Share

#2

"Biasa aja kali ... panggil nama gue? Nggak usah pake embel-embel Kak, berasa tuwir gue!"

"Wkwkwk ..."

Tawa seluruh siswa di kantin sekolah menggelegar bersamaan dengan wajahku yang memerah dan menahan tangis.

"Minggir nggak, lo? Sekali lagi lo berani ganggu Nisa? Lo berurusan sama gue!! Ingat itu!"

Tiba-tiba suara Kak Aldo menghentikan gelak tawa kakak kelas dua dan lengannya melingkar di pundakku. Menggiringku ke tempat sepi di belakang sekolah. Dia menghapus air mataku yang berhasil menetes.

"Makanya lo jangan jauh dari gue, Nis ... kalo mau ke kantin tunggu gue di kelas, Oke?" bisiknya lembut di telingaku.

Aku hanya bergeming menunduk semakin tajam. Rasanya seperti ada desiran aneh yang menjalari hatiku. Apa ini?

Aneh tapi nyaman.

"Lo gakpapa 'kan, Nis?" tanya Dina menghampiriku di depan kelas.

Dia adik Kak Aldo yang kebetulan sekelas denganku.

"Gue kan udah bilang sama lo, Na? Jangan biarin Nisa ke kantin sendirian! Lo ke mana tadi?" omel Kak Aldo masih merangkulku masuk ke kelas beriringan dengan Dina di belakang

"Elaah ... gue ke toilet bentar tadi, tau-tau lo udah nongol di sini sama dia? Gue tadi niatnya emang mau ke kantin, sih? Dompet gue ketinggalan di kelas, so ... balik lagi, deh! Ribet banget sih, lo, Kak? Nisa nggak kenapa-napa ini?"

"Bawel, lo! Udah kalian mau makan apa? Gue yang traktir, gue yang beliin, kalian makan di kelas aja! Ok?"

Sedikit terhibur dengan perdebatan sepasang saudara ini. Aku jadi tenang di sisi mereka. Kapan aku bisa mempunyai keluarga utuh kembali seperti mereka. Rasanya tak akan pernah mungkin.

"Nah ... gitu dong, Nis ... senyum! Cantik, kan?" Kak Aldo mengerling melihatku sedikit menyunggingkan senyum dan menatapnya.

"Makasih, Kak ... Na ..." ucapku kemudian dengan sedikit menunduk malu.

"Cie ... yang kalo senyum paling cantik ..." goda Dina hampir mencolek pinggangku tapi bisa menghindarinya.

Kami tertawa bertiga. Hal yang telah lama tak pernah kulakukan. Bahagia. Melupakan segala keterbatasan dinding aturan yang dibuat ayah.

"Bukan ayah yang membuat semua batasan untuk kamu, Nis ..., kita dipilih Allah menjadi manusia istimewa karena Alhamdulillah bisa diberi kesempatan hidup. Diberi nikmat untuk bisa mempelajari apa yang seharusnya dilakukan manusia di dunia. Ibadah pada Allah yang berpedoman Alquran dan sunnah. Jadi, bentuk rasa syukur kita adalah berusaha menjadi pribadi yang taat, Sayang ...." begitu katanya malam ini.

Lagi-lagi aku harus pura-pura menguap dan mengucapkan selamat malam. Berdoa dan memejamkan mata.

Ponsel di nakas bergetar setelah kepergian Ayah. Nama Kak Aldo di sana.

"Assalamualaikum!" sapaku sedikit berbisik. Takut Ayah akan mendengarnya.

"Belum tidur, kan? Bisa kita ngobrol? Gue di luar jendela kamar lo."

Satu kalimat yang kudengar membuat tubuh ini bergetar. Bagaimana bisa dia masuk ke pekarangan rumah sementara Ayah terbiasa berjaga di ruang depan sampai sedikit larut. Katanya takut jika aku keluar tanpa ijin.

Untuk memastikannya, aku berjalan mendekat ke jendela dan membuka tirainya. Ponsel di telingaku hampir saja meluncur bebas ke lantai saat sosok yang baru saja terkekeh di ujung telpon ada di hadapanku.

Aku memberikan gelengan dan dia cemberut.

"Sampai kapan gue nunggu di sini? Dingin, banyak nyamuk, nih! Mana udah hampir dua jam, lagi?" ucapnya lagi sedikit terdengar dari ponsel yang kutempelkan di depan dada. Saking terkejutnya tadi melihat keberadaannya.

Dua jam? Artinya saat Ayah sedang di mushala. Kasihan dia sampai harus nunggu aman. Aku jadi penasaran, untuk apa dia datang sembunyi-sembunyi. Bimbang, harusnya aku tak boleh memasukkan laki-laki ke dalam kamar.

Tapi swperti ada bisikan agar aku membuka jendelanya. Setelah beberapa detik berperang dengan dua langkah yang harus kuambil. Akhirnya kubuka jendela kayu dengan sangat hati-hati agar tak kentara decitannya.

Begitu kubuka lelaki berhoodie itu langsung melompati jendela sembari menangkap tubuh dan menutup mulutku yang hampir saja terpekik kaget.

"Ssstttt ... tenang, gue nggak bakal ngapa-ngapain, lo! Gue cuma mau bilang selamat malam aja, kok! Hehe," kekehnya tetap menahan tangannya di pundakku.

Sedikit meronta, aku terlepas dan memberi tatapan tajam.

"Keluar sebelum Ayah menyadari sesuatu di kamarku, Kak! Keluar!" Aku mendorong dan berbisik hampir tak terdengar.

"Dengan satu syarat!" katanya menahan tanganku di dadanya, "rasakan detak jantung gue dan tatap mata gue, Nis!"

Benar-benar merinding dibuatnya dengan bisikannya dan tatapan lembut nan sayu penuh puja di depan mataku. Tak pernah merasakan sedekat ini dengan lelaki selain Ayah. Dia berhasil membuatku mengangguk dan detak jantungku seperti genderang perang.

Semakin tak terkendali ketika Kak Aldo mendekap erat tubuhku. Detak jantungnya bisa kurasa. Dia mengelus rambut hingga punggungku.

"Lo ... cantik dengan rambut tergerai indah, Nis ...,"

Bisikan itu bagai racun dan candu yang merasuk di setiap hembusan nafasku.

"Astaghfirullah! Ini dosa ... Kak!" tubuhku bergetar hebat menjauh dan meluruh ke lantai.

Memasukkan lelaki bukan mahram di malam hari. Bahkan berpelukan dan dia melihat auratku.

Allah ...

"Ok! Gue salah! Maaf ... Gue cabut! Besok gue jemput di depan gang, ya? Bye!" Dia tampak sedikit panik dan langsung melompat keluar saat Ayah mengetuk pintu.

Mungkin mendengarku beristighfar sedikit keras tadi. Jadi Ayah memastikan apa aku baik-baik saja.

Entah mengapa semalaman aku nggak bisa tidur. Tatapan wajah teduh di bawah temaram sinar bulan, bisikan dan pelukannya masih terasa nyata bagiku. Hangat, nyaman, dan ... candu.

Sepanjang malam kuhabiskan dengan tersipu-sipu salah tingkah di atas kasur. Miring ke kanan, ke kiri, telentang, tengkurap bahkan berdiri dan duduk lalu berbaring lagi. Berjuta rasanya.

Pengalaman pertama yang sungguh aku ingin mencobanya lagi dan lagi ... aaah Kak Aldo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status