Share

#6

Waktu kecelakaan bersama Ayah aku tak mengenali diri sendiri. Ayah memberi tahuku bahwa bunda dan kakak meninggal. Karena Ayah takut jika mengatakan yang sebenarnya aku akan lebih banyak bertanya lagi.

Pertengkaran sepuluh tahun silam sebelum kecelakaan yang menyebabkan kedua kaki Ayah diamputasi adalah awal hancurnya biduk rumah tangga orang tuaku. Mereka bercerai dan masing-masing membawa satu anak. Aku ikut Ayah karena perempuan membutuhkan wali untuk pernikahannya kelak. Bunda membawa Kak Rizal yang saat itu baru berusia sepuluh tahun.

Aku tak mengingatnya sama sekali apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidup berdua dengannya tanpa bunda dan kakak.

"Apa selama ini Nisa masih berhubungan dekat dengan Kakak, Yah?" Dengan mengangsurkan dompet berisi foto yang kuduga itu kami berdua.

'Sepanjang Ayah bercerita, sama sekali tak menyinggung Kak Rizal ataupun Bunda. Tapi kenapa ada potret kebersamaanku dengan kakak di dompet?'

Ayah menggeleng dengan menunduk.

"Bundamu menikah lagi dengan pengusaha kaya dan tak pernah mengunjungimu selama ini. Ayah kehilangan kontak mereka," isakan ringan berhasil keluar setelah Ayah mengakhiri kalimatnya.

Aku membuka dan mengambil foto itu dari dompet lalu mengarahkannya di depan wajah Ayah.

Gerakan cepat tak terduga yang Ayah berikan setelah melihat potret kami. Dia merebut paksa dari tanganku. Mengamatinya lebih dekat dan bergantian menatap wajahku lalu ke foto itu. Dia membolak-balik kertas berukuran sebesar telapak tangan itu seperti mencari informasi lain yang mungkin tersembunyi di sana.

"Apa lagi di tas itu?" Sedikit nada tinggi seperti hampir marah, Ayah meraih slingbag di nakas.

Mero goh dalamnya dan mengeluarkan benda pipih persegi yang seperti handphone tanpa tombol itu. Dia menyalakannya dari tombol kecil di samping.

'Sepuluh tahun ternyata secanggih ini, handphone tanpa tombol?' batinku bermonolog.

"Apa passwordnya, Nis?" cacar Ayah menatap tajam.

Aku menggeleng bingung, 'apa itu password?' Aku tak mengerti apa yang ditanyakan Ayah.

"Kata kunci untuk membuka ponsel kamu!" Ayah mengulangi dengan sedikit membentak.

Aku beringsut memeluk lutut dan menggeleng dengan air mata yang mulai menetes.

'Kenapa Ayah begitu marah padaku?'

Aku benar-benar tak tahu benda apa dan apa yang ditanyakan Ayah.

'Apa yang membuat Ayah marah? Bukankah aku masih belum diperbolehkan menggunakan handphone? Aku masih delapan tahun, Ayah  ....'

Dalam hatiku terus mengatakannya tanpa bisa melisankan kalimat itu didengar Ayah. Aku mulai menggigil ketakutan. Kepalaku kembali berdenyut sakit dan gambar-gambar buram berputar dalam tempo cepat semakin menyakitkan.

"Aaarrrgh!!"

Sudah tak sanggup lagi aku menahannya, meski sudah berteriak sekuat tenaga, aku tak dapat melihat dengan jelas putaran gambar itu.

"Maaf Sayang ... maafkan Ayah! Maaf ...," Ayah mengusap lengan dan kepalaku dengan wajah sedih.

"Nisa takut Ayah marah ... Nisa salah apa, Ayah?" tanyaku polos sambil sesenggukan dan berangsur tenang. Tak takut lagi.

Ayah kembali menceritakan apa yang kulakukan sepuluh tahun ke belakang. Aku sekolah di boarding school hingga lulus SMP. Kemudian aku meminta untuk sekolah di SMA biasa, bukan lagi yang berbasis agama. Kata Ayah malah sekolah elit dan selalu mendapatkan beasiswa dari prestasiku.

Terakhir kali aku berpamitan pada Ayah pergi ke Singapura saat aku kenaikan kelas tiga. Semua berjalan seperti biasa katanya, hanya saja Ayah semakin curiga karena aku selalu pulang dengan banyak belanjaan. Kata Ayah aku bekerja part time mengajar mengaji di tempat keponakan teman sekelasku di SMA. Mereka orang kaya dan sering memberikan barang secara cuma-cuma.

Aku terus mengingat apa yang dikatakannya tentang hidupku sepuluh tahun terakhir. Tapi sama sekali aku tak bisa mengingatnya.

"Lalu, siapa laki-laki yang berpelukan denganku di foto itu, Ayah? Aku ingat, wajah itu mirip dengan Kak Rizal, kan, Ayah?"

Lagi-lagi aku bertanya tentangnya. Entah apa yang terjadi, tapi aku merindukan Kak Rizal melebihi pada Bunda. Seperti aku telah lama dekat dengannya. Tapi menurut Ayah, mereka tak pernah muncul lagi setelah sepuluh tahun lalu.

'Jadi, siapa lelaki yang berfoto bersamaku?'

"Sudah enak badannya? Sudah bisa ke kamar mandi sendiri, kan?" tanya Dokter yang dulu pernah mengunjungiku saat pertama kali sadar.

"Iya, Dok!" kataku mengangguk.

"Jika merasa lelah berpikir, jangan dipaksakan. Sakit 'kan kepalanya kalau berusaha mengingat sesuatu?" tanyanya ramah dengan tersenyum.

Aku hanya mengangguk pura-pura paham. Padahal sedikit bingung dengan apa yang terjadi padaku sebenarnya.

'Apa aku hilang ingatan?'

Sudah hampir satu minggu di rumah sakit dengan perban dan jarum infus di tangan. Sekarang aku sudah bisa pulang ke rumah. Beriringan dengan Ayah, aku duduk di kursi roda rumah sakit didorong oleh salah satu perawat hingga lobi.

Sebuah mobil berhenti di depan kami dan seorang pria sedikit lebih tua dari Ayah membuka pintu lalu membantu kami masuk ke dalam mobil di kursi penumpang tengah.

Sepanjang perjalanan aku merasa sangat asing dengan jalan yang dilalui. Aku belum pernah melihatnya. Sangat padat dan gedung-gedung bertingkat di kiri kanan sangat banyak, aku sampai terkagum-kagum melihat dari jendela samping.

"Apa ini masih di Jakarta, Ayah? Atau kota lain?"

Ayah menoleh dan hanya mengangguk. "Kemajuan teknologi dan perkembangan jaman semakin cangih dalam waktu sepuluh tahun, Nis ...," terangnya menatap kembali ke arah depan.

"Apa Anda An Kha, selebgram hijab yang kemarin dikabarkan kecelakaan itu?" tanya si lelaki yang sedang menyetir setelah melihat wajahku dari kaca spion tengah.

Ayah dan aku menoleh saling pandang dan mengernyitkan dahi bingung.

"Maaf ... anak saya mengalami amnesia, Pak." kata Ayah pada si sopir.

"Oh ... mungkin hanya mirip, ya?" Sopir itu terkekeh sambil menggeleng.

Entah apa maksudnya.

"Apa itu selebgram, Ayah?" tanyaku membuat si sopir tertawa kecil.

"Maaf," katanya kemudian, sambil menutup mulut dengan satu tangan.

"Lihatlah! Anak saya penggemar berat Anda, Nona!" Lelaki berkemeja kotak-kotak hitam putih itu menyodorkan sebuah album foto yang diambilnya dari laci samping kemudi.

Aku langsung menerimanya. Ayah menatapku dengan gelengan. Dan aku paham maksud Ayah tak boleh membuka sembarangan milik orang lain. Bisa jadi itu sebuah rahasia atau hal yang membuat kita berdosa. Meskipun sudah diberi ijin, tapi album foto ini milik anak dari si sopir bukan miliknya sendiri.

"Nggak papa, Nona ... buka saja, memang sangat mirip dengan Anda, kok! Mungkin karena dalam keadaan lupa, jadi Anda bingung." sahut si sopir saat berhenti di lampu merah.

Aku tak jadi membukanya, lebih memilih melihat pemandangan di luar. Di seberang jalan ada sebuah toko pakaian besar. Terpampang nama Mein Kha di papan besar atas bangunan. Seorang perempuan berhijab sebagai modelnya.

Mataku melotot sempurna saat wajah perempuan itu sama persis denganku.

"Apa itu Nisa, Ayah?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah gambar sebesar mobil di atap gedung toko busana.

Tanganku menarik lengan Ayah hingga dia bisa melihat ke arah yang sama denganku. Tapi Ayah hanya menggeleng dan tampak sama terkejutnya denganku.

"Semenjak Ayah lumpuh, Ayah tak pernah pergi sejauh ini, Nis ...," jawab Ayah terdengar kecewa.

'Sebenarnya Ayah membawaku pulang ke mana? Kenapa perjalanan memakan waktu yang lama?'

Hampir satu jam menempuh perjalanan, mobil memasuki gang sempit dan agak kumuh di dekat sebuah pesantren.

"Gerbang warna coklat, Pak!" kata Ayah pada sopir yang mengangguk.

"Nis ...," seseorang memanggilku lembut saat aku baru saja membuka pintu mobil.

"Kak Rizal?"

"Ngapain kamu ke sini lagi?!" bentak Ayah didudukkan oleh sopir ke kursi rodanya, hampir bersamaan dengan desisanku memanggil nama Kak Rizal.

"Dia bukan kakakmu, Nis! Cepat masuk ke dalam!" perintah Ayah tegas sudah di ambang pintu.

'Bukan? Lalu siapa dia?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status