Share

Dinodai Kakak Sebelum SAH
Dinodai Kakak Sebelum SAH
Penulis: Iftiati Maisyaroh

#1

"Ayah ... Nisa pengen jenguk bunda di makam ...," pamitku pada lelaki yang sudah sejak dulu menggunakan kursi roda.

Namaku Annisa Khairani, saat ini usiaku lima belas tahun, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama di boarding school.

Tragedi maut enam tahun silam membuat keluarga kami hancur berantakan. Bunda dan kakakku tew*s seketika dalam kecelakaan itu. Ayah harus kehilangan dua kakinya yang terjepit body mobil. Dan aku selamat dalam dekapan bunda, hanya luka goresan ringan di kepala.

"Iya ... pulangnya hati-hati ya, Nis? Jangan sampai Maghrib. Kamu harus kembali ke boarding school sebelum waktu Isya, kan?" pesan Ayah saat mencium tangannya dan diusap kepalaku.

"Nisa!" suara seseorang memanggilku dari arah seberang jalan.

Seketika aku menoleh dan sosok lelaki berperawakan tinggi, gagah berseragam SMA melambaikan tangannya.

"Kak Aldo?" Aku sedikit terkejut dengan kemunculannya, lagi.

Dia menyebrang dengan cepat menghampiriku. Senyumannya manis sekali. Dia kakak dari sahabat masa kecilku. Aldo namanya.

"Kamu mau ke makam Bunda lagi?" tanyanya sudah hafal dengan hari kamis soreku pasti ke sini.

Hanya mengangguk dan menundukkan pandangan ke arah sepatu. Aku malu dan harus menjaga pandangan, itu pesan ayah.

"Aku anterin, ya?" tawarnya menarik pergelangan tangan yang langsung kutepis dengan kasar.

"Oh ... maaf!" katanya dengan nada kecewa yang kentara.

Selalu saja seperti itu, sebenarnya aku nyaman berada didekatnya. Aku merasa memiliki pelindung dan punya kakak lagi.

"Ingat ya, Nis? Kamu satu-satunya harta berharga yang ayah miliki. Jaga diri kamu, jauhi lelaki yang bukan mahram! Ingatlah Bunda dan Kak Rizal menunggu kita di surga, ingat dosa dan larangan agama, ok?"

Kalimat ayah yang selalu terngiang sebelum aku terlelap. Bukan buku cerita atau lagu pengantar tidur yang kudengar dari ayah. Selalu nasehat agama dan dalil atau ayat dari kitab suci yang ditanamkan di otakku sejak Bunda tiada. Bosan sekali rasanya.

Kalau sudah seperti itu aku hanya akan pura-pura tidur dan ayah berhenti dengan sendirinya lalu keluar sari kamarku.

Hidupku di rumah yang tak begitu besar ini terasa sangat monoton. Pagi sampai sore sekolah di lingkungan pesantren sudah banyak sekali pelajaran, eeeh ... di rumah masih harus dengar ceramah lagi dari Ayah?

Huft! Aku ingin mencoba suasana dan hal-hal baru di luar sana yang dilakukan remaja pada umumnya! Kenapa sih harus hidup seperti ini? Kenapa dulu nggak mati aja bersama bunda? Ini nggak adil!

"Bunda ... Nisa pengen nyusul ke alamnya Bunda aja ... kapan Bunda jemput Nisa? Nisa seperti hidup di dalam penjara, Bunda ..., Ayah selalu melarang apa pun kesenangan Nisa. Tak boleh bebas. Bunda ...." isakku di depan pusara yang sedikit basah karena hujan semalam.

Andai setiap minggu tak ada Aldo di sisiku, mungkin setiap minggu aku akan tidur meringkuk di sini. Serasa dipeluk bunda, tak ingin pergi ke dunia nyata yang membosankan bersama Ayah.

Tapi lelaki yang terpaut usia dua tahun dariku itu selalu menenangkanku dan mengantar pulang hingga gerbang. Entah apa yang diinginkannya dariku. Dia sangat baik padaku. Tapi selama ini aku tak merespon sikap baiknya dengan balasan serupa. Selalu cuek dan cenderung abai padanya. Tapi dia selalu membuatku ingin didekatnya. Nyaman dan damai rasanya.

"Jauhi lelaki itu, Nisa ... berapa kali ayah katakan padamu? Jauhi lelaki yang bukan mahram! Jika ingin berteman, bertemanlah dengan sesama jenismu, perempuan!" kata Ayah saat mendapatiku diantar pulang dibonceng oleh Kak Aldo.

Sejak hari itu dia tak pernah lagi mengantar hingga depan rumah. Tapi tetap mengantarku pulang selesai dari makam Bunda meski hanya di depan gang rumahku saja. Sampai sekarang, lulus dari boarding school, aku memutuskan masuk ke sekolah yang sama dengannya. Dan akhirnya membuat hubungan kami semakin dekat.

"Maaf, Kak ... Ayahku mengajari sebuah prinsip dalam hidup. Mulai sekarang aku harus menjauh dari semua lelaki bukan mahram ...," ucapku lirih menolak pertemanan kakak kelas tiga, setingkat dengan Kak Aldo.

"Busyet dah! Ustazah nyasar nih!"

"Buahahaha!"

"Kenal darimana lo, Al?"

"Diem nggak, lo?" tatapan tajam Kak Aldo pada teman-temannya membuatku mundur perlahan dan menjauh dari perkumpulan mereka.

"Nis! Nisa? Tunggu gue!" teriaknya berlari mengejarku.

Tapi langkahku terus saja mendekati gerbang sekolah untuk menghentikan angkot yang kebetulan lewat.

Dari balik kaca jendela aku bisa melihat wajah kecewa lelaki yang selalu baik padaku itu. Kasihan sekali dia, ini semua karena aku harus mendengarkan semua pesan Ayah. Tak boleh berteman dengan siapapun lelaki selain mahramku.

Sekali lagi aku menghembuskan nafas lalu menghirup lagi udara sebanyak-banyaknya dan keluarkan lagi.

"Ayah ... aku benci Ayah! Aku benci penjara yang dibuat untuk hidupku! Aku benci aturan-aturan agama yang seperti mengekang wanita! Aku benci!!"

Aaarrrgh!

Kulemparkan kerudung asal setelah membuka kamar.

"Ada apa, Nisa Sayang ..." ayah yang mendengar teriakanku langsung mengetuk pintu.

"Ada kecoa, Ayah ...," bohongku memukul kasur dan tengkurap di atasnya sambil menangis.

Meratapi nasibku yang tak sama dengan remaja lain. Bebas melakukan apapun tak terkekang oleh peraturan Ayah yang kolot.

Mempunyai teman bercerita setidaknya punya seorang ibu seperti mereka. Jika papa atau ayah tak sejalan dengan teman-temanku, ada mamanya yang siap membela. Tapi aku? Sejak usia delapan tahun tak lagi merasakan kasih sayangnya.

Apa salahku? Takdir baik apa yang akan kutemui jika terkekang terus seperti ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eka Damayanti Rifa'i
wah, seru nih ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status