuni dosanya dan berilah dia kesempatan bertaubat dengan umur yang Kau panjangkan, Yaa Allah.' Tiada henti kulangitkan doa untuknya sambil terus membopong berlari mencari bantuan.Sebuah mobil berhenti tepat di depan gang, seorang berjaket hitam dan masker wajah keluar dari pintu kemudi. Sekilas melihat mobilnya saja aku sudah hafal siapa yang berada di balik hoodie itu.Seseorang yang berjabat tangan denganku untuk menyerahkan tanggung jawab atas adik perempuannya. Aldo Sanjaya atau dulu bernama Rizal Khoiruddin putra sulung Pak Dimas, almarhum ayah mertuaku."Ada yang bisa kubantu, Pak?" tanyanya sedikit panik melihatku membopong sosok yang tergolek lemah.Sebenarnya rasa empati dan
"Kaaaak?" suaranya lirih mengulurkan tangan menggapaiku.Aldo menyerobot mendahuluiku membuatku sedikit terhuyung ke kiri."Nisa ... Sayang! Lo nggak papa, 'kan? Apa yang dia lakuin sampai bisa kayak gini?!" tanyanya tak sabar hampir memeluk dan mencium perempuan yang kini melirikku dan melengoskan wajah menghindarinya."Keluar Lo! Mulai sekarang pergi sejauh mungkin dari hidup GUE! PERGI?! GUE BENCI AMA LO, AL ...." teriaknya sedikit meninggi dan menghempaskan tangan Aldo dari lengan."Nisa ... tenanglah dulu," Aku mendekat dan berdiri tepat di samping Aldo yang melirikku tajam."Lo! Jangan ikut campur urusan gue sama Nisa! Lo yang keluar! Nisa pacar gue, asal Lo tau!" teriaknya mendorongku."Aldo!! Lo bukan pacar ... Aauuwh!" Nisa meringis memegang perutnya yang baru saja menjalani kuretase. Pembersihan sisa jaringan bakal janin di rahimnya."Jangan banyak bergerak dulu, Nis
POV. ANNISA "Al ... apa lo nggak takut jika apa yang lo lakuin ke Gue berbalik ke hidup, lo?" tanyaku saat setengah sadar dengan dosa yang baru saja kulakukan.Lelaki yang seperti sudah menjadi tujuan hidupku di dunia ini hanya tersenyum miring dan terkekeh."Apa maksud lo, Sayaaang? Bukankah kita melakukannya suka sama suka, hm?" katanya kembali menjelajahiku dengan jemarinya."Dengarkan gue, Al!!" tolakku menangkap tangannya yang berada di balik selimut.Dia menatapku dengan sorot mata memuja seolah berisyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Seperti sebuah pembenaran akan apa yang telah dilakukannya padaku."Gimana perasaan lo jika Dina atau Mama lo berada dalam posisi gue? Apa yang lo lakuin jika, gue adik lo sendiri, Al?"Dia terkekeh, "Gue udah nggak punya adik perempuan dan juga ... Mama. Mereka udah lama mati! Mereka hanya mikirin hidup mereka sendiri dan nggak peduli apa yang terja
Gurat wajah penuh amarah masih tercetak jelas di wajah lelaki yang pernah sangat kukagumi itu. Bahkan mungkin sampai sekarang aku masih tak mengenalinya sebagai Kak Icalku yang dulu.Kak Ical Si Tompel ... itulah panggilannya dulu, tapi sekarang ....Ya! Ketika kecil, Kak Ical banyak dihina dan dijauhi teman-teman sebayanya. Noda hitam di pipi kanannya sebagai tanda lahir itulah pemicunya. Mereka sering mengolok dengan sebutan Ical Si Tompel. Sekarang, baru aku menyadari pipi itu telah bersih menjadikan wajahnya setampan ini, jauh berbeda dengan Kak Icalku.Pantas saja saat aku bertemu dengannya tak ada rasa curiga sama sekali. Bahkan ketika berhadapan langsung dengan Ayah. Dia memaki dan memarahi Aldo untuk menjauhiku karena tak kenal dengan wajah baru putra kandungnya.Tapi ... apakah mungkin Kak Ical lupa dengan wajah ayahnya sendiri? Lupa denganku sebagai adiknya? Padahal dia tahu betul semua identitas asliku sebelum menjadi An Kha s
"Tidakkah kamu merasa bahwa kamu termasuk dalam kasiyatun ariyatun yang tersebut dalam hadits tadi?" Lelaki yang sekarang menyodorkan sebuah buku terbuka padaku itu bertanya sambil menunjuk kalimat di halamannya.Aku hanya menggeleng, tapi dalam pikiran mencerna sebuah ucapan yang telah lama terpendam. Muncul kembali seperti gaungan gema di telingaku. Suara Ayah, kebiasaannya sebelum aku memejamkan mata selama bertahun-tahun lalu.Tidakkah kamu takut dengan ancaman ini Nisa?Makna pertama adalah perempuan yang mendapatkan nikmat Allah namun enggan bersyukur atas nikmat-Nya.Makna kedua adalah perempuan yang memakai pakaian namun kosong dalam berbuat kebaikan. Atau enggan mengutamakan akhiratnya dengan tidak mau melakukan ketaatan pada Allah.Makna ketiga adalah perempuan yang menyingkap sebagian tubuhnya. Sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksudkan al-mutabarrijat, berpakaian namun tela njang.
Aku berada di tengah hamparan bunga-bunga putih yang sedang bermekaran. Semerbak harum mewangi menusuk indera penciuman. Sejauh mata memandang hanya hijau dan putih sedikit kuning kemerahan. Kicauan burung dan kupu-kupu beterbangan saling bersahutan. Indah dan tak pernah kulihat sebelumnya.Apakah aku sedang berada di surga?Air mata bahagia mengalir dari sudut mata. Wajah berhias senyuman mengembang tiada henti. Langkah kaki ini seperti melayang tak menapak bumi. Terasa ringan tanpa beban.Irama gemericik air di setiap petak pohon bunga yang tertata bak permadani. Mengalun indah mengiringi tarian berbagai keindahan sejauh radar penglihatan. Aku ingin tinggal di sini."Nisa ... kembalilah, Nak ...!" Suara Ayah menggema dari langit yang berpelangi.Aku mendongak mencari sumber suara Ayah. Mataku hanya menangkap pemandangan tak biasa. Langit bagai terbelah dua, hitam pekat dan cerah terang kebiruan. Tubuhk
Nafasku kembali sesak, seperti tak bisa lagi menghirup oksigen dengan leluasa. Dadaku naik turun, tangan dan kaki seperti menghentak dengan sendirinya tak terkontrol. Tubuhku menggigil hebat. Sakit seperti tertarik dari ubun-ubun. Aku tercekik dan akhirnya terbatuk- batuk bersamaan dengan cahaya menyilaukan menembus retinaku."Alhamdulillah ...," seru Kak Fahd memelukku erat dan menciumi kepalaku.Masih dengan matanya yang basah dia tersenyum menggumamkan kalimat syukur berulang kali."Aku kenapa, Kak?"Dia hanya menggeleng dan memeluk lagi, lebih erat dari sebelumnya."Terima kasih telah kembali, Sayaaang ...," Perlahan mengurai pelukan, dia menatapku berbinar."Aku kenapa?" ulangku dengan pertanyaan yang sama."Saya pikir kamu sedang sakaratul maut. Saya sudah pasrah dan ikhlas, tapi ... saya ... ak–aku ... sudah merasa, ak–aku belum mau kehilangan istri, ak–aku ... sayang kamu, Annis