Share

#5

"Nggak bisa, Mas! Ucapkan talak sekarang dan kamu bawa Nisa! Karena Nisa perempuan dan akan mencari ayah kandungnya untuk menikah nanti! Aku sudah nggak mau lagi hidup menderita, Mas!" Bunda berteriak di depan wajah Ayah.

Pagi itu, Bunda bertengkar hebat dengan Ayah. Entah apa penyebabnya, aku dan Kak Rizal menangis berpelukan. Menyaksikan pertengkaran dua orang tua kami untuk pertama kalinya. Aku tak tahu apa yang tengah dibicarakan keduanya. Belumlah mengerti, usiaku baru delapan tahun. Dan Kak Rizal sepuluh tahun. Mungkin dia sudah mengerti tapi tetap tak bisa berbuat banyak untuk melerai mereka.

"Nisa Sayaaang, Bunda sama Kak Rizal pergi dulu, ya? Nisa sama Ayah baik-baik, turuti perintah Ayah dan selalu dengarkan perkataan Ayah, ya, Sayang? Bunda pasti akan merindukanmu, muach! Muach!"

Itulah pertemuan terakhirku dengan Bunda dan Kak Rizal. Kenapa aku baru mengingatnya sekarang?

Setelah Bunda pergi bersama Kakak, Ayah mengejar karena aku menangis tak mau ditinggal dengan Ayah.

"Mau sama Bunda! Bunda! Bundaaa!" teriakku terus memanggil di dalam mobil yang dikemudikan Ayah dengan kecepatan tinggi. Mengikuti mobil yang membawa Bunda dan Kakakku sudah jauh di depan sana, dan tak terlihat lagi.

Ayah seperti kehilangan kendali dan mobil kami terhempas di trotoar. Tubuhku terasa sedang dalam alat giling yang berputar hebat. Sampai akhirnya kepalaku terasa berat dan seperti ada yang mengalir di pelipis hingga dagu. Semua menjadi gelap dan sesak.

"Nisa ... Annisa ... Sayang? Kamu dengar suara Ayah?"

Sayup-sayup seperti mendengar panggilan Ayah setiap pagi menjelang waktu Subuh seperti biasa selama ini. Setelah ini pasti aku akan diciumi di wajah hingga Ayah menggelitiki perut. Aku akan berteriak meminta tolong pada Bunda dan akhirnya berlari masuk kamar mandi.

Tapi kenapa tubuhku terasa berat dan berbeda sekarang? Bahkan Ayah hanya memanggil tak mendekat seperti biasanya.

Aku berusaha membuka mata yang berat seperti terkunci rapat. Tiga kali mencoba akhirnya cahaya berhasil menembus, menyilaukan mata. Kukedipkan berkali-kali hingga tampak jelas sosok Ayah di sisi kiri.

"Ayah ...," lirihku memanggil dan Ayah tersenyum.

Aneh, Ayah tampak lebih tua dari terakhir kali membawaku mengejar Bunda kemarin saat mobil terguling dan semuanya gelap. Rasanya badan sakit semua seperti sekarang.

Kupindai sekali lagi agar lebih jelas. Mengerjap berulang kali, memastikan pandanganku yang salah. Wajah Ayah ada beberapa bekas luka. Artinya memang kecelakaan itu bukanlah mimpi burukku.

"Ayah kenapa di kursi roda?" tanyaku sedih melihat dia kesulitan menjangkau wajahku. Tangannya terhulur dan aku menyambutnya.

Dahinya berlipat menatapku heran. Lalu menoleh pada seorang dokter yang berdiri di samping kananku.

Dia menyorotkan lampu senter pada dua mataku.

"Siapa nama lengkap, kamu?" tanyanya kemudian.

"Annisa Khairani." jawabku menoleh pada Ayah yang mengangguk dan tersenyum.

"Kamu ingat berapa usia kamu sekarang?" Lelaki yang tampak seusia Ayah itu bertanya lagi.

"Delapan tahun besok bulan Januari, Pak Dokter!" kataku antusias karena ingat ulang tahunku satu bulan lagi.

Sebelum kecelakaan terjadi, aku dan kakak sudah merencanakan pesta kecil untuk kita rayakan bersama sekalian liburan akhir tahun. Tapi sebelum semuanya terlaksana, Bunda bertengkar hebat dan pergi dengan Kak Rizal entah ke mana.

"Ayah ... di mana Bunda dan Kak Rizal?" tanyaku diikuti isakan.

Ayah hanya menjawab dengan gelengan dan sedikit memaksakan senyumannya.

"Setelah bicara dengan putri Bapak, mohon ke ruangan saya, ya, Pak?" kata dokter itu sebelum pergi meninggalkan kami berdua.

Aku mencoba untuk menggerakkan tangan. Mengangkatnya hingga bisa melihat tanganku lebih besar dari ukuran anak usia delapan tahun.

'Apa aku cepat membesar karena diberi asupan infus melalui suntikan ini?'

"Ayah? Apa Nisa sudah bertumbuh dengan cepat hingga sebesar tangan Bunda?"

Keanehan kedua setelah aku sadar dari sebuah kecelakaan adalah tubuhku menjadi berukuran tubuh perempuan dewasa.

'Apa aku masuk ke dalam tubuh orang lain seperti dalam film-film reinkarnasi?'

Ayah masih tak menjawab pertanyaanku. Hanya diam dengan mata sembab seperti ingin menumpahkan tangisnya.

"Kamu sudah delapan belas tahun, Sayang ...." kata Ayah dengan menunduk.

Aku mer aba wajah yang sepertinya diikat dengan perban di bagian dahi. Mataku dengan alis yang terasa lebat bulunya.

'Nggak punya alis ... nggak punya alis ... nggak punya alis!'

Ejekan teman-teman sekolahku masih jelas terngiang di kepala.

'Apa sekarang sudah tumbuh rambut alis selebat ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Delapan belas tahun? Aku tertidur selama sepuluh tahun?'

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikiranku.

Ayah berpamitan ke ruangan dokter. Aku menatap ke sekeliling ruangan bernuansa putih. Sofa berikut meja di depannya ada di kanan ruangan. Sebuah foto rumah sakit dan berbagai peralatan medis di sisi kanan kiri ranjangku.

Aku mencoba menggerakkan kaki dan berusaha untuk duduk. Mengedarkan pandangan sekali lagi dari sudut pandang yang lebih luas dengan bersandar di headboard brangkar.

Sebuah tas selempang tergeletak di nakas. Aku meraih dengan susah payah dan membukanya. Sebuah dompet perempuan dan ponsel di dalamnya.

"Apa ini milik Bunda? Aku baru melihat ponsel seperti ini? Kenapa tidak ada tombolnya sama sekali?" gumamku membolak-balik benda persegi panjang berwarna merah muda dan layar hitam di tanganku.

Tak menemukan jawaban dari sana, aku memasukkannya kembali. Berganti menarik dompet berwarna biru dari dalam tas. Perlahan membukanya, sebuah foto perempuan dengan seorang lelaki mirip Kak Rizal sedang berpelukan.

"Mungkin ini milik istri Kak Rizal," batinku.

Di balik foto ada kartu identitas, Surat Ijin Mengemudi dengan nama Annisa Khairani.

'Aku? Sudah besar? Benar-benar sudah delapan belas tahun? Tapi aku tak ingat sama sekali!'

Itu artinya di foto ini adalah Kak Rizal dan aku? Cantik sekali?

Tak sabar dengan semua pertanyaan dalam kepalaku. Isi dalam tas itu aku tumpahkan di pangkuan.

"Cermin!" Sedikit girang aku mengangkatnya tinggi lalu memberanikan diri mengarahkan pada wajah.

Mulai dari dahi yang terlilit perban, sebagian rambut hitam mencuat di antara lilitannya. Alis tebal dengan mata yang bulat berbola mata hitam terang. Hidung, pipi kanan, pipi kiri, lalu ke bibir yang tipis sedikit pucat. Dagu lancip dan bekas luka di pangkalnya memanjang dari atas pelipis. Sama seperti yang ada dalam foto di dompet tadi jika aku mengenakan kerudung.

"Ayah ... Nisa sebenarnya kenapa?"

Baru saja Ayah membuka pintu ruangan aku sudah melontarkan pertanyaan.

"Apa yang kamu ingat saat ini, Sayaaang?" Ayah mendekat dengan menekan tombol kecil di tangan kanannya.

"Di mana Bunda dan Kak Rizal, Ayah? Kenapa tak menemani Nisa di sini? Mereka ke mana Ayah?" tanyaku sedikit memaksa.

Lelaki dengan kursi roda canggih yang baru aku lihat itu lebih mendekat dengan wajah tertunduk.

"Nis ... maafkan Ayah, Nak! Ayah harus mengatakan bahwa Bunda dan Kakakmu sudah meninggal waktu kamu sadar sepuluh tahun silam." Ayah menggenggam tanganku dan air matanya menetes di sana.

Aku menggeleng tak mengerti apa yang dikatakannya.

"Ingatan kamu kembali pada kecelakaan bersama Ayah waktu itu, Sayang ..." lanjutnya dengan mengusap sudut mata.

"Katakan yang jelas Ayah! Nisa nggak ngerti!" kataku sedikit meninggi.

Mendadak kepalaku sangat berat dan sakit sekali. Aku mere mas rambut dan memejamkan mata. Gambar buram dengan cepat berlintasan seperti video hitam putih yang rusak.

'Aku kenapa?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status