Share

#7

Memasuki kamar, Ayah meninggalkanku setelah mengatakan tak boleh membuka jendela kamar, apapun yang terjadi. Aku mengikuti perintahnya dan duduk di tepi kasur. Mengamati setiap sudut kamarku.

Buku tentang agama Islam, akidah, fiqih, tafsir Alhadits, dan tafsir Alquran berderet rapi di rak gantung yang menempel di dinding. Artinya benar kata Ayah bahwa aku selama ini memang perempuan baik-baik. Tak benar jika aku ini selebgram seperti dugaan sopir yang mengantarkan kami tadi.

Aku melangkah ke meja belajar yang tertata cantik dengan tempelan berbagai ornamen origami di setiap pojokan. Buku pelajaran sekolah dan beberapa kamus Bahasa tertumpuk memenuhi meja.

Sedikit membungkuk berusaha membuka laci bawah.

'Terkunci? Di mana aku biasa meletakkan kuncinya, ya?'

Kutuang tempat pensil dari botol bekas yang dihiasi lukisan tangan warna-warni. Segala macam alat tulis berserak dan beberapa kunci ada di sana. Satu per satu aku mencoba membuka lacinya.

'Terbuka!'

Aku tersenyum senang saat melihat jajaran buku catatan harian di sana. Kuambil yang paling atas dan membuka halaman sampulnya. Satu lembar foto terjatuh di lantai.

'My Lovely Boyfriend'

'Aldo Sanjaya'

Tulisan tangan yang tertera di balik foto seorang lelaki dengan seragam SMA. Wajah yang sama dengan potret di dompet dan lelaki yang tadi diusir Ayah.

'Jadi benar dia bukan Kak Rizal? Aku berpacaran tanpa diketahui Ayah?'

———

Gue benci sama lo, Al! Lo cari kesempatan bermesraan di Singapura di saat jauh dari gue!

Gue nggak bakal maafin lo sampai lo yang buktikan sendiri dengan bawa cewek sialan itu! Dia harus ngomong sendiri bahwa kalian nggak ada hubungan apa-apa!

Singapura Kelabu, 20 Desember 2022.

———

Kubuka lembar berikutnya setelah membaca dalam hati halaman pertamanya.

———

Gue lega banget, Al ...

Lo ternyata secinta itu sama gue! Baru kemarin Lo kepergok dengan cewek itu. Ternyata lo membuktikan kalo lo setia sama gue!

Dan hadiah terindah adalah malam panjang yang kita lalui bersama di apartemen kita ...

Aku bahagia bisa milikin lo, Al ...

Terima kasih udah buat hidup gue penuh warna dan bebas merasakan indah dunia ini dengan mencintai lo ...

I love you Aldo Sanjaya ... forever ever ...

———

"Astagfirullah!" gumamku lirih dan membuka halaman berikutnya.

'Kosong?'

Berarti aku banyak melakukan dosa selama sepuluh tahun ini? Tapi kenapa bisa? Aku tak mengingat sama sekali.

Berkali-kali mengelus dada dan beristighfar berulang di dalam hati.

'Serusak apa aku sebelum kecelakaan?'

Hatiku dibuat mendung seketika gerimis membasahi pipi ini.

'Allah ... apa yang Engkau takdirkan untukku?'

Aku masih selamat dalam kecelakaan tapi kehilangan ingatan tentang keseharianku selama ini.

'Apakah Engkau sengaja memberiku kesempatan bertaubat?'

"Nis? Ayo makan dulu, Sayang ...!" Suara Ayah dari luar diiringi ketukan di pintu terdengar.

Segera kuhapus air mata dan merapikan kembali alat tulis yang berserak di meja ke tempat semula. Begitu juga buku catatan harian yang kulempar begitu saja dan mengunci laci lagi dengan cepat.

Aku takut Ayah akan lebih syok dan marah dengan rahasiaku yang tertutup rapi selama ini.

'Entahlah, kenapa Ayah bisa kecolongan separah ini?'

"Iya, Ayah ..., sebentar!" jawabku sedikit berteriak dan menutup mulut agar tampak jauh dan terkesan berada di dalam kamar mandi.

Sedikit berlari ke wastafel, aku mencuci muka dan melempar kerundungku asal.

'Seperti inikah kebohonganku selama ini?'

Rasanya seperti sudah terbiasa melakukannya dan reflek tanpa berpikir lagi.

'Oh Allah ... Ampuni hambaMu ini ....'

"Ayah? Apa Ayah mengenal Aldo Sanjaya?" tanyaku hati-hati di sela makan malam kami.

"Kamu mengingat sesuatu? Aldo Sanjaya? Ayah baru mendengarnya sekarang, Nis?" Ayah menghentikan suapannya dan menatapku heran.

Aku hanya menggeleng dan menunduk melanjutkan makan lagi.

"Apa Ayah tahu selama ini siapa saja teman Nisa di sekolah elit itu?" Aku bertanya lagi setelah menghabiskan nasi di piring dan meletakkan sendok. Lalu fokus menatap Ayah yang terbatuk karena pertanyaanku.

"Maaf, Ayah ...." Aku menyerahkan segelas air putih dan Ayah langsung meneguknya setengah.

"Yang Ayah tahu hanya tiga teman kamu, Dina, Andhara, dan Renata yang sering antar jemput ke rumah. Ya ... Ayah nggak begitu hafal dengan wajah mereka, karena lebih sering menunggu di depan gang. Mobil susah putar baliknya," jelas Ayah tampak santai.

"Mereka nggak tahu Nisa kecelakaan? Kenapa nggak ada yang menjenguk sampai sekarang?"

"Ayah nggak tahu soal itu, mereka semua anak dari kalangan ekonomi kelas atas, Nis ... mungkin sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing." balas Ayah sepertinya juga kecewa dengan ketiga temanku.

Aku semakin berpikiran buruk dengan apa yang dijalani seorang Annisa Khairani sebelum hilang ingatan selama ini.

'Serapi itukah hingga Ayah tak mengetahui putrinya berkhalwat dengan lawan jenis, padahal berhijab?'

Aku ingat betapa Ayah mendidikku dan Kak Rizal dengan pendidikan agama yang kental. Setiap hari selalu diberi satu ayat atau hadits untuk diingat dan dipraktekkan.

Ayah bekerja sebagai sopir di salah satu keluarga kaya. Dan kami tinggal di rumah pemberian majikan Ayah, dekat dengan rumah mewahnya. Sampai pertengkaran itu terjadi aku merasa sangat bahagia hidup bersama Ayah, Bunda, dan Kak Rizal.

"Ayah ... sekarang, Ayah kerja apa?" Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status